Santri Mbeling Bernama Felix

2,443 kali dibaca

Klunting!
Ada pesan masuk. Buru-buru Felix menangkupkan selimut ke tubuhnya. Dalam sekejap, santri mbeling itu telah membuka HP, padahal tidak jauh darinya juga ada pasien santri yang tengah tergeletak, bahkan pengurus kesehatan juga hilir mudik menjenguk pasien. Pesantrennya memang terbilang modern dengan fasilitas terlengkap. Hampir semua kebutuhan santri tersedia di lingkungan pesantren, termasuk mustasyfa ma’had. Felix merupakan santri buronan pengurus. Sudah tak terhitung takziran yang didapatkannya. Dan Felix tak pernah jera. Bagaimana cara mengelabui pengurus keamanan adalah tantangan bagi dirinya. Seperti yang tengah ia lakukan saat ini.
Dengan alasan sakit, Felix meninggalkan kelas diniyah. Sebatang gawai pintar ia selipkan di sarung. Ketika sampai di bilik kesehatan, bukannya terkapar kesakitan, dia justru menikmati game di gawai pintarnya. Dengan mengambil posisi pojok bilik, dia memainkan sandiwara dengan apik.
“Hai”
Felix penasaran dengan pesan menggoda dari nomor misterius itu. Apalagi ketika dia buka foto profilnya. Seorang gadis berjilbab dengan masker yang menutup sebagian wajah. Siapa dia?
“Hai. Siapa ini?” balas Felix.
Nomor misterius itu begitu fast respond. Tak butuh ganti menit balasan Felix telah berubah warna jadi biru. Dia telah membacanya. Felix semakin antusias.
“Masak lupa? Wihda!”
Wihda??? Siapa dia? Felix mengulik isi kepala untuk membuka lipatan memori yang tiba-tiba terasa kusut. Pernah adakah temannya yang bernama Wihda?
“Wihda siapa ya?” tanya Felix dengan perasaan ingin tahu yang kian memburu.
Klunting! Pesan masuk lagi. Bukan pesan tulisan yang masuk ternyata, melainkan foto. Felix agak jengah karena sinyal sedikit ngadat. Icon lingkar hijau berputar-putar di tengah foto. Apa isi foto ini? Pikirnya kian resah dan membuncah.
Dan detik berikutnya gambar itu berhasil diunduh. Foto selfie close-up menampilkan gambar zoom bibir merah merekah. Felix kian gundah.
Klunting! Ada pesan masuk lagi. “Kamu lg dmn?”
Deg! Dada Felix berdesir kemudian sibuk mengetik.
“Kontrakan.” Felix berbohong
“Ketemuan yuk!”
Felix mengerutkan dahi dengan perasaan curiga sekaligus tergoda. Akan tetapi kemudian rasa tergoda lebih menguasai dirinya. Tak berapa lama kemudian kata-kata manis memburai dari jemari kedua belah pihak. Maka ungkapan janji mereka ikrarkan. Sebuah tempat pertemuan mereka sepakati. Dan setengah jam lagi mereka akan menuju ke sana. Beralasan membeli obat yang tidak tersedia di mustasyfa, Felix kemudian mengantungi izin untuk keluar pondok.
“Aku sudah sampai,” pesan terkirim dari whatsapp Felix. Segera pesan itu berubah warna biru.
“Kamu pakai baju apa?” tanya Wihda.
“Celana jeans, T-shirt putih inspired. Kutunggu hadirmu,” balas Felix. Sebatang rokok ia nyalakan. Duduknya bertopang lutut, mencakung di depan Indomart. Wewangian telah ia semprotkan ke tubuhnya saat berangkat tadi. Maka tak ada alasan untuk tidak percaya diri di pertemuan perdana ini.
“Kamu pakai baju warna apa?” tanya Felix lagi, menyadari kali ini pesannya tak kunjung berbalas.
“Putih pudar,” sahut Wihda cepat. Berkerutlah dahi Si Felix. Low profile sekali Wihda ini, pikirnya.
“Kapan sampai?” Felix semakin tak sabar ingin berjumpa dengan Wihda Si Bibir Merekah.
“Sudah dari tadi,” sahutnya cepat.
Dahi Felix semakin berkerut-kerut. Matanya memindai setiap pengunjung yang datang. Dan tiba-tiba ia bersiborok dengan tatapan seorang lelaki yang duduk di kursi tidak jauh dari dirinya. Lelaki bermasker itu memakai jaket hitam dengan pakaian berwarna putih, memudar??? Sepertinya Felix kenal dengan lelaki itu. Dan benar saja, detik berikutnya lelaki itu datang menghampiri. Cemaslah Felix.
Felix kemudian membuka whatsapp, membuang grogi. “Aku samperin,” Wihda mengirim pesan lagi.
Deg! Dada felix bergetar. Tiba-tiba ada perasaan mengganjal yang bercokol di kepalanya.
“Perkenalkan! Muhammad Wihda Fatoni!” suara bariton yang membahana di depannya itu menggetarkan sanubari Felix. Dan lelaki itu melepas maskernya. Ustadz Fatoni? bisik felix dalam hati.
“Serahkan HP-mu! Pengurus lain bisa kamu kelabui, tapi tidak denganku!”
Tubuh Felix semakin lemas. Lelaki kelas dua belas aliyah itu lantas digelandang Ustadz “Wihda” Fatoni kembali ke pesantren tidak jauh dari tempat itu.
“Apes, harapan mau kencan, ternyata berujung takziran,” Felix mengumpat dalam hati.

Tinggalkan Balasan