Mengenal Kiai Bergelar Pahlawan (2): KH Idham Chalid

2,789 kali dibaca

Kiai Idham Chalid adalah satu-satunya tokoh Nahdatul Ulama (NU) dari Pulau Borneo yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Tidak hanya anugerah Pahlawan Nasional, Kiai Idham Chalid juga mendapatkan anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Hal ini menunjukkan kualitas maupun kontribusinya yang diakui oleh negara (tingkat nasional) maunpun di kancah internasional, yakni melalui salah satu universitas Islam yang menjadi sentra kajian Islam tingkat internasional.

Semasa hidupnya, Kiai Idham Chalid dengan arahan dari kedua orang tuanya mencurahkan pikiranya untuk fokus mencari ilmu, baik di sekolah formal maupun non formal, bahkan sampai merantu ke Pulau Jawa. Masa-masa yang penuh tantangan dan kegigihanya inilah yang membawa beliau ke pribadi yang bersahaja dan berwawasan keilmuan. Perjalanan hidupnya semata-mata dicurahkan untuk mencari kebermanfaatan bagi dirinya sendiri dan mengabdi di tengah-tengah masyarakat, baik dalam dakwah, organisasi, maupun politik.

Advertisements

Biografi

Kiai Idham Chalid dilahirkan pada tanggal 5 Muharram 1341 H/ 27 Agustus 1922. di Satui, Kalimantan Selatan. Tetapi ada versi lain yang beredar, bahwa Kiai Idham Chalid lahir pada tanggal 5 Januari 1921, seperti yang dipakai Tempo dan beberapa media lain tatkala mencantumkan biografi tanggal lahir Kiai Idham. Akan tetapi, kebanyakan literatur ilmiah menuliskan kelahiran beliau adalah tanggal 27 Agustus 1922. Hal ini bisa dipahami bahwa pada masa tersebut pencatatan sipil, khususnya akta atau surat kelahiran belum cukup baik. Tidak berlebihan, hampir kebanyakan orang pada masa tersebut juga tidak terlalu konsen terhadap tanggal kelahiranya.

Kiai Idham lahir dalam keluarga yang taat dan paham akan ilmu agama. Ayahnya bernama Muhammad Chalid dan ibunya bernama Ummu Hani. Di daerahnya, ayah Kiai Idham adalah seorang penghulu dan guru ngaji. Maka, yang pertama kali mengajarkan mengenai tajwid, membaca Al-Qur’an, dan belajar huruf latin adalah ayahnya sendiri.

Pengajaran yang diberikan oleh ayahnya sedari dini ini yang menjadi fondasi wawasan dan kecerdasan Kiai Idham tatkala semakin bertambah usia. Hal ini terbukti ketika bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), Kiai Idham langsung dimasukkan ke kelas II, karena sudah menguasai dasar-dasar, bahkan sudah cukup baik kemampuanya dalam baca tulis huruf latin.

Pada tahun 1934, Kiai Idham menamatkan SR, dan melanjutkan mondok di Madrasahturrasyidiyah di bawah asuhan ulama lulusan Al-Azhar, Mesir, yakni KH Juhri Sulaiman. Di Madrasahturrasyidiyah, beliau menjalani pendidikan formal lanjutan SR dan nonformal (mondok).

Dalam usianya yang terbilang masih belia ini, beliau sudah mengaji kitab kuning yang cukup variatif dan kitab induk (untuk sekelas kemampuan intelektual di usianya). Beberapa kitab yang beliau pelajari adalah: Fikih Al-Bajuri Ibnu Qasim, Saraf ‘Unwan Al-Zaraf, Tafsir Jalalain, Alfiyah Ibnu Malik, I’anat Thalibin, Nahwu Ibnu Aqil, Ushul Fiqh Waraqat, dan beberapa kitab lainya.

Pada 1937, beliau melanjutkan mondoknya di Sungai Nagara, Kalimantan Selatan. Di masa ini, beliau mulai mengenal dan andil aktif dalam NU, terutama karena kedekatannya dengan pimpinan NU Kalimantan Selatan, yakni, Sayyid Abu Bakar Al-Idrus dan KH Thohir Bakri (pimpinan Anshor wilayah Nagara).

Belajar di Pondok Nagara dan aktif dalam organisasi ini beliau jalani kurang lebih satu tahun. Pada 1938, beliau mendapatkan amanah dari ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Gontor, Ponorogo. Di Gontor, beliau masuk di Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (setingkat Aliyah/SMA). Gurunya di Gontor, di antaranya adalah KH Achmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi. Pada 1942 beliau lulus dan bekerja sebagai pengajar di Gontor, almamaternya.

Tak lama mengajar di Gontor, Kiai Idham mendapatkan rekomendasi dari pimpinan Pondok Gontor (KH Imam Zarkasyi) untuk mengambil kursus intensif Bahasa Jepang di Jakarta. Tatkala kursus di Jakarta inilah yang menjadi jalan pertemuan KH Idham dengan tokoh-tokoh nasional, sebut saja: Bung Hatta, KH Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantara, Abi Koesno Tjokrosoejoso, dan lain-lainnya.

Di sela-sela itensif kursusnya itu, beliau memanfaatkan untuk menjalin relasi dengan Taman Siswa melalui Ki Hajar Dewantara, PBNU, dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Singkatnya, setahun di Jakarta, Kiai Idham menyelesaikan kursusnya dengan memperoleh sertifikat intensif. Di Jakarta inilah, jiwa nasionalismenya mencuat tatkala melihat bagaimana kejamnya Jepang menjajah. Setelahnya beliau kembali ke Kalimantan, dan menikah.

Karier dan Kontribusi

Pada 1944, beliau kembali ke kampung halaman. Setibanya di Kalimantan, beliau ditunjuk untuk memimpin lembaga pendidikan Madrasahturrasyidiyah, tempat beliau sekolah dan mondok dulu. Di samping kesibukanya dalam mengurusi Madrasah, mengingat rasa nasionalismenya sudah tersulut tatkala melihat kekejaman Jepang di Jakarta, beliau mulai konsen dalam pergerakan politik di daerah.

Pada awal 1945, Jepang mulai mengalami kekalahan di pelbagai medan pertempuran. Hal ini juga semakin memancing gairah Kiai Idham untuk merapatkan barisan di daerah. Pertengahan bulan Juni tahun 1945, Kiai Idham mendapatkan kabar, bahwa senior sekaligus mentornya di Jakarta, Bung Hatta selaku wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berkunjung ke Amuntai, Sungai Nagara (daerahnya).

Dalam kunjungannya Bung Hatta menegaskan bahwa Kalimantan juga bagian dari Indonesia. Maka, singkatnya dibentuklah Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (Sungai Utara, Kalimantan), dan Kiai Idham sebagai Sekertaris dan gurunya KH Juhri Sulaiman sebagai ketuanya. Dari momen ini, Kiai Idham mulai terjun pada dunia politik, dan pada akhir tahun 1945, beliau menjadi Ketua Partai Masyumi daerah Amuntai.

Setelah kemerdekaan, Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Tak terkecuali masuk ke Pulau Kalimantan, khususnya Amuntai yang menjadi salah satu basis persiapan kemerdekaan dan operasional jalanya pemerintahan di Kalimantan. Maka dari sinilah, gerilya dan pergerakan politik maupun militer secara senyap dilakukan oleh Kiai Idham bersama santri maupun anak buahnya.

Pada awal tahun 1947, Kiai Idham bersama Hasan Basry, Komandan ALRI Divisi IV wilayah Kalimantan (yang juga alumnus Gontor) bergabung menyatukan kekuatan politik dan militer. Dan Kiai Idham diangkat menjadi staf penasihat umum.

Pada 1947-1949, Kiai Idham menjabat sebagai anggota Dewan Daerah Banjar. Pada akhir tahun 1949, beliau berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Umat Islam Indonesia. Dalam kesempatan ini, Kiai Idham bertemu dengan tokoh-tokoh nasional, di antaranya Muhammad Natsir, KH Masjkur dan KH Wahid Hasyim.

Pada 1950, atas dukungan masyarakat Banjar, beliau menjabat sebagai anggota legislatif di DPR RIS (Republik Indonesia Serikat) selaku wakil daerah Banjar (Menjabat sampai tahun 1955). Salah satu kontribusinya tatkala menjadi anggota DPR RIS adalah mengatur skema kebijakan penyelenggaraan ibadah haji, mengingat Indonesia yang baru lepas dari penjajahan kolonial Belanda belum memiliki pengalaman menyelenggarakan perjalanan ibadah haji. Atas perintah Menteri Agama, KH Wahid Hasyim, beliau melaksanakan studi banding ke beberapa negara bersama KH Soedja (Ketua Panitia Haji Indonesia).

Andil aktifnya selain menjabat sebagai anggota parlemen, Kiai Idham juga aktif dalam pengurus PBNU. Tatkala kursus Bahasa Jepang di Jakarta, beliau sudah bergabung dalam Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Di Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Kalimantan Selatan, beliau juga menjabat sebagai Wakil Rais Syuriah PWNU Kalimantan Selatan, merangkap ketua GP Ansor Kalimantan Selatan.

Karier di PWNU dan kedekatannya dengan KH Wahid Hasyim inilah yang mengantarkan kariernya di tingkat PBNU. Bahkan tatkala menjabat ketua GP Ansor Kalimantan Selatan, di PBNU beliau merangkap sebagai Sekertaris Majelis Pertimbangan Politik (MPP). Hal ini berdasar pengalaman di DPR RIS. Pada Muktamar ke-19 di Palembang (28 April-1 Mei 1952) beliau terpilih menjadi Sekertaris Jenderal PBNU.

Pada Muktamar ke-20 di Surabaya (8-13 September 1954), Kiai Idham terpillih sebagai Ketua I PBNU bersama dengan KH Mohammad Ilyas sebagai ketua II. Pada 1956, Kiai Idham ditunjuk sebagai perwakilan fraksi NU untuk memegang jabatan Wakil Perdana Menteri II Kabinet Ali Sastroamidjojo II, sekaligus merangkap Kepala Biro Keamanan. Jabatan di Kabinet dan di PBNU dapat dijalankan secara aktif oleh Kiai Idham. Pada Muktamar ke-21 di Medan (Desember 1956) Kiai Idham terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Hal ini bukanlah tanpa sebab, mengingat jabatan sebelumnya adalah ketua I PBNU sekaligus menjadi Wakil Perdana Menteri. Jabatan ketua umum PBNU terlama dipegang olehnya, yakni dari tahun 1956 sampai tahun 1984 (28 tahun).

Dalam rentang waktu tersebut, Kiai Idham juga merangkap pelbagai resuffle jabatan di Kabinet Pemerintahan, yakni: Menteri Utama bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera I (1966-1967), Menteri Negara Kesejahteraan dalam Kabinet Ampera II (1967-1968), Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembangunan I (1968-1973). Selain itu, ia juga pernah menjadi Ketua DPR (1968-1977) dan Ketua MPR (1972-1977), Ketua DPA (1978-1983).
Kiai Idham juga dikenal sebagai tokoh yang berkontribusi di tiga zaman; Perjuangan Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru.

Dalam masa perjuangan kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan, beliau turun langsung berperang, dan pernah ditawan oleh Belanda. Dalam era Orla dan Orba, beliau aktif berkontribusi dalam NU maupun pemerintahan. Jabatan Ketua Umum PBNU terlama yang dijabat beliau juga mematahkan mitos bahwa Ketua PBNU haruslah berdarah biru (keturunan ulama besar), terlepas dari pengaruhnya sebagawai Wakil Perdana Menteri, nyatanya beliau tetap didukung hingga 28 tahun, menandakan bagaimana kontribusi dan profesionalisme beliau.

Beliau menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir pada Maret 1957. Hal ini dikarenakan Kiai Idham mampu memadukan peranya sebagai ulama dan politisi secara apik dan maksimal. Pada tanggal 8 November, Negara melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Kiai Idham Chalid gelar pahlawan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan