Mengapa Perlu Berbaik Sangka

1,218 kali dibaca

Mengapa seseorang begitu mudah menyimpulkan arah cerita dari lika-liku-lakon perjalanan manusia?

Seringkali dalam kehidupan ini kita tergoda untuk menyimpulkan atau katakanlah menilai perilaku dari teman, saudara, bahkan keluarga sendiri. Dalam situasi tertentu, entah karena kesal atau karena kepongahan diri, kita dengan mudah begitu saja memprediksi maksud atau tujuan dari orang lain. Dengan mudah pula kita mengasumsikan akan ke mana niat orang lain. Mengklaim benar-salah, baik-buruk pada liyan (the others).

Advertisements

Padahal semua ini bersumber dari sudut pandang kita; jika dari awal sudah keruh, maka selanjutnya yang akan mengalir dari diri kita pun sesuatu yang tidak jernih. Hati dan pikiran kita menentukan output kita pada orang lain. Mungkin demikian.

Begitulah manusia. Terkadang apa yang pernah menimpa dirinya dianggap akan sama menimpa pula pada selain dirinya. Apa yang ia rasakan akan sama pula dengan yang dirasakan selainnya. Ini semacam sudut pandang yang semi-absolute. Memaksakan garis takdir. Padahal, sungguh Tuhan adalah sang Maha. Keragaman kreasi-Nya sungguh unlimited. Tak seperti film-film yang dihasilkan oleh manusia, Tuhan sedemikian detail menciptakan lakon, dan multi-tafsir bahkan dari sepuluh arah mata angin. Allah, sungguh samudra tanpa tepi.

Dari sini, tak heran jika dalam ilmu kelola hati (tasawuf), para salafus shalih selalu menganjurkan kita untuk selalu memiliki hati yang baik pada Tuhan dan orang lain. Khusnudzon. Ini penting agar kita tak terjebak sesatnya asumsi yang seringkali membawa kita pada hal-hal yang kurang baik dan tentu juga mudarat bagi orang lain.

Dan memang, membersihkan hati dan pikiran tak semudah membersihkan pakaian yang terkena kotoran. Tazkiyatul qolbi membutuhkan latihan panjang dan istikamah. Dan latihan ini tidak sama seperti ketika kita hari ini mampu menjaganya berarti kita sudah lulus, tidak begitu. Menjaga kejernihan hati dan pikiran adalah ujian sepanjang masa. Inilah juga yang masuk dalam dawuh Kanjeng Nabi “jihad al-kubro”, melawan hal-hal negatif yang muncul dalam diri. Nafsu yang menyesatkan manusia.

Bermasyarakat memang susah-susah gampang. Tapi jalan yang paling menyelamatkan adalah dengan selalu berusaha untuk memiliki hati dan pikiran yang baik.

Ada anekdot menarik, ketika Nasrudin Hoja mengajak anaknya untuk pergi ke suatu daerah dengan menggunakan keledai. Anda mungkin sudah pernah mendengar cerita ini. Baiklah, Anda memang lebih cerdas dan tentu jauh lebih tahu tentang cerita masyhur ini. Tapi sejenak mari sama-sama mentadabburi peristiwa ini. Betapa jika kaca mata kita hanya mampu melihat dari satu arah, tentu ini tidak baik untuk dijadikan kesimpulan. Kita perlu menjelajahi sudut-sudut yang lainnya, agar fair.

Kiranya begitulah hidup. Seringkali kita sudah tidak fair sejak dari sudut pandang. Kita dipenjara oleh satu persepsi. Satu persepsi itu bisa jadi benar adanya, tapi belum cukup. Ibarat seseorang yang memandang seekor gajah hanya dari belalainya, ia bisa jadi tertipu dan menyangka itu ekor. Dan kemungkinan lain dan kemungkinan lain-lain.

Indahnya hidup, apalagi perihal bersosial bermasyarakat, adalah dengan kerendahan hati, dalam hal ini memandang hidup dan lakon manusia. Suatu hari ketika pertama kali mendengar adagium yang berbunyi, “berbaik sangkalah pada siapa pun, sebab orang yang berburuk sangka sungguh ia telah salah, dan salah meskipun kenyataannya benar, dan orang yang berbaik sangka, sungguh ia telah benar dan benar meskipun kenyataannya salah.”

Sulit bagi saya saat itu untuk mengiyakannya. Tapi melalui pengalaman dan beberapa peristiwa yang saya lihat dan baca, sedikit demi sedikit saya “takluk” pada adagium itu. Entah Anda. Saya tak sedang berkhotbah, ini hanya cerita saja. Jadi tak ada yang sedang menggurui atau digurui di sini.

Saya tutup tulisan ini dengan kisah ketika pertama kali Umar bin Khattab melawat ke Yerusalem (sebuah ekspedisi cum ekspansi wilayah Islam) untuk menandatangani kesepakatan gencatan senjata dan penduduk Palestina memilih menyerah secara damai dan patuh pada ketentuan sang khalifah. Saat itu Umar mengenakan baju satu-satu miliknya yang lusuh dan hampir penuh jahitan pergi bersama budaknya menggunakan unta. Ketika telah masuk ke wilayah Palestina, saat itu adalah giliran sang budak untuk menaiki unta, sementara Umar berjalan kaki di sampingnya. Syahdan, para penduduk menyambut dengan suka cita, dan mereka mengira si penunggang unta adalah sang khalifah. Betapa tertegunnya si budak dipuja-puja, sementara Umar bergeming. Semua salah sangka.

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan