Meneladan Daya Juang Kiai Bashir

1,481 kali dibaca

Menjadi santri di Pondok Pesantren Annuqayah mempunyai kebanggaan tersendiri. Menimba ilmu dan berbagai pengalaman hidup menjadi bekal untuk kehidupan di dunia dan di akhirat. Saya, Slamet Riadi, alumnus Pesantren Annuqayah 2005, mempunyai pengalaman yang tidak mungkin terlupakan begitu saja.

Adalah KH Bashir Abdullah Sajjad, menjadi inspirator dalam hidup saya, karena sebuah alasan yang saya lihat dengan mata kepala sendiri. Pengalaman ini akan terus terkenang sepanjang masa, sepanjang hidup, bahkan hingga akhir hayat nanti.

Advertisements

Sekitar tahun 1997, saya dengan beberapa santri lainnya mengikuti pengajian kitab yang dipimpin oleh KH Bashir. Beliau memberikan pengajian ini khusus kepada santri yang tidak sekolah formal. Di antara santri memang ada yang tidak belajar sekolah formal (mondok saja dan hanya ikut pengajian kitab kuning), disebabkan karena sudah lulus atau tidak melanjutkan pada tingkatan selanjutnya. Ada berbagai faktor atas kondisi ini, tetapi tidak sedikit santri yang hanya ingin belajar ilmu agama semata. Maka mengikuti pengajian kitab menjadi alternatif yang sangat memungkinkan.

Tersebab itulah, kemudian KH Bashir memberikan pengajian kitab yang dilaksanakan pada pagi hari. Masih teringat jelas dalam pikiran saya, bahwa pengajian kitab itu dilaksanakan sejak jam 07.00 hingga jam 10.00. Sebuah alur waktu yang tidak singkat mengingat kegiatan belajar dianggap sering membosankan. Tetapi, saya dan teman santri lainnya tetap mengikuti pengajian tersebut dengan penuh takzim dan semangat. Sebab, selain pengajian ini kami tidak ada kegiatan lain kecuali pengajian-pengajian yang diikuti oleh banyak santri. Hal ini merupakan kesempatan yang harus saya ikuti secara maksimal.

Suatu ketika, KH Bashir Abdullah Sajjad ditimpa musibah sakit pada bagian betisnya. Terlihat dari raut wajah, kedua mata Beliau memberikan sebuah tanda bahwa KH Bashir mendapatkan ujian sakit yang luar biasa. Namun, Beliau tetap memberikan pengajian meskipun dengan kondisi fisik yang sangat lemah karena sakit. Seringkali saya (mungkin juga teman lainnya) merasakan kemirisan dan menekan rasa sakit dalam hati melihat kondisi Beliau yang sakit. Tapi kami tidak dapat berbuat apa-apa. Selagi Beliau tetap mengajar, memberi pengajian, kami tetap sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami patuh).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan