Mencari Titik Temu Universalisme Agama

1,345 kali dibaca

Awalnya, Islam sebagai salah satu ajaran kemanusiaan, sosial-muamalah, peradaban, akidah, dan pewaris ajaran langit. Fakta empiris menyuguhkan bahwa masih banyaknya dinamika sosial membutuhkan solusi akomodatif. Benturan dari satu aspek dengan aspek lainnya tidak bisa dihindarkan, sehingga agama seolah-olah tidak punya andil serius dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.

Alih-alih, agama menjadi objek serta bulan-bulanan oleh oknum berotak tempurung, dengan seenaknya perutnya, agama menjadi biang kerok persoalan. Bahkan, tidak afdal jika agama tidak disangkut-pautkan dalam berbagai kerusuhan akhir akhir ini. Nah, pemandangan kemiskinan, pembakaran bendera, sistem negara, politik identitas, akulturasi budaya bahkan urusan yang jelas jelas tidak ada hubungannya dengan agama ikut-ikutan dilebur menjadi satu. Risikonya, karut-marutnya persaoalan sehingga kegaduhan tidak bisa dihindarkan adanya.

Advertisements

Apakah konsep al din yang sering diulang dalam Al-Quran makna semantiknya berupa agama? Bukankah jika al din bermakna agama, akan berimbas pada eksklusivitas ajaran agama? Di manakah letak persamaan al din dan millah? Bagaimana terjemahan ayat innadin indaallah al islam?

Jika ayat tersebut diterjemahkan dengan “sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam”, seolah-olah pemahaman ini sangat eksklusif dengan logika agama lain tidak diterima. Benarkan al din diartikan dengan kebenaran universal? Lantas kalau demikian, apakah bijaksana, kebenaran harus terikat dengan agama dan letak demografis?

Begitulah klimaks di pengujung diskusi kemarin. Kami bertiga berkeyakinan bahwa persoalan interpretasi al din sering diulas para ilmuwan muslim maupun orientalis, bahkan Mun’im Sirry, Asisten Professor di jurusan Teologi Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat, mengungkapkan kalau al din merupakan salah satu kata yang mengandung polemik dalam Al-Quran.

Oleh karenanya, tulisan ini mencoba memukul argumentasi dari Rasyid Ridha, yang terkenal sebagai pembaharu serta acuan teologis kaum fundamentalis. Salah satu karya referensi aktual para sarjana muslim modern adalah tafsir Al-Manar karyanya.

Mun’im Sirry menjelaskan dalam karya Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain, bahwa Rasyid Ridha memulai penjelasannya tentang inna al din indaallahi al islam dengan melontarkan sebuah pertanyaan tentang makna al din dalam ayat ini. Secara kebahasaan, kata din bisa berarti pembalasan (al jaza), kepatuhan (al tha’a), dan ketundukan ( al khudu’).

Adapun, tentang bagaimana keterkaitan kata al din dengan istilah millah dan syara’, Rasyid Ridha menjelaskan sebagai berikut: Kata din dikaitkan dengan keseluruhan perintah Tuhan (al takalif) yang dengannya para hamba (al ibad) menundukkan diri mereka kepada Tuhan dan dalam pengertian ini ia bermakna milla dan al syara’. Dikatakan bahwa sesuatu yang dengannya Tuhan menuntut kewajiban atas hamba-Nya disebut syara dari sisi bahwa Tuhan merumuskan dan mewahyukan. Ia disebut juga sebagai din dari sisi bahwa manusia menyerahkan diri dan menaati-Nya dan ia disebut sebagai milla dalam kaitannya dengan kesleuruhan kewajiban.

Para sarjana sejak lama mencoba memahami makna din dalam Al-Quran. Pada waktu yang berbeda, mereka membuat teori bahwa dalam beberapa penggunaannya, istilah tersebut adalah pinjaman dari kosa kata bahasa Ibrani, Ethiopia, Suryani-Aramaik, atau Persia. Oleh karena itu, muncul orientalis, Toshihiko Izutsu memberikan interpretasi berbeda bahwa kata tersebut merupakan salah satu kata dari sekian kata Al-Quran yang sangat kontroversial.

Tidak kalah eksisnya, Arthur Jeffery memberikan reinterpretasi bahwa makna din sebagai agama diambil dari bahasa Persia, sedangkan arti pembalasan berasal dari bahasa Ibrani. Mungkin tokoh lain juga punya interpretasi yang berbeda, seperti Louis Massignon, Christian Snouck Hurgronje dengan karya Mohammedanism: Lectures On Its Origin, Its Religious And Political Growth, And Its Present State (1916), dan Ignaz Goldziher dengan karya Muslim Studies (1889), Muslim Studies Origins Of Muhammadan Jurisprudence (1888).

Pertanyaan kampungan muncul kemudian, apa hak mereka berbicara Islam maupun Al-Quran? Bukannya mereka tidak ada kontrak ideologis dengan Islam, tapi mereka piawai mengolah data seputar Al-Quran bahkan berani memberikan interpretasi tentang ajaran Islam?

Nah, dari sini, saya ingin mengatakan bahwa Al-Quran milik semua orang. Nilai universalistik yang terpancar dalam Al- Quran mampu menarik hati serta pikiran orang Barat untuk menelaah lebih dalam kandungan yang tersirat pada kitab suci umat Islam tersebut. Oleh karenanya, universalisme menjadi starting point untuk menyamakan perspepsi kenapa mereka sangat serius membicarakan kitab suci umat Islam. Bahkan menyoroti beberapa kata polemik-kontroversial seperti al din.

Moh Ali Wasik dalam buku Islam Agama Semua Nabi dalam Perspektif Al-Quran juga berbicara tentang definsi religion yang mempunyai makna kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan. Dalam webster new world disebutkan bahwa religion adalah keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dan penguasa alam semesta, sistem kepercayaan dan pribadatan tertentu, termasuk di dalamnya kode etik dan filsafat.

Sedangkan, dalam bahasa Arab, kata yang lazim digunakan untuk menyebut agama adalah al din dan al millah. Kata al din adalah bentuk masdar (kata dasar) dari kata kerja daana-yadiinu yang memiliki banyak makna. Di antaranya, perhitungan (al hisab), kepercayaan (al I’tiqad), tauhid (al tauhid), ibadah (al ibadah), millah atau mazhab (al millah wa mazhab). Dari makna di atas yang dimaksud al din dalam pengertian agama atau kepercayaan kepada Tuhan disebutkan sekitar 63 kali dalam Al-Quran baik untuk Islam maupun agama lainnya.

Mengacu dari statemen tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa Al-Quran sebagai kitab suci, sumber keilmuan dinamis-kontekstual tidak bisa dilepaskan dari campur tangan bahasa non-Arab sebagai kitab penutup agama langit. Al-Quran dengan berbagai macam pembacaan yang dilakukan oleh ilmuwan modern seperti Nash Hamd Abu Zayd, M Arkoun, M Abid al Jabiri, Hujjatul Islam al Ghazali, Ibnu Rusydi, hingga Rasyid Rida mampu memberikan ruang bagi para ilmuwan untuk menggali kandungan Al-Quran dengan relasi keilmuan satu dengan lainnya. Maka, tidak heran jika Al-Quran juga berbicara Persia, Romawi, umat tedahulu dengan baik tanpa harus menegasikan ajaran agama lainnya. Inilah bentuk apresiasi luar biasa yang diajarkan Al-Quran.

Oleh karenanya, tidak salah ketika Mun’im Sirry lebih cenderung mengafirmasi pendapat Toshihiko Izutsu bahwa teori asal-usul kata itu dari bahasa asing bukannya tidak mungkin. Adalah juga bukan tidak mungkin untuk menjelaskan maknanya yang berbeda dalam lingkup bahasa Arab sendiri.

Dalam konteks inilah, penjelasan Rasyid Ridha tentang istilah din adalah penting karena ia mengakui maknanya yang berbeda dari sudut pandang etimologi. Bahkan ketika mengaitkan din dengan apa yang disebut Majmu Al Takalif, Rida memperlihatkan bahwa hubungan semacam itu memiliki kerumitan tersendiri karena ketergantungannya pada bagaimana kita memandang perintah Tuhan.

Sebenarnya banyak konsep tentang Islam meliputi pandangan kaum Asy’ariyah yang diwakili dengan pandangan mufasir klasik hingga bagaimana pandangan kaum modernis tentang Islam. Hanya, diskusi saat itu hanya terfokus pada bagaimana Rasyid Ridha merumuskan sebuah konsep universalisme Islam sebagai sebuah bentuk kebenaran yang mampu masuk dalam semua elemen masyarakat tanpa sekat dan garis perbedaan geografis maupun demografis.

Bahkan, Nurcholish Madjid dalam bukunya Ensiklopedi Nurcholish Madjid pun menyatakan bahwa Islam tidak hanya agama yang bernuansa teologis an sich. Melainkan, Islam bermakna agama yang paling sulit; Islam agama amal, Islam agama berorientasi kerja, Islam agama etis, Islam agama non-mitos, Islam agama nurani, Islam agama penengah, Islam agama peradaban, Islam agama semua nabi dan rasul, Islam agama terakhir.

Oleh sebab itu, selaku muslim seyogyanya mempunyai etos telaah ilmiah yang tinggi serta semangat meneliti, mengembangkan, dan memberikan pemaknaan ulang dengan pertimbangan sosial masyarakat yang sangat elastis-dinamis. Agama akan selalu hadir dari teosentris ke arah antroposentrisme serta menekankan betapa pentingnya menyelami samudra pengetahuan yang integratif dengan Al-Quran sebagai induk semua pengetahuan. Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan