Mengenang Sosok Buya Awiskarni Husin

1,877 kali dibaca

Setahun lebih sudah, Buya H Awiskarni Husin berpulang. Kepergiannya pada Senin, 8 Juni 2020 menyisakan luka mendalam bagi para santri Tarbiyah Islamiyah Pasia Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Beberapa hari sebelum wafat, Buya Awiskarni dilarikan ke Rumah Sakit Stroke Nasional atau sekarang disebut dengan Rumah Sakit Otak yang terletak di Bukittinggi. Namun, setelah memperoleh perawat selama tiga hari, kondisinya terus menurun.

Kepergian Buya Awiskarni meninggalkan begitu banyak kenangan bagi para santrinya, terutama yang tinggal di asrama atau pondok. Kami termasuk di antara santri yang sangat merindukan kenangan bersama Buya Awiskarni di asrama. Masih segar dalam ingatan seperti apa suara Vespa yang dikendarainya ketika memasuki kompleks asrama.

Advertisements

Ustaz ibukk …,” begitu kami menyapa sambil menundukkan kepala. Dan, “Oikk… nak,” begitu Buya Awiskarni membalas sapaan dari santrinya. Terkadang, Buya Awiskarni menjawab sapaan kami dengan ekspresi wajah yang sangat lucu, dengan meniru gaya selfie anak kekinian, memonyongkan bibir, misalnya. Dan kami pun tersenyum melihat tingkahnya.

Begitulah, pagi yang Buya Awiskarni diawali dengan berbagi kebahagiaan bersama para santrinya.

Sejarah MTI Pasia

Buya Awiskarni, yang sering disapa dengan sebutan Ustaz Awis, lahir pada 1 April 1945 di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Tepatnya di daerah Balai Gurah. Sejak belia, Buya Awis memperoleh pendidikan dari ayahnya, Buya H Husin Amin bin Muhammad Amin, dengan disiplin tinggi dan sangat keras. Tempaan dari sang ayah akhirnya membuahkan hasil. Pada 1964 pimpinan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pasia ini beralih kepada Buya Awis ketika kondisi Buya Husin sudah sepuh dan dari segi fisik juga kurang sehat.

MTI Pasai ini didirikan oleh Buya Husin Amin. Sebelum mendirikan MTI, Buya Husin berguru berguru kepada Syeikh Sulaiman Alrasuli di Candung dengan model halaqah. Kelak, halaqah Syeikh Sulaiman ini berganti nama menjadi MTI Candung, terletak di daerah Candung, Kabupaten Agam.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Candung, Buya Husin diminta menjadi guru di salah satu pondok pesantren di Pasia. Namun, pesantren tersebut diketahui memiliki paham yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang dipelajari di Candung. Setelah berita ini menyebar, sang guru pun menghampiri ayah Buya Husin, H Muhammad Amin, dan terlibat diskusi yang serius. Dalam perbincangan tersebut, sang guru mengusulkan untuk membangun sekolah sendiri di daerah ini. Usulan itu diterima, dan dari situlah asal mula sekolah MTI Pasia ini didirikan.

MTI Pasia Agam didirikan pada 3 Januari 1937, yang berlokasi di samping Masjid Jami Pasia. Saat itu hanya terdiri 2 lokal dan 1 kantor. Sekarang, bangunan ini sudah menjadi asrama putri. Seiring bergantinya tahun dan zaman, MTI semakin modern. Gedung-gedung dikembangkan menjadi bangunan yang megah. Saat ini, MTI Pasia dengan bangunan baru yang terletak di Jalan Lapangan Pitalo memiliki 16 gedung dan akan terus bertambah.

Memimpin MTI

Buya Awis mulai mengambil alih kepemimpinan pondok pada 1964. Selama 56 tahun mengadi pengasuh, seluruh hidupnya dicurahkan untuk mengembangkan lembaga pendidikan ini. Waktu, tenaga, pikiran, dan harta kekayaannya semua dicurahkan untuk kemajuan Tarbiyah ini. Karena itu, nama Buya Awis begitu lekat dalam sejarah perkembangan MTI.

Meskipun memimpin lembaga pendidikan yang maju pesat, nyatanya Buya Awis sendiri tak pernah menamatkan Sekolah Dasar. Namun, Buya Awis menguasai ilmu pengetahuan yang begitu luas, terutama ilmu agama. Buya Awis lebih memilih meninggalkan bangku SD lantaran lebih tertarik mendalami ilmu agama diajarkan oleh ayahnya. Buya Awis kecil belajar dengan sangat tekun dan keras kepada ayahnya. Ia juga mewarisi karakter ayahnya yang sangat tegas namun dermawan. Dan sejak kecil, cita-citanya memang ingin meneruskan perjuangan ayahnya. Berkat semangat dan keuletannya dalam belajar, Buya Awis dikenal sebagai anak yang cerdas mendahului teman-teman seangkatannya. Bahkan, ketika masih tingkat tsanawiyah, oleh ayahanda Buya Awis sudah diminta untuk mengajar di tingkat aliyah, dan tugas itu dapat ditunaikan dengan baik.

Selama memimpin MTI, Buya Awis menjadi figur sangat disegani oleh banyak orang karena kharismanya. Namun begitu, Buya Awis tergolong orang yang sangat ramah kepada siapa pun. Senang bergaul dan mudah akrab dengan siapa saja dengan membuat banyak lelucon saat bercerita kepada siapa pun.

Buya Awis termasuk kiai yang sangat berperilaku sederhana dengan contoh hidup. Bahkan di dalam pekarangan sekolah, Buya Awis tak segan-segannya memungut sampah yang tercecer di tengah lapangan sekolah. Itu yang membuat para santri terkagum-kagum dengan sosoknya.

Di kalangan para santri, Buya Awis dikenal sebagai guru yang tegas dan tekun dalam mengenalkan paham akidah ahlusunnah wal jama’ah. Bahkan, Buya Awis tak segan untuk membantah pendapat-pendapat yang menentang paham ini.

Berkat Rotan Buya

Ada hal unik dan terkenang hingga sekarang dari sosok Buya Awis ini. Ketika sedang mengajar, tak pernah ketinggalan, Buya Awis selalu membawa sebilah rotan yang di ujungnya terletak sebuah peluit. Peluit itu digunakan ketika ada seorang santri yang keluar kelas saat proses pembelajaran berlangsung. Mereka kadang membuat alasan izin ke guru yang mengajar untuk pergi ke kamar mandi. Faktanya, mereka mencari celah untuk tidak mengikuti pelajaran.

Saat-saat seperti itu Buya Awis turut memantau. Bila Buya Awis membunyikan peluit, dengan spontan santri akan menoleh dan ketakutan. Buya Awis pun menyorak sembari berkata, “Manga kalua kalua juo… masuak! (Ngapain keluar-keluar kelas… masuk!).” Biasanya, dengan langkah cepat si santri akan masuk kembali ke dalam kelas.

Selain itu, rupanya, rotan itu dipakai sebagai “pelecut” santri untuk cepat menguasai pelajaran. Seorang santri akan “menikmati” rotan itu ketika tidak berhasil menjawab pertanyaan darinya. Rotan itu itu akan dilemparkan ke arah santri yang tak bisa menjawab sembari berucap, “Manga jauh-jauh ka mari kalaou ndak dapek kaji, ma abiah-abiahan pitih urang gaek sajo (Ngapain jauh-jauh sekolah kalau pelajaran aja enggak dapet, ngabisin duit orang tua aja).”

Namun, hal itu dilakukan Buya Awis bukan dengan niat untuk menyakiti santri, tetapi agar para santri tidak mengulangi kesalahannya. Dan para santri pun paham bahwa mengulang pelajaran itu adalah sebuah keharusan bagi para pelajar.

Namun, harus diakui, “berkat” dari rotan itu, MTI Pasia mampu mencetak santri-santri yang unggul, berprestasi, dan siap untuk tampil di tengah masyarakat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan