Menjaga Etika Publik di Ruang Publik

1,667 kali dibaca

Kembali, ruang publik baru yang tercipta akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi diwarnai sengkarut percakapan akibat sebuah cuitan yang dinilai melebihi batas etika publik.

Kegaduhan itu dipicu sebuah konten “meme” yang diunggah oleh Kharisma Jati, seorang komikus asal Yogyakarta, dengan menjadikan foto Ibu Iriana yang berpose dengan Kim Keon Hee sebagai bahan konten. Meme tersebut diunggah dalam sebuah akun miliknya pada salah satu platform media sosial pasca gelaran Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali.

Advertisements

Padahal kita tahu, Ibu Iriana selain sebagai seorang ibu, juga seorang perempuan yang tak lain adalah istri dari Presiden Joko Widodo. Tentu harus diberikan penghormatan padanya sebagai Ibu Negara. Begitu juga dengan Kim Keon Hee, sebagai seorang Istri dari Presiden Korea Selatan, harus diberikan penghormatan dan ditempatkan sebagai Ibu Negara.

Sementara, meme dengan foto Ibu Iriana yang berpose dengan Kim Keon Hee ini, ketika diberikan kode tambahan dengan narasi dialog meski sangat pendek, adalah sebuah komunikasi yang kurang etis. Karenanya, cuitan itu menuai respons publik secara spontanitas. Inilah cuitannya:

“Bi, tolong dibuatkan tamu kita minum.”
.”Baik, Nyonya.”

Terhadap cuitan tersebut, sebagian besar komentar dari netizen menilainya sebagai pesan komunikasi yang merendahkan, bahkan mengandung unsur penistaan sehingga perlu diproses secara hukum.

Artikel ini mencoba memahami bahwa fenomena komunikasi yang sedang terjadi dalam ruang publik baru ini dapat memberikan gambaran bagaimana pengguna media sosial masih menjadikan kebebasan berekspresi sebagai pemicu tumbuhnya budaya komunikasi yang cenderung tidak terkontrol, bahkan melanggar etika publik.

Mengingat, model komunikasi semacam ini, sesungguhnya sedang menunjukkan bagaimana komunikasi dilakukan dalam ruang virtual, di mana konten-kontennya diproduksi secara bebas dan seolah mengabaikan persoalan nilai (etis, moral, spiritual).

Hal ini terjadi akibat didekonstruksinya nilai-nilai yang mapan dan dibiarkannya nilai-nilai tersebut mengambang, tanpa ada resolusi (indeterminasi). Selain itu, dalam fenomena ini juga menunjukkan adanya pergeseran makna yang sedang terjadi dalam proses komunikasi di ruang publik baru ini. Seolah, para pengguna media sosial hanyut pada mekanisme medianya sendiri, dibandingkan dengan makna komunikasi itu sendiri.

Pergeseran Makna dan Tujuan

Untuk memahami fenomena komunikasi pada konten meme dengan foto Ibu Iriana yang berpose dengan Kim Keon Hee ini, dengan kode tambahan narasi dialog sehingga menuai respons dan kecaman publik, perlu mempertimbangkan keberadaan ruang publik baru yang tercipta dengan lebih interaktif dan memiliki ruang kebebasan untuk berekspresi, sehingga melahirkan berbagai persoalan baru yang muncul dari proses komunikasi yang ditampilkan.

Yasraf Amir Piliang (2001) dalam sebuah karyanya berjudul Posmodernisme dan Ekstasi Komunikasi, pernah menyebutkan bentuk-bentuk komuniasi di dalam perkembangan masyarakat postmodern. Menurutnya, perkembangan komunikasi ini telah memunculkan berbagai persoalan etimologis maupun epistemologis mengenai definisi, sistem, dan makna dari komunikasi itu sendiri.

Maka, dapat dipahami bahwa fenomena dalam persoalan komunikasi yang dijalankan dalam ruang publik baru ini menunjukkan bagaimana prosesnya yang telah mengabaikan persoalan nilai (etis, moral, spiritual), memperkuat pemahaman bahwa sedang terjadi pergeseran makna komunikasi itu sendiri dalam kausu cuitan ini.

Keberadaan ruang publik baru hanyalah dimanfaatkan sebagai tindakan untuk merayakan kebebasan saja, sehingga laku komunikasi yang ditampilkan dianggap lebih penting ketimbang makna komunikasi itu sendiri. Sementara, media sosial sebagai medium komunikasi dianggap lebih penting dibandingkan dari isi komunikasi (content), dan permainan tanda komunikasi yang ditampilkan pada platform media sosial lebih penting dibandingkan dengan makna dan tujuan dari komunikasi.

Fondasi-fondasi nilai, baik secara etis, moral, maupun spiritual seharusnya menopang terhadap bangunan komunikasi yang dijalankan dalam ruang publik baru ini. Sehingga berbagai konvensi, tanda, kode, nilai, dan bahasa yang seharusnya dipilih untuk membangun komunikasi tidak lagi dibiarkan di dalam kondisi yang acak, tumpang tindih makna di dalamnya.

Mengingat, model komunikasi dalam ruang publik baru ini menggunakan logika kecepatan, sehingga memungkinkan seorang pengguna akan dapat terperangkap di dalam arus kecepatan komunikasi yang di dalamnya. Di sana terdapat mekanisme teknologi kecepatan itu sendiri. Seperti yang pernah disebut oleh McLuhan sebagai medium is the message. Artinya, setiap orang hanyut di dalam mekanisme teknologi media komunikasi itu sendiri, sehingga menjauhkan mereka dari kedalaman makna komunikasi.

Etika Publik dalam Berkomunikasi

Dari sana, perlu direnungkan kenapa komunikasi virtual dilakukan dengan ditandai pada sebuah konten “meme” yang diunggah, dengan menjadikan foto Ibu Iriana yang berpose dengan Kim Keon Hee dalam sebuah akun yang diunggah pada salah satu platform media sosial, menuai protes dari kalangan netizen.

Sebagai seorang anak, tentu tidak bisa menerima apabila sosok seorang ibunda yang dihormatinya selama ini menjadi bahan konten dalam bentuk meme yang dapat dinilai merendahkan. Hal itu juga akan menimbulkan reaksi bagi masyarakat yang menginginkan adanya kultur yang memberikan ruang penghormatan kepada seorang perempuan, maupun sebagai warga negara apabila Ibu Negara dijadikan sebagai bahan konten meme yang dapat dinilai merendahkan.

Menarik mencermati sebuah tulisan berjudul “Seorang Ibu, Ibu Semua Orang” yang ditulis oleh Mukhlisin di laman duniasantri.co (19/11) di sini. Di sana ditegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Kharisma Jati melalui konten meme ini sesungguhnya sebuah konfirmasi betapa rasa benci telah membutakan mata hati. Juga, adanya generasi yang telah tercerabut dari akar-akar tradisi. Tradisi yang memuliakan kedudukan seorang ibu, yang kehormatannya harus dijaga oleh semua orang —ibu dari siapa pun.

Mempertimbangkan fenomena komunikasi dalam ruang publik baru itu, maka yang perlu menjadi perhatian bersama, bahwa keberadaan media sosial sebagai ruang publik baru ini semestinya harus dijaga bersama-sama. Mengingat, ruang publik baru yang tercipta ini dapat berfungsi sebagai ruang untuk memperkuat demokratisasi bagi bangsa Indonesia.

Budi Hardiman (2014) menyebutkan, bahwa ruang publik sesungguhnya dianggap sebagai syarat terpenting bagi tegaknya demokrasi yang memang mengandaikan kebebasan pada setiap warganya untuk dapat berekspresi, berpikir, berbicara, dan berkomunikasi. Namun, dalam praktiknya ruang publik yang pernah dibangun konsepnya oleh Habermas ini seharusnya dijalankan tanpa diskriminasi, manipulasi, dan represi dari pihak mana pun.

Karena itulah, etika publik menjadi penting, dan diperlukan untuk kelangsungan komunikasi yang baik dalam ruang publik baru. Sebab, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang selama ini dikenal sebagai warga yang berbudaya, beradab, dan beragama. Menjadi ideal jika komunikasi yang berlangsung dalam ruang publik baru ini dapat membingkai kehidupan sebagai masyarakat yang beragama dan berbudaya tinggi. Batas moral, etis, politik, sosial, kultural, dan spiritual tetap harus ditegakkan dalam setiap proses komunikasi yang berlangsung dalam lingkungan ruang publik baru ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan