Mencari Jejak Pencuri

818 kali dibaca

Mobil terus melaju diiringi gerimis dan udara dingin. Di tepi jalan, kulihat sekelompok anak kecil tengah bermain bola di sebuah lahan kosong. Di bawah rintik gerimis, ditambah lapangan yang becek, anak-anak itu terus bermaian dengan riang. Canda tawa mengiringi gerak lincah mereka.

Toha mengurangi kecepatan. Ketika bola plastik itu terlempar ke tepi jalan, Toha mengerem. Dia bergegas turun. Entah apa yang akan dilakukannya.

Advertisements

“Akan kutanyakan jejak pencuri itu pada anak-anak kecil ini, Gus,” gumamnya seperti mengerti apa yang sedang kupikirkan. Tak berapa lama Toha masuk kembali ke dalam mobil.

“Apa kata anak kecil itu?” tanyaku penasaran.

“Dia tidak menyusuri jalan ini. Kita kejar ke mana lagi, Gus?” tanya Toha bersungguh-sungguh.

“Kita telusuri jalan kecil ini dulu. Sambil cari masjid untuk salat.” Aku menjawab setelah lama berpikir. Kami pun kembali meneruskan perjalanan. Senja bersaput mendung yang menaungi hamparan bumi semaki tampak suram.

Tidak jauh dari lapangan becek itu kami diadang persimpangan jalan. Lagi-lagi Toha bertindak cepat. Dia segera turun saat melihat beberapa orang sedang nongkrong di tepi jalan. Pasti dia akan bertanya tentang montir itu pada mereka, batinku. Kunantikan dia dengan hati pasrah. Petang mulai menyelimuti sudut-sudut perkampungan. Lampu-lampu di tepi jalan sudah menyala menghalau gelap. Tak berapa lama toha telah berada di sampingku memegang kendali setir.

“Jejaknya semakin sulit ditemukan, Gus. Dia tidak lewat sini,” bisiknya dengan ekspresi wajah jengah. Aku semakin lemas dan putus asa.

Mobil kembali melaju. Jalan perkampungan yang sempit tak memungkinkan mobil bisa melaju dengan kecepatan tinggi. Kupejamkan mataku sembari merapal doa dalam hati. Kutelusuri alur ceritaku hari ini. Semua episode kehidupan akan melaju atas seizin-Nya. Suara sahutan adzan mendayu di telingaku. Aku semakin dalam menekuri diri. Perut lapar serta perasaan cemas seperti melemahkan nafsuku untuk terus berpikir dan menduga-duga perilaku jahat orang-orang di sekitarku.

“Kita berhenti di masjid depan sana,” perintahku dengan suara lemah.

“Kita akan semakin jauh kehilangan jejaknya, Gus,” sahut Toha. Air mukanya terlihat gusar.

“Kita salat dulu,” tegasku.

“Di depan sana bertebaran masjid-masjid di tepi jalan.” Toha bersikukuh.

“Cari suara pujian salawat itu. Kita salat di sana.” Aku pun bersikukuh.

“Bukankah istrimu sudah menyiapkan makanan spesial, Gus? Kamu mau mengecewakannya?”

Kutahan emosi untuk tidak memuntahkan amarah pada bawahan yang satu ini. Aku cukup menghargainya sejauh ini. Walau dia sopir pribadiku, tapi aku mempekerjakannya atas dasar kemauannya untuk insaf dari hitamnya masa lalu yang dia jalani. Selain itu, dia bawahan yang paling dekat denganku karena selalu mengawal ke mana pun aku pergi.

“Turuti kataku. Kita salat di masjid terdekat.” Aku berkata pelan setelah berusaha meredam emosi.

Mobil menyisir sebuah jalan sempit yang menuju ke arah masjid dengan kecepatan rendah. Rumah penduduk semakin jarang. Rumah-rumah sederhana itu tampak lengang di ujung senja yang beranjak gelap. Terlihat beberapa anak kecil tengah berjalan menuju masjid di ujung gang itu. Mereka berjalan beriringan sambil menenteng kitab. Di depan sana terlihat sebuah menara berdiri menjulang. Di ujungnya bertenggerlah beberapa speaker yang bersuara cukup lantang. Seketika aku teringat pada masa kecil yang kuhabiskan di kampung halaman. Ayahku yang seorang kiai kampung dengan puluhan santri setiap hari hidupnya dikelilingi oleh anak-anak kecil seperti mereka.

Semakin mendekati masjid kenangan di masa lalu itu semakin deras melintas dalam ingatanku. Sekolah ibtidaiyah dan tsanawiyah kuhabiskan di kampung halaman sembari belajar agama pada ayahku sendiri. Karena melihat nilaiku di sekolah selalu terbaik, ayahku mengizinkanku untuk belajar di sebuah pesantren modern di kota ketika masuk jenjang aliyah. Berkat nilai lulusan terbaik aku lantas dapat beasiswa melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi bergengsi di kota itu.

Saat kuliah aku sempat nyantri selama dua tahun sebelum akhirnya sibuk dengan kegiatan organisasi. Kesibukan itu terus berlanjut hingga aku mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan kontraktor pembangunan. Pekerjaan itu kemudian mengantarkan kesuksesanku. Bahkan akhirnya aku bisa mendirikan perusahaan sendiri.

Tanggung jawabku sebagai seorang pemegang tampuk tertinggi sebuah perusahaan di kota mempersulit posisiku sebagai anak seorang kiai yang digadang-gadang untuk melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren di sebuah kampung terpencil. Aku terus berkilah di depan ayah. Bahwa berdakwah dengan kemampuan finansial di zaman ini juga tak kalah penting dibanding dengan berdakwah menghadap sebuah dampar di depan para santri. Bahkan maziyah seorang kiai juga ditopang oleh kemampuannya menguasai bidang perekonomian. Semakin kaya seorang kiai, semakin pula kata-katanya disegani dan diikuti. Semakin disegani kata-kata seorang kiai, semakin banyak dia dapat mengajak manusia untuk kembali ke jalan Ilahi. Dan itu berarti semakin besar pula peluangnya untuk mendapatkan ridha-Nya.

Sesampainya di masjid kami bergegas menuju tempat wudhu. Suara imam salat yang terdengar sedikit serak terpantul di corong-corong speaker yang terpasang di banyak sudut. Di kanan kiri masjid sederhana itu terdapat beberapa kamar yang tampak lusuh. Dari salah satu kamar itu kemudian keluarlah seorang anak kecil dengan sarung kedodoran sedang dituntun seorang lelaki berkalung sajadah. Ketika menginjak pelataran masjid terpampang di depan mataku beberapa anak kecil yang salat sambil bergurau di serambi. Lelaki yang menuntun anak kecil itu mengajaknya masuk dengan suara lembut.

Aku semakin terhenyak. Puluhan anak kecil berjubel memenuhi masjid yang luasnya tak seberapa itu.

“Sepertinya ini panti asuhan,” gumamku lirih. Toha yang berjalan di belakangku tak menyahut.
Kami segera memasuki shaf. Berjejer kaki kami dengan kaki-kaki kecil yang terus bergerak saling menginjak di sepanjang salat. Suara tawa cekikikan terdengar dari beberapa arah. Seorang anak kecil di depanku mengambil kopyah temannya dan dia lempar ke depan. Ruang masjid semakin gaduh.

Setelah jamaah, selesai lelaki berkalung sajadah tadi meminta beberapa anak yang gaduh itu untuk mengulang salat. Aku semakin tertunduk melihatnya. Tapi teringat pada dompet yang hilang itu, pikiranku kembali rusuh. Kebahagiaanku atas kemenangan mendapat tender itu tidak lengkap jika dompet itu belum ketemu. Aku harus menemukannya kembali, tekadku dalam hati.

Anak-anak kecil itu kemudian duduk mengitari imam salat. Aku memperhatikannya dari belakang. Ajakan Toha untuk segera melanjutkan perjalanan pun kuabaikan. Dan pandangan mataku semakin terpaku ke arah imam salat itu. Berkernyit dahiku sembari mempertajam penglihatan. Kuputar ingatanku. Mungkinkah penglihatan mataku ini kabur, bahwa dia adalah montir di tengah rinai hujan yang menolongku tadi? Kupugeng lengan Toha dan kuminta dia membenarkan penglihatanku. Dia memungkirinya. Tapi aku tak mungkin membohongi penglihatanku sendiri.

“Montir itu dekil. Imam salat itu begitu bersih, Gus,” bisik Toha.

Kutahan rasa lapar serta tubuh yang mulai gemetar demi menunggu sang imam. Toha sudah pergi keluar dan menungguku di sana. Tak berapa lama, pengajian itu bubar. Anak-anak kecil itu semburat pergi. Imam itu beranjak bangun dan segera menyadari keberadaanku. Dia melangkah mendekat. Dengan seuntai senyum aku diajak datang kerumahnya. Aku tak sanggup menolak.

“Kenapa Ustadz begitu tergesa-gesa meninggalkan kami sore tadi?’ tanyaku setelah dia mengakui bahwa dirinya adalah montir yang memperbaiki mobilku tadi.

“Maaf, Pak. Aku harus pulang tepat waktu untuk memberi makan anak-anakku. Selain itu, aku harus menjadi teladan bagi mereka untuk salat tepat waktu,” jawaban lelaki yang ternyata seorang ustadz itu semakin membuat hatiku tersentuh. Kelebat rasa curiga itu perlahan hilang musnah.

“Bapak menampung berapa anak yatim?” pertanyaanku selanjutnya.

“Kalau tidak salah ada tujuh puluh enam. Mari, silakan diminum tehnya.” Keramahannya sungguh jauh berbeda dengan sikapnya di jalan tadi.

“Bapak juga mengajari mereka mengaji?” kusambung lagi interogasiku.

“Iya, sebisaku. Ada juga beberapa ustadz-ustadzah yang membantuku mengajari mereka.”

“Ehm. Lalu darimana Bapak mendapat dana untuk menghidupi mereka, anak-anak sebanyak itu?
Mereka juga sekolah bukan?” semakin jauh aku menelisik.

Pertanyaanku itu disambut tawa. “Yang jelas hasil kerjaku sebagai seorang montir, besar ataupun kecil, selalu ada bagian untuk mereka. Aku juga punya keluarga yang menjadi tanggunganku, jadi tidak semua uangku habis untuk anak-anak yatim itu. Tapi Tuhan memang tak pernah lupa memberi makan makhluknya. Dan aku hanya bertugas sebagai perantara saja untuk merawat anak-anak tanpa orang tua itu.”

Aku terdiam mengunyah ucapannya. Dan semakin kutelisik, semakin aku tertampar. Aku yang seorang putra kiai dan ke mana-mana memakai peci, tak punya waktu sedetik pun untuk mengajar ngaji. Bahkan aku datangkan guru privat untuk sekadar mengajari anak-anakku. Tertunduklah kepalaku.

Wajah renta ayahku kemudian melintas di pelupuk mata. Permintaannya untuk segera pulang meneruskan perjuangannya di hari raya hampir setahun yang lalu itu kembali terngiang di telinga. Berkedok dakwah bil mal, aku selalu berkilah di depan ayah. Sejauh ini pun tak kutahu ke mana jeluntrungnya pembelanjaanku. Tak selalu sempat aku menyisihkan uang untuk bersedekah karena aku tak pernah puas untuk berinvestasi. Harus berkilah apalagi aku di depan ayah? Kapan aku bisa pulang untuk meneruskan perjuangannya?

Rasa curigaku hilang sudah. Tak mungkin orang seperti ini mau mengambil barang yang bukan haknya. Aku segera teringat pada Toha yang menungguku di mobil. Senyum montir yang ternyata pemilik panti asuhan itu mengantar kepergianku. Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di samping Toha yang sedang memegang setir.

“Aku kedinginan. Pinjami jaket itu padaku,” pintaku pada Toha.

Dengan wajah dingin tanpa ekspresi, Toha memberikan jaket kulit yang dia kenakan padaku. Wajah angkernya seperti mengingatkanku saat pertama kali mengenalnya ketika dihajar massa di dekat kantorku dulu itu. Kutarik resleting jaket untuk menghangatkan badan. Tanganku lantas bergerak merogoh seisi saku jaket. Detak jantungku meningkat tatkala kudapatkan dompet yang kucari itu berada di saku sebelah dalam.

Toha tak menoleh ke arahku, tapi dia pasti tahu apa yang sedang kulakukan. Dan kemarahanku serta-merta menghilang ditelan oleh rasa sakit yang menghunjam perutku. Mulutku seketika meraung menahan sakit. Dan memburailah isi perutku dibalut darah merah.

Toha menyeringai dengan tangan yang masih menggenggam gagang pisau di perutku. Gelap malam semakin membutakan mataku. Kelebat wajah renta ayah yang selalu merindukanku itu menyapa dalam kesadaranku yang perlahan mulai memudar. Senyum lembutnya seolah sedang menanti kepulanganku. Lalu tampaklah di ujung penglihatanku sebuah bangunan pesantren yang rapuh dengan beberapa anak kecil bersarung yang tengah duduk bertopang dagu dan berwajah murung.

Pemandangan itu semakin hilang ditelan gelap. Bahkan kegelapan itu pun perlahan memudar menyisakan senyum getir ayah yang lelah menanti kehadiranku.

Donomulyo, 26 September 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan