Mengenal “Gus Durnya Yogya”

1,392 kali dibaca

Ketika mendengar nama Mahalli, tentu kita akan ingat pada salah satu ulama ahli tafsir yang sudah mendunia dan karya tafsirnya biasa dikaji di setiap pondok pesantren Nusantara: Jalaluddin al-Mahalli. Kitab tafsirnya sangat popular, Tafsir Jalalain.

Akan, tetapi Al-Mahalli yang saya maksud di sini adalah sebuah pesantren di daerah Pleret, Bantul, Yogyakarta. Pondok Pesantren Al-Mahalli didirikan oleh seorang kiai kampung, yaitu KH Muhammad Mahalli bin Abdullah Umar.

Advertisements

Pesantren ini mendapat perhatian yang luas dari masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah Pleret dan sekitarnya, termasuk saat ini Pesantren Al-Mahalli diasuh oleh KH.Ahmad Mudjab Mahalli, putra dari KH Muhammad Mahalli bin Abdullah Umar.

Kiai Mudjab Mahalli merupakan seorang ahli tafsir Nusantara. Adapun, kitab tafsir yang ditulisnya adalah Tafsir al-Mahali dan Tafsir al-Furqon. Yang menarik, Kiai Mudjab juga sering dijuluki sebagai Gus Durnya Yogya atau “Gus Dur dari Yogya”. Julukan diberikan lantaran Kiai Mudjab Mahalli memang memiliki kemiripan dengan KH Abdurrahman Wahid, baik secara fisik maupun gaya humornya dalam berdakwah. Selain itu, saat Kiai Mudjab masih hidup, Gus Dur pun sering main ke pesantrennya.

KH Ahmad Mudjab Mahalli dilahirkan pada 25 Agustus 1958 di Bantul. Beliau dilahirkan dari pasangan Kiai Muhammad Mahalli dengan Nyai Dasimah. Tidak terlalu banyak literatur yang membicarakan Kiai Mudjab kecil. Adapun, pendidikan formal yang pernah diikuti oleh Kiai Mujdab sampai Pendidikan Guru Agama di Wonokromo.

Setelah selesai dari PGA, oleh ayahnya, Kiai Mudjab Mahalli dititipkan kepada Kiai Busyro yang tidak lain masih iparnya untuk dicarikan pondok pesantren. Pada akhirnya Mudjab muda dibawa untuk sowan ke Mbah Kiai Hamid Kajoran, seorang ulama dan wali besar di daerah Magelang.

Namun, oleh Mbah Hamid, Mudjab muda malah disarankan untuk nyantri di Pesantren Salafiyah Banjarsari, Tempuran, Magelang di bawah pimpinan seorang alim dan zuhud, yaitu KH Muhammad Syuhudi. Akhirnya, Mudjab muda belajar pada Kiai Muhammad Syuhudi selama sembilan tahun.

Ketika nyantri dapat tujuh bulan di Pesantren Salafiyah ini, Mudjab muda mendapat kabar bahwa abahnya, Kiai Mahalli, meninggal dunia. Hal ini membuat hati Mudjab muda berduka sangat mendalam, hampir-hampir dia tidak mau kembali lagi ke pesantren. Namun, karena sudah menjadi amanah dari kedua orang tuanya, akhirnya Kiai Mudjab tetap melanjutkan nyantri di Pondok Salafiyah Banjarsari.

Di pesantren ini Mudjab muda sangat rajin, tekun belajar, dan mulai tampak bakat-bakatnya termasuk bakatnya dalam menulis. Kiai Mudjab sadar bahwa pesantren peninggalan ayahnya harus dikembangkan. Oleh sebab itu Mudjab muda tekun dalam belajar.

Pada tahun 1982, Kiai Mudjab boyong dari Pesantren Salafiyah Banjarsari. Kemudian setelah kepulangannya ini, Mudjab muda mulai merintis pesantren peninggalan ayahnya tersebut. Namun, Mudjab Mahalli kemudian dihadapkan pada dua pilihan berat, yaitu antara membangun pesantren atau melanjutkan studi ke Timur Tengah. Mudjab Mahalli pun bingung menentukan pilihan di antara dua pilihan tersebut. Untuk memutuskan pilihannya, Mudjab Mahalli sowan lagi ke Kiai Hamid Kajoran guna meminta saran kemudian. Saat itu, Kiai Hamid Kajoran memberi saran agar Kiai Mudjab memantabkan hati untuk mengembangkan pondok pesantren.

Awalnya, di pesantren ini hanya diadakan pengajian selapanan dan juga pengajian keliling dari desa ke desa. Pada 10 Oktober 1982, secara resmi pondok ini diberi nama Pesantren Al-Mahalli. Alamat pesantren ini ada di Dusun Brajan, Wonokromo, Bantul.

Pada saat ini Pondok Pesantren Mahalli mengalami kemajuan yang peast bahkan memiliki lembaga formal seperti Madrasah Tsanawiyah, Madrasah ‘Aliyah, koprasi, LSM, lembaga penerbitan, dan lembaga dakwah. Bukan hanya itu, Kiai Mudjab juga berinisiatif mendirikan lembaga yang diberi nama Lajnah Ta’lif wan-Nasyr, yaitu sebuah lembaga yang bergerak di bidang penulisan dan penerbitan. Pendirian lembaga ini bukan tanpa sebab. Sebagai seorang kiai yang gemar menulis buku, Kiai Mudjab juga ingin para santrinya memiliki kemampuan menulis seperti dirinya.

Sudah sejak mudah Kiai Mudjab menggeluti bidang kepenulisaan. Pada 1980 Kiai Mudjab menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Mutiara Hadis Qudsi. Ada satu nama yang tidak boleh dilupakan atas kesusksesan Kiai Mudjab menulis, yaitu Mahbub Djunaidi. Ceritanya, suatu hari Mahbub Djunaidi memberikan mesin ketik sebagai hadiah kepada Kiai Mudjab. Sejak itulah Kiai Mudjab semakin produktif menulis.

Kiai Mudjab menikah dengan Nyai Nadhiroh, putri Kiai Muslih Zuhdi Musthafa Rembang pada 23 Febuarai 1989. Dari pernikahannya ini Kiai Mudjab dikaruniahi empat orang empat orang putra yaitu, Ahmad Firdaus Al Halwani, Ahmad Muhammad Naufal, Muhammad Iqbal, dan Hadian Sofiyarrahman.

Sebagai hadiah kenangan pernikahannya, Kiai Mudjab menulis Tafsir al-Mahali. Kiai Mudjab wafat pada usia 45 tahun, tepatnya 23 November 2003 pada pukul 13.30. Kiai Mudjab wafat meninggalkan seorang istri dan empat orang putranya.

Kiai Mudjab wafat dengan meninggalkan warisan berupa karya tulis yang sangat banyak sekali. Namanya masih dikenang hingga kini berkat karya-karyanya yang sangat luar biasa. Kini jarang kita jumpai seorang kiai yang multitalenta semacam ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan