Menelisik Ladang Subur Radikalisme (1)

1,030 kali dibaca

Kenapa sejak Era Reformasi radikalisme agama justru tumbuh subur di Indonesia?

Seorang peneliti dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (AS), Alexandre Pelletier mencoba mencari jawaban melalui riset. Riset dengan pokok masalah mobilisasi Islam fundamentalis dilakukan di Pulau Jawa. Belum lama ini hasil riset tersebut telah dipublikasika di jurnal Comparative Politics. Riset dilakukan pada 2014-2015, sebagai bagian dari proyek program doktoral Pelletier.

Advertisements

Hasil riset Pelletier sesungguhnya tak begitu mengejutkan. Ia menguatkan sejumlah asumsi yang berkembang di kalangan masyarakat. Hasil riset Pelletier menunjuk Jawa Barat sebagai ladang subur radikalisme agama atau kelompok-kelompok militan berbasis agama, dibandingkan dengan, misalnya, di Jawa Timur atau Jawa Tengah.

Yang menarik dari hasil riset Pelletier justru ini: radikalisme agama justru tumbuh subur di tengah lingkungan masyarakat dengan tingkat otoritas keagamaan yang lemah. Artinya, pada masyarakat di mana tokoh dan lembaga keagamaan tidak memiliki pengaruh yang dominan, dan keduanya justru sedang berebut pengaruh, maka di situlah ladang subur radikalisme itu.

Pelletier melakukan riset mobilisasi kelompok Islam fundamentalis di sepanjang Pulau Jawa, yang salah satu representasi terkuatnya mewujud dalam diri Front Pembela Islam (FPI). Pelletier menyebut FPI sebagai kelompok militan dengan mobilisasi paling menonjol, tak jarang dengan kekerasan, untuk menolak hal-hal mereka anggap amoral dan sesat.

Pelletier juga menyebut keberadaan FPI dan kelompok-kelompok militan lainnya memiliki peran signifikan dalam mempertajam polarisasi dan populisme agama di Indonesia, yang sebelum era reformasi tidak memperoleh ruang gerak.

Berdasarkan hasil riset Pelletier ini, diketahui, dari enam provinsi di Pulau Jawa, Jawa Barat memiliki jumlah kelompok Islam militan terbesar dan paling melakukan mobilisasi massa. Beberapa daerah di sekitar Jawa Barat mengalami pertumbuhan kelompok Islam fundamentalis lebih cepat dan mobilisasi yang lebih ajek.

Menurut Pelletier, angka mobilisasi yang diwarnai aksi kekerasan di Jawa Barat mendekati 60 persen dari total kejadian di Pulau Jawa sejak 1998. Bandingkan, misalnya, dengan di Jawa Timur dengan aksi mobilisasi yang hanya 10 persen.

Kesimpulan Pelletier berdasar hasil penelitiannya ini menolak teori beberapa pengamat yang menyebut munculnya kelompok militan seperti FPI karena dikanalisasi oleh proses desentralisasi dan patronase politik pada periode Reformasi. Faktanya, teori itu tidak bisa menjelaskan sepenuhnya mengapa kelompok-kelompok seperti ini cenderung lebih berkembang di Jawa Barat, padahal insentif politik, jika itu dikarenakan oleh proses desentralisasi dan patronase politik, dapat dibilang sama di seluruh Indonesia.

Pelletier juga meragukan teori lain yang menyebut suburnya kelompok militan di Jawa Barat ini berhubungan dengan jaringan Darul Islam, gerakan garis keras yang berusaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam antara tahun 1942 dan 1962. Pelletier hanya menemukan sedikit korelasi ketika hasil menunjukkan bahwa sebagian besar pemimpin kelompok militan seperti FPI, terutama ketika di tingkat kabupaten dan kecamatan, adalah kiai atau ustadz yang mengelola pesantren, pengajian, atau majelis taklim kecil.

Pengaruh Pesantren

Pelletier melakukan puluhan wawancara dengan berbagai kiai dan kelompok militan selama riset, dan menggunakan kumpulan data terbaru terkait 15.000 pesantren dan 30.000 kiai di Jawa. Dari data yang terkumpul, Pelletier melakukan komparasi perspektif tentang institusi Islam di Jawa yang belum ada sebelumnya.

Berdasarkan komparasi yang dibuat Pelletier, diketahui Jawa Barat memiliki pesantren lebih banyak dibandingkan dengan Jawa Timur. Namun, ukuran pesantren Jawa Barat dua kali lebih kecil dibanding rata-rata (JB=111,5; JT=230,5 santri). Peta yang dihasilkan riset ini menunjukkan kabupaten dengan pesantren-pesantren paling kecil (warna hijau) dan pesantren dengan jumlah murid lebih dari seribu (titik hitam) di Pulau Jawa.

Di Jawa Barat, skala pesantrennya jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain. Hanya ada 26 pesantren yang punya murid lebih dari 1.000 di Jawa Barat. Bandingkan, misalnya, dengan di Jawa Timur yang memiliki tidak kurang dari 94 pesantren dengan jumlah santri lebih dari seribu orang.

Dari pemetaan komparatif tersebut diketahui bahwa, meski memiliki lebih banyak pesantren, pesantren di Jawa Barat memiliki pengaruh (otoritas) yang lebih lemah jika dibandingkan dengan pesantren di Jawa Timur. Di Jawa Barat, pesantren tidak hanya kecil, tapi juga lemah secara kolektif. Jaringan antar-kiai di Jawa Barat lebih renggang, lebih terfragmentasi, dan lebih informal dibandingkan dengan di Jawa Timur.

Fakta lain dari riset ini menunjukkan dinamika organisasi keagamaan di Jawa Barat. Meski banyak orang di Jawa Barat adalah nahdliyin, namun Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi muslim terbesar di Indonesia tidak begitu dominan dan berpengaruh di Jawa Barat. Sebaliknya, lanskap organisasi masyarakat Islam di Jawa Barat sangat terpecah-pecah. Sebagian besar kiai tidak terafiliasi atau hanya menjadi anggota organisasi yang kecil.

Dari studi komparasi ini Pelletier menarik kesimpulan: di Jawa Barat otoritas elite agama (tokoh dan lembaga) lebih lemah dengan struktur yang relatif kompetitif, dan inilah yang menjadi ladang subur tumbuhnya radikalisme.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan