Meniru Uzlah Para Sufis

241 views

Imam Abu Hamid al-Ghazaly akhirnya memilih mengungsi dari hiruk-pikuk Baghdad tempat ia mengajar beberapa tahun. Kitab masternya Ihya’ Ulumuddin yang sangat populer di kalangan muslim, khususnya pesantren di Indonesia, ditulis bukan saat ia mengajar di Universitas Nidhamiyah yang prestisius saat itu, melainkan sepenuhnya ketika berada di pengungsian yang jauh dari keramaian hidup sosial ekonomi dan politik. Dalam bahasa tasawuf, menyendiri untuk keperluan tertentu itu disebut uzlah.

Uzlah atau nyepi bagi al-Ghazaly memang lebih untuk konsentrasi menulis. Tetapi menulis baginya bukan hanya untuk menuangkan gagasan dan hasil analisisnya di atas kertas. Di samping pekerjaan kasat-mata itu, menulis adalah menuangkan hasil renungan terdalam baik dalam konteks metodologi keilmuan maupun tanggung jawab teologis dan kemanusiaan, sebuah tanggung jawab atas kebenaran dan keselamatan. Menulis, bagi al-Ghazaly, adalah perwujudan dari kesadaran ke-khaliq-an dan ke-makhluk-an sekaligus. Itulah yang paling pas jika menulis kita niati sebagai ibadah.

Advertisements

Ibadah, di luar ibadah sosial, memang lebih merupakan pergulatan pribadi yang memerlukan konsentrasi dalam ruang sepi. Bukankah shalat-shalat penting seperti tahajjud justru ditempatkan ketika manusia umumnya sudah terlelap di tengah malam. Hanya kepentingan syiar (performance, advokasi) saja yang kemudian memerlukan jamaah, kolektivitas, publikasi, dan hiruk-pikuk.

Para sufis jelas tidak sependapat dengan yang terakhir itu, karena dalam ibadah yang mementingkan performance dan hiruk-pikuk seperti hampir sulit terhindari berseminya riya’, sekelumit perasaan senang dan bangga “diakui” orang lain. Sebuah ibadah, bagi mereka para sufis, tidak akan berarti jika dalam melakukannya terbetik riya’.

Hiruk-pikuk kehidupan bersama memang rupanya ditakdirkan atau tergiring untuk hanya dihiasi dengan peluapan nafsu, kepentingan, dan interest-interest subyektif dalam semua aspek kehidupan. Dan justru hiasan semacam itulah yang tak mungkin mengantarkan seseorang sampai pada puncak kontemplasi, perenungan, dan penghayatan dimensi ke-khaliq-an. Dalam bahasa yang sering kita dengar, seseorang tak mungkin mengerti tentang sesuatu sebelum ia keluar dari sesuatu itu sendiri.

Oleh sebab itu, wajar jika dalam tradisi masyarakat kita terkenal laku menyepi terutama dalam melakukan hubungan-hubungan religius; memburu makna ke-Khaliq-an dan ke-mahluk-an (ke-Tuhan-an dan kemanusiaan). Bahwa soal tempat: di gunung, goa, pantai, sungai, kuburan, masjid, langgar, tengah kebon, atau di rumah adalah soal pilihan dan sama sekali tidak menyangkut substansi keperluan menyepi.

Uzlah Versus Syiar

Uzlah dan syiar jelas berbeda arti dan maknanya. Pasti akan sia-sia jika memandang uzlah dalam konteks syiar, dan sebaliknya. Masing-masing mempunyai konteks yang berbeda; syiar wujud dalam konteks dan diperlukan untuk memanivestasikan keberagaman kita yang rahmatan lin ‘alamin, dalam tataran kehidupan bersama yang majemuk. Sementara, uzlah adalah ruang yang sangat diperlukan untuk memahami makna hidup dalam dimensi ke-khaliq-an ke-makhluk-an.

Jika al-Ghazaly, melalui uzlahnya, sukses melahirkan Ihya’ Ulumuddinnya yang bukan saja mempengaruhi intelektualitas sebagian kaum muslim, tetapi juga mendorong tumbuhnya spiritualitas mereka, dan jika para sufis berhasil menggetarkan hati sebagian kaum muslim untuk qana’ah dan wira’i, maka masihkah kita akan memalingkan muka saat berhadapan dengan para penyepi? Dan tidak mungkinkah, di saat terkurung di rumah seperti sekarang ini, kita muhasabah diri, kontemplasi merenungkan ke-khaliq-an dan ke-makhluk-an, meniru para sufis?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan