Mengusut “Harta, Takhta, Wanita”

1,010 kali dibaca

Akhir-akhir ini, publik milenial Tanah Air sedang diramaikan dengan humor mengenai sebuah frasa. Frasa ini awalnya bergeming di dunia maya dengan wujud sebuah meme serta foto. Dalam layar meme tersebut, banyak dijumpai potret stiker yang ditempel di berbagai peranti, seperti motor, mobil, laptop, dan sebagainya. Sontak, fenomena ini menjadi viral dan diramaikan dengan aktivitas serupa (yakni membuat stiker). Frasa yang dimaksud adalah “Harta, Takhta, Wanita”.

Penulis melihat term ini dijadikan sebuah guyonan sederhana sebagai bentuk kekaguman terhadap seseorang, dengan mengubah kata “Wanita” menjadi nama seseorang, misalnya “Harta, Takhta, Doinya”. Tentu ini sah-sah saja dan menjadi selingan humor di realitas lingkungan kita. Namun, berangkat dari hal ini, penulis bukan bermaksud untuk membahas fenomena tersebut. Akan tetapi, penulis ingin mengungkap dengan sederhana bagaimana frasa tersebut sebenarnya mempunyai kedalaman makna yang amat bernilai apabila ditilik melalui perspektif nilai-nilai Islam.

Advertisements

Teks Asal dan Problematikanya

Penulis sekiranya dapat mendasarkan fenomena frasa tersebut pada QS Ali Imron ayat ke-14 yang berbunyi:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Kesan pertama ketika membaca ayat tersebut adalah bahwa ada beberapa aspek yang menjadi cobaan manusia berupa kesenangan-kesenangan di dunia. Redaksi pada ayat tersebut dengan jelas ditujukan kepada laki-laki, dengan menyebutkan perempuan sebagai salah satu cobaan. Tentu ini dirasa timpang dan mendiskriminasi kaum perempuan yang dianggap menjadi momok masalah dalam hal meraih kebahagiaan akhirat.

Dalam penerjemahan awal, kita akan diarahkan pada pemaknaan bahwa perempuan sebagai orang ketiga dalam percakapan antara teks ayat tersebut dengan kaum laki-laki. Mudahnya, perempuan menjadi orang yang ghaib dan sedang diperbincangkan. Pemaknaan ini tentu akan kacau apabila ada pihak yang menuntut pemaknaan redaksi لِلنَّاسِ pada awal dari ayat tersebut, dengan melakukan korelasi terhadap otoritas al-Quran sebagai pedoman yang universal.

Lantas bagaimana ayat ini bisa dimaknai dengan adil tanpa menyisakan bercak dikotomi terhadap perempuan?

Kita seringkali diwarnai dengan sebuah anggapan bahwa perempuan masuk ke dalam sebuah kategori penyebab datangnya segala fitnah, nafsu syahwat, penggoda, dan term negatif lainnya. Akan tetapi, apakah kita juga pernah berpikir, bahwa apabila laki-laki diperintahkan untuk menjaga diri dari perempuan, lantas bagaimana perempuan harus menjaga dirinya dari godaan, nafsu, dan lain sebagainya?

Berangkat dari ketimpangan wacana ini, apabila tidak segera dijernihkan, maka perempuan akan terus dinarasikan sebagai subjek “penggoda”, namun tidak masuk dalam ranah subjek yang “digoda”. Tentu ini salah dalam perbincangan al-Quran sebagai penyeimbang dan rahmat bagi seluruh elemen manusia.

Objektif terhadap Teks

Pertama, kita tetaplah harus memegang teguh bahwa kemurnian al-Quran dan maknanya lebih tinggi dan luas dari tafsiran manusia. Sehingga, paradigma ini akan mempermudah kita untuk berpikir inklusif dalam meninjau sebuah ayat.

Apabila menggunakan perspektif Mubadalah yang dirumuskan oleh Faqihuddin Kodir, maka substansi utama pada ayat tersebut sebenarnya sangat universal, yakni perintah untuk menjaga diri dari hawa nafsu. Karena, menurut Kodir, makna suatu ayat bila mempunyai keselisihan dalam bahasan gender, maka selain mengambil subjek pada redaksi literal, harus diambil pula sisi resiprokal (subjek yang tidak disebut). Artinya, apabila ayat tersebut memerintahkan untuk menjaga diri bagi laki-laki (redaksi literal), maka perintah menjaga diri ini berlaku pula bagi perempuan (makna resiprokal).

Ayat tersebut secara jelas disebutkan oleh Imam at-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya (V/ 254) untuk menyinggung pihak-pihak yang enggan berjihad/ beriman. Imam at-Thabari memaparkan bahwa ada orang-orang Yahudi yang enggan untuk menyatakan keimanan kepada Nabi karena sudah berada pada “zona nyaman” dengan keluarga dan harta yang dimilikinya.

Melihat aspek sejarah yang demikian, perempuan selayaknya harus dimurnikan dalam kubangan paradigma yang melabelisasi mereka dengan idiom “menyesatkan” dan “penggoda”, sebab yang dirujuk dalam ayat tersebut adalah untuk manusia secara umum. Utamanya, di masa modernitas sekarang ini, apabila ditemui fakta-fakta kemanusiaan yang masih timpang terhadap salah satu pihak, perlu segera diluruskan. Karena, Islam sendiri dengan jelas menjunjung tinggi esensi kemanusiaan yang setara dan tidak diskriminatif. Akan tetapi, tentu masih dibatasi dengan koridor-koridor fitrah yang diberikan Allah.

Maka, idealnya kita harus menggunakan cara baca yang objektif dalam melihat al-Quran yang menyinggung konteks gender. Tidak hanya dalam ayat ini, namun konteks lain seperti perkawinan, rumah tangga, hubungan seksual, waris, dan sebagainya. Yang mana, perempuan seringkali dizalimi dengan cara hanya dijadikan objek dan posisi sekunder dalam aspek kehidupan patriarki. Sehingga, dalam hal ini, akan terwujud sebuah produk pemahaman yang berkeadilan dan selaras dengan nilai ajaran Islam, yakni kemanusiaan yang universal dan rahmatan lil alamin.

Wallau A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan