Mengapa Radikalisme Ditolak di Indonesia?

1,496 kali dibaca

Bagi kebanyakan orang, radikalisme hanya fantasi keagamaan seseorang belaka yang mencari ketenaran di tengah isu keislaman yang menyebar. Mereka mencari sensasi bagi terciptanya terminan “pahlawan” untuk dirinya sendiri dengan menggunakan tafsiran keagamaan yang dangkal dan prematur. Berdiri sebagai mujtahid mencoba mengotak-atik bentuk negara yang sudah final: republik.

Lalu pertanyaan menggantung seputar radikalisme, mengapa paham itu ditolak di Indonesia? Padahal jelas dalam konstitusi di Indonesia tidak ada satu pun regulasi yang membatalkan fantasi radikalisasi keislaman itu. Paham yang tidak boleh beroperasi yang termaktub dalam konstitusi hanya paham sosialisme dan marxis-leninisme (hal ini disampaikan oleh Direktur Pencegahan BNPT-RI Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwahid dalam kesempatan dialog kebangsaan Kongres 1 Demfasna).

Advertisements

Dalam pemahaman semiotika, radikal menjadi salah satu sifat hakikat keilmuan di mana ilmu bisa dibahas secara komprehensif. Tanpa radikal, seseorang akan melacuri keilmuan yang berpotensi menyesatkannya dalam labirin ilmu itu sendiri. Ketiadaan radikal dalam ilmu, pertanyaan hanya akan berkutat pada “apa”, “apa itu Islam” tanpa tahu peristiwa, tujuan, dan hakikat dari keberadaaan Islam itu sendiri (mengapa). Bahkan (kalau mungkin) “bagaimana nantinya” (Dari Teks Ke Eksplanasi, Yoan Simanjuntak)

Ada kemungkinan dua subjek dalam aspek radikal-non radikal di sini, yakni tukang ilmu dan ilmuwan. Tukang ilmu masuk pada ranah pemuasan terhadap “nama (seperti, apa itu Islam)” bagi adanya keagamaan seseorang yang islami itu dengan kualifikasi kategori-kategori (penetapan sebuah nama). Sedangkan dalam subjek yang kedua, ilmuwan, memberikan penuturan secara lengkap dan mendasar melampaui sekadar informasi dan nama untuk memberikan hakikat pengetahuan (logos) di balik sekadar berlakunya informasi (nomos) dari Islam tersebut.

Namun, ketika radikal itu bermanifestasi pada radikalisme (-isme), sematan “imprealis paham” dan terorisme segera muncul dalam wajah kebangsaan kita. Radikalisme menjadi ancaman yang berpotensi mereduksi nilai dasar serta cita luhur peradaban bangsa. Radikal yang mewujud radikalisme di Indonesia sudah menanggalkan sifat yang melekat pada ilmu. Radikalisme sudah bermutasi pada pergerakan intensif yang ingin menyetubuhi kebangsaan kita.

Dalam pandangan buku Ilusi Negara Islam, alasan radikalisme ditolak diuraikan dengan seksama di dalamnya. Pertama karena melakukan perubahan secara masif dengan tempo yang singkat. Pergerakan radikalisme membawa misi perubahan yang besar secara intensif yang tidak prosedural. Orientasi perubahan yang dibawanya tidak sistematis dan tidak mengenal tahapan.

Strategi pencapaian yang digunakan adalah dengan menggunakan media sosial (medsos) dengan menebar narasi hoax untuk melakukan propaganda, provokasi, dan ujaran kebencian. Strategi selanjutnya adalah memberdayakan pemuda dan perempuan yang memiliki semangat juang keislaman. Mereka mereproduksi kembali semangat juang itu dengan doktrin-doktrin jihad.

Kedua adalah menutup pemahaman dari dinamika sosial dan keagamaan di luar pemahamannya. Ajaran yang dipegang dalam paham radikalisme bersifat absolut, monodoktrinal, dan menolak karakteristik lokal di mana Islam itu berkembang. Menutup diri seperti ini menghilangkan kedinamisan Islam yang rahmatan lil ‘alamin sebagai hakikat keislaman. Bagaimana mungkin dengan Islam yang demikian itu, Islam bisa dinamis merasuki kehidupan manusia, justru menolak dinamika kemanusiaan yang sedang terjadi.

Ketiga yakni menggunakan kekerasan. Selain paham radikalisme mensucikan ajarannya yang absolut, ajaran itu juga dipaksakan kepada seseorang untuk didogmatiskan dengan jalan kekerasan. Di sinilah muncul kemudian fenomena bom jihad bunuh diri yang menewaskan banyak orang dalam satu ledakan. Mereka melihat orang yang tidak bersepemahaman dengan mereka adalah musuh dan wajib untuk ditumpas. Jalan kekerasan menjadi pegangan dari asosiasi paham mereka.

Kemudian yang terakhir adalah menggunakan tafsiran keagamaan secara prematur tanpa landasan yang jelas serta argumentasi yang kuat. Tafsiran keagamaan semacam ini memunculkan doktrin teologis yang menghakimi ketentuan dan kehendak tuhan. Mereka mendahului ranah kekuasaan tuhan dengan tafsirannya itu.

Dimulai dari kafir-mengkafirkan sampai pada monopoli janji surga atau bayang-bayang permaisuri dengan segala kenikmatannya sebagai imbalan bagi mereka yang melakukan jihad dengan bom bunuh diri. Mereka tersesat dalam ajaran mereka sendiri dengan menempatkan ajarannya pada ruang antinomi, misal, adanya keyakinan menghardik anak yatim adalah dosa. Namun mereka sendiri dengan ijtihad surganya menciptakan anak yatim tanpa tahu bagaimana nasib setelah eksekusi aksinya itu.

Berdasarkan uraian alasan di atas, radikalisme tidak akan pernah memiliki ruang gerak dalam bingkai kebangsaan Indonesia. Keberadaan radikalisme selamanya akan dikonotansikan sebagai paham yang sesat dan mengancam kedaulatan bangsa.

Radikalisme tidak ubahnya ilusi keagamaan yang mencoba mendobrak konsistensi persatuan yang sejak dulu dibangun. Mereka fanatik terhadap episteme jihad sehingga mencari ruang gerak di ruang yang sudah final. Hal yang disayangkan dari paham radikalisme, selain penolakan yang diperoleh atas ajaran mereka, mungkinkah dengan jihad bom bunuh diri yang mereka lakukan, ilusi surga dan kenikmatannya yang mereka janjikan bisa diwujudkan pada reinkarnasi hidup selanjutnya?

Radikalisme di Indonesia jelas ditolak keberadaannya. Bahkan ada lembaga khusus untuk menanggulangi gerakan paham itu. Hal yang menjadi catatan dalam perundang-undangan adalah tidak adanya regulasi dengan otonomi khusus untuk pencegahan paham radikalisme. Tentu ini menyulitkan bagaimana mengidentifikasi penyebaran paham radikalisme.

Pihak BNPT-RI sebagai lembaga negara bisa menanggulangi radikalisme secara efektif ketika ada regulasi khusus untuk mengidentifikasi penyebaran paham itu sehingga penanggulangan berupa pembinaan psikologis, penyuluhan kewirausahaan, bimbingan wawasan kebangsaan dan keagamaan bisa segera disosialisaikan. Sejauh ini, regulasi hanya berputar soal sosialisme, Marxisme, dan Leninisme. Kenyataan itu menjadi kelemahan kita saat ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan