Meneladan Daya Juang Kiai Bashir

1,499 kali dibaca

Menjadi santri di Pondok Pesantren Annuqayah mempunyai kebanggaan tersendiri. Menimba ilmu dan berbagai pengalaman hidup menjadi bekal untuk kehidupan di dunia dan di akhirat. Saya, Slamet Riadi, alumnus Pesantren Annuqayah 2005, mempunyai pengalaman yang tidak mungkin terlupakan begitu saja.

Adalah KH Bashir Abdullah Sajjad, menjadi inspirator dalam hidup saya, karena sebuah alasan yang saya lihat dengan mata kepala sendiri. Pengalaman ini akan terus terkenang sepanjang masa, sepanjang hidup, bahkan hingga akhir hayat nanti.

Advertisements

Sekitar tahun 1997, saya dengan beberapa santri lainnya mengikuti pengajian kitab yang dipimpin oleh KH Bashir. Beliau memberikan pengajian ini khusus kepada santri yang tidak sekolah formal. Di antara santri memang ada yang tidak belajar sekolah formal (mondok saja dan hanya ikut pengajian kitab kuning), disebabkan karena sudah lulus atau tidak melanjutkan pada tingkatan selanjutnya. Ada berbagai faktor atas kondisi ini, tetapi tidak sedikit santri yang hanya ingin belajar ilmu agama semata. Maka mengikuti pengajian kitab menjadi alternatif yang sangat memungkinkan.

Tersebab itulah, kemudian KH Bashir memberikan pengajian kitab yang dilaksanakan pada pagi hari. Masih teringat jelas dalam pikiran saya, bahwa pengajian kitab itu dilaksanakan sejak jam 07.00 hingga jam 10.00. Sebuah alur waktu yang tidak singkat mengingat kegiatan belajar dianggap sering membosankan. Tetapi, saya dan teman santri lainnya tetap mengikuti pengajian tersebut dengan penuh takzim dan semangat. Sebab, selain pengajian ini kami tidak ada kegiatan lain kecuali pengajian-pengajian yang diikuti oleh banyak santri. Hal ini merupakan kesempatan yang harus saya ikuti secara maksimal.

Suatu ketika, KH Bashir Abdullah Sajjad ditimpa musibah sakit pada bagian betisnya. Terlihat dari raut wajah, kedua mata Beliau memberikan sebuah tanda bahwa KH Bashir mendapatkan ujian sakit yang luar biasa. Namun, Beliau tetap memberikan pengajian meskipun dengan kondisi fisik yang sangat lemah karena sakit. Seringkali saya (mungkin juga teman lainnya) merasakan kemirisan dan menekan rasa sakit dalam hati melihat kondisi Beliau yang sakit. Tapi kami tidak dapat berbuat apa-apa. Selagi Beliau tetap mengajar, memberi pengajian, kami tetap sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami patuh).

Perjuangan dakwah KH Bashir Abdullah Sajjad benar-benar luar biasa. Beliau mengesampingkan kondisi fisik diri sendiri demi memberikan pengajaran kepada santri-santrinya. Bahkan saat kondisi fisik yang cukup memprihatinkan pun, Beliau tetap memaksakan diri untuk memberikan pelayanan terbaik kepada santri. Itu semua Beliau lakukan sebagai bentuk komitmen dalam melaksanakan dakwah, amar makruf nahi munkar.

Baru setelah ada vonis dari dokter bahwa KH Bashir harus istirahat dan tidak boleh banyak duduk, Beliau menghentikan sementara pengajian tersebut. Masih bagitu membekas dalam ingatan saya, bahwa pada saat itu Beliau mengajar Alfiyah ibnu Malik, Kitab Maqshud, dan Fathul Wahab. Alfiyah dan Maqshud merupakan ilmu alat, ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah bahasa Arab. Sedangkan, kitab Fathul Wahab merupakan kitab fikih yang menjadi sarana praktik setelah kami belajar ilmu alat. Dan memang demikianlah adanya. Setelah kami belajar ilmu alat (nahu dan saraf) kemudian dilanjutkan dengan praktik membaca kitab Fathul Wahab.

Ada suatu kejadian menarik ketika saya praktik membaca dan memberi makna kitab Fathul Wahab ini. Malam sebelum esok hari, saat saya harus mempraktikkan kitab Fathul Wahab, saya mempelajari tata kaidah bacaan kitab tersebut. Dengan penuh semangat, mencari makna di kamus atau bertanya kepada santri senior yang sudah lebih paham tentang ilmu baca kitab kuning, maka esoknya saya harus membaca kitab yang telah saya pelajari di depan KH Bashir. Seberapa banyak saya pelajari, tiga baris atau empat baris dan selanjutnya, maka sebanyak itu pula saya diberhentikan membaca oleh Beliau. Seakan ada yang memberitahukan bahwa saya hanya mempersiapkan sampai di batasan tersebut. Dan itu berulang dan berganti hari hingga beberapa kali waktunya. Sebuah keanehan dari seseorang yang sangat dekat kepada Allah.

Komitmen dakwah KH Bashir lainnya terjadi ketika saya sudah menjadi alumni. Pada suatu ketika adik saya (perempuan) dilamar oleh dua orang laki-laki yang dipandang pelik untuk memilih satu di antara keduanya. Memilih dua-duanya tentu tidak mungkin kan? Akhirnya, saya memutuskan untuk berkonsultasi kepada KH Bashir AS.

Saya pun berangkat ke Pesantren Annuqayah untuk bertemu Beliau. Sesampainya di sana, saya sampaikan maksud dan tujuan. Kemudian Beliau berkata, “Ya salat istikharah saja. Dan ada lagi doa bacaan yang harus kamu baca. Tapi tidak sekarang, sebab aku ada kepentingan lain. Biar aku kirimkan ke temanmu ya!”

Demikian KH. Bashir berjanji untuk memberikan bacaan doa terkait dengan salat istikharah. Saya pun hanya bisa bilang ya, sami’na wa atho’na.

Kemudian saya pulang dengan niatan salat istikharah dan masih menunggu lafaz doa dari KH Bashir AS. Dua hari kemudian tiba-tiba datang teman saya dengan membawa secarik kertas yang berisi doa yang harus saya baca saat melaksanakan salat istikharah. Saya begitu terkejut, ternyata temanku itu datang bersama KH Bashir. Saya merasa tertekan, tidak enak hati, sebab merasa bersalah karena telah memberikan kesibukan kepada Beliau. Tetapi demikianlah perjuangan dakwah KH Bashir, bahwa Beliau tidak pernah lupa dengan janji dan sebisa mungkin akan tetap ditepati. Karena janji itu sebuah keharusan, alwa’du dainun, janji adalah utang.

Tentu saja itu hanya sekelumit perjuangan dakwah KH Bashir yang saya ketahui. Beliau adalah pejuang syariat yang membimbing ratusan hingga ribuan santri. Hingga Beliau wafat, 15 Juli 2015, perjuangan Beliau dalam menegakkan kebenaran tidak pernah putus dan terus menerus tak berkesudahan.

Beliau tidak pernah melewatkan waktu sedetik pun kecuali tetap dalam dakwah dan perjuangan yang pantang menyerah. Bahkan ketika usia Beliau sudah uzur, pengajian tetap berjalan dan menjadi imam salat lima waktu tidak pernah terlewatkan. Demikian itu perjuangan dakwah KH Bashir Abdullah Sajjad yang tak pernah pupus hingga akhir hayat. Wallahu A’lam!

*) Seperti yang diceritakan kepada penulis oleh Slamet Riadi, alumnus Pondok Pesantren Annuqayah 2005.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan