Mengenal Kiai Penulis Tafsir Al-Qur’an (1): Kiai Sholeh Darat dan Tafsir Faidh ar-Raḥmān

3,199 kali dibaca

Al-Qur’an adalah sumber utama hukum Islam sekaligus pedoman hidup bagi seluruh umat manusia sepanjang masa dan lintas generasi. Namun, sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa atau lisan Arab yang fasih dan balaghah yang tinggi.

Ini tentu menjadi problem bagi umat yang tidak mampu memahami bahasa Arab dengan baik. Sehingga fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi semua umat manusia belum bisa terealisasi secara merata.

Advertisements

Menyikapi fenomena tersebut, para kiai pesantren mengambil langkah agar bagaimana masyarakat yang menjadi objek dakwahnya dapat menangkap pesan-pesan Ilahi yang termaktub di dalam Al-Qur’an.

Langkah yang ditempuh tidak lain adalah menafsirkan Al-Qur’an agar mereka mampu memahaminya. Di antara kiai-kiai pesantren yang menulis karya di bidang tafsir Al-Qur’an adalah Kiai Sholeh Darat dengan karya tafsirnya yang berjudul Faidh ar-Raḥmān.

Profil Kiai Sholeh Darat

Nama lengkap Kiai Sholeh Darat adalah Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani. Darat merupakan nama tempat yang terletak di dekat pantai utara kota Semarang di mana Kiai Sholeh kelak berdomisili di sana. Nama itu kemudian melekat pada dirinya, sehingga publik lebih mengenalnya dengan sebutan Kiai Sholeh Darat.

Beliau lahir pada 1820 masehi di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ia adalah putra dari Kiai Umar, yakni seorang kiai, pejuang kemerdekaan, dan sekaligus orang kepercayaan Pangeran Diponegoro.

Pendidikan pertama Kiai Sholeh Darat diperoleh langsung dari abahnya, Kiai Umar. Sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, Kiai Umar kala itu diberi mandat untuk mengkordinir gerakan jihad di pesisir pantai utara Jawa. Maklum, jika kemudian rumah Kiai Umar dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para kiai untuk berunding mengatur strategi jihad. Kiai Sholeh Darat memanfaatkan momentum itu untuk belajar kepada para kiai yang menjadi teman-teman abahnya. Di antaranya adalah Kiai Hasan Bashari, Kiai Jamsari, Kiai Dardak, dan Kiai Syadak.

Tidak hanya itu, Kiai Sholeh Darat juga belajar banyak ilmu kepada para alim ulama, baik di Jawa maupun di Mekah. Sebut saja di antara gurunya adalah Kiai M Syahid (cucu Kiai Mutamakin, Pati); Kiai Raden Muhammad Salih bin Asnawi, Kudus; Kiai Ishaq Damaran, Semarang; Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, Semarang; Kiai Abdul Ghani Bima, Semarang; Kiai Ahmad Alim, Purworejo; Syekh Muhammad al-Maqri al-Mishri al-Makki; Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbalah; Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan; Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki; Syekh Ahmad an-Nahrawi al-Makki; Syekh Umar as-Syami; dan Syekh Yusuf as-Sanbalawi as-Syami.

Berbekal segudang ilmu yang telah dipelajari dari para guru yang berkompeten, Kiai Sholeh Darat memberanikan diri untuk menyebarkan ilmunya dengan mengajar beberapa tahun di Mekah bersama sahabat seperjuangannya dari Indonesia, yakni Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudz Termas, Pacitan, dan Syekh Nawawi Banten. Karena saking cintanya pada tanah air, Kiai Sholeh Darat lantas berpamitan kepada sahabatnya untuk kembali ke Indonesia.

Kembalinya Kiai Sholeh Darat di Indonesia sangat memberikan kontribusi besar bagi perkembangan Islam di tanah air. Bahkan, seiring berjalannya waktu, ia diakui sebagai maha guru para kiai di Indonesia. Sebab, banyak santri—yang kemudian menjadi kiai-kiai besar—dari berbagai penjuru di Indonesia yang berguru kepadanya. Di antaranya adalah Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, dan Kiai Idris.

Kiai Sholeh Darat sama sekali tidak ikut andil dalam mengembangkan pesantren yang dirintis abahnya di Jepara. Ia lebih memilih mengabdi mengajar di pesantren Salatiang, Purworejo. Di pesantren ini, Kiai Sholeh Darat mengajar hingga tahun 1870-an.

Selepas itu, ia mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang, yang dijadikan sebagai sarana untuk mentransfer ilmu pada setiap santri yang berguru kepadanya. Kini Pondok Pesantren Darat hilang tanpa bekas pasca wafatnya Kiai Sholeh Darat. Saat itulah, sejumlah santri yang masih tersisa di sana diboyong semua oleh Kiai Idris dibawa ke Solo untuk menghidupkan kembali pesantren Jamsaren yang didirikan oleh Kiai Jamsari.

Kiai Sholeh Darat wafat pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M di usianya yang ke-83 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Bergota, Semarang.

Menulis Tafsir

Kiai Sholeh Darat adalah kiai yang sangat produktif menulis hingga akhir hayatnya. Tidak kurang dari 14 karya yang pernah ia hasilkan. Kebanyakan karya-karyanya ditulis menggunakan aksara Arab pegon berbahasa Jawa. Namun, dari 14 karyanya itu yang paling masyhur adalah Faidh ar-Raḥmān fī Tarjamah al-Kalām al-Mālik ad-Dayyān.

Penulisan tafsir tersebut bermula dari interaksi antara Kiai Sholeh Darat dengan RA Kartini. Suatu ketika, Kiai Sholeh Darat mengisi pengajian bulanan yang diadakan rutin oleh paman Kartini yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Demak. Dalam acara itu, Kiai Sholeh Darat mengulas secara gamblang maksud dari setiap ayat yang terkandung di dalam Q.S. al-Fātiḥah.

Kartini terkagum-kagum dengan penafsiran yang disampaikan oleh Kiai Sholeh Darat. Kartini merasa tercerahkan, sebab setiap hari ia membaca al-Fātiḥah, namun sama sekali tidak mengerti maksudnya. Melalui pengajian tersebut Kartini baru paham mengenai makna yang termaktub di dalam Q.S. al-Fātiḥah.

Saat itu pula, Kartini yang didampingi pamannya menghaturkan rasa terima kasih sekaligus memohon agar Kiai Sholeh Darat berkenan menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Jawa. Permohonan Kartini mendapat respons baik. Namun, pada waktu itu, penjajah pribumi melarang keras proyek penerjemahan Al-Qur’an. Kiai Sholeh Darat tidak kehabisan akal.

Untuk mensiasati itu, Kiai Sholeh Darat menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan aksara Arab pegon berbahasa Jawa. Terbukti, ikhtiar Kiai Sholeh Darat tersebut berjalan mulus tanpa ada perlawanan dari bangsa penjajah. Meski, dalam perjalanannya penulisan tafsir Faidh ar-Raḥmān harus terhenti di surat an-Nisā’ lantaran beliau wafat.

Meskipun konteks awal penulisan tafsir Faidh ar-Raḥmān berangkat demi memenuhi permintaan Kartini, namun pada hakikatnya tafsir ini ditulis dan ditujukan untuk masyarakat Jawa secara umum yang tidak mampu memahami Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab.

Inilah bukti konkret perhatian Kiai Sholeh Darat terhadap masyarakatnya dalam rangka memahamkan mereka tentang kitab sucinya Al-Qur’an. Agar fungsi Al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan pedoman hidup dapat membumi dan terwujud bagi masyarakat Jawa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan