Mencari Iman yang Hilang

1,287 kali dibaca

Hingga bertahun-tahun kemudian, tak pernah ada yang tahu sebab musabab Iman pergi, dan ke mana ia menghilang selama ini —dan tak pernah kembali.

Hari itu waktu telah memasuki surup. Ngatinah duduk tepekur di emperan rumah. Dan hatinya mulai cemas ketika azan sayup-sayup terdengar dari masjid seberang jalan, anak yang paling disayang tak kunjung pulang.

Advertisements

Iman, anak bungsunya itu, belum lama mentas dari pondok. Sepulang dari pesantren Iman tumbuh sebagai remaja yang tertib dan rajin beribadah. Juga sangat takzim kepada kedua orangtuanya, dan menghormati kakak-kakaknya. Jika ia keluar rumah untuk suatu keperluan, sesaat sebelum suara azan berkumandang, pasti ia telah kembali dan segera ke masjid seberang jalan untuk salat berjamaah.

Karena itulah, hari itu, ketika surup tiba, Ngatinah menjadi gelisah. Iman tak kunjung datang. Sampai gelap bergelayut perlahan, tubuh ringkih Ngatinah masih terduduk seperti patung di atas bangku panjang di emperan rumahnya.

“Bukne, cepat ke padasan, waktu maghrib hampir habis,” suara suaminya dari balik pintu membuat Ngatinah menarik napas panjang. Berjalan tertatih-tatih, Ngatinah menyisir teritisan rumah, dan menghilang ke dalam jeding yang letaknya di belakang rumah.

Sudah setahun terakhir Ngatinah tinggal hanya berdua dengan suami, Wagiran, sejak anaknya yang pertama, kemudian disusul anaknya yang kedua, menikah dan tinggal di rumah masing-masing sebagai keluarga-keluarga baru. Baru setelah Iman mentas dari pondok, belum lama, rumah besar berdinding papan kayu itu bertambah lagi penghuninya.

Tentu, kehadiran Iman di rumah itu membuat Ngatinah bungah. Kewajiban untuk memondokkan anak kesayangannya telah ia tunaikan. Mimpi untuk menjadikan Iman sebagai anak yang saleh mulai menampakkan tanda-tanda bakal mewujud. Sejauh penglihatan Ngatinah, juga Wagiran, Iman tergolong anak yang cerdas. Paling cerdas di antara saudara-saudaranya yang lain.

Sebagai jebolan pesantren, selain rajin beribadah dan taat kepada orangtua, Iman juga pintar mengaji kitab-kitab yang diajarkan di pondok. Mata Ngatinah sering terlihat berkaca-kaca setiap kali mendengar anaknya mengaji. Hanya, ada satu hal yang membuat Ngatinah memendam satu pertanyaan: anaknya itu kini juga berubah menjadi pendiam. Tak banyak bicara dan bercerita seperti sebelum mondok. Tapi Ngatinah selalu berusaha mengabaikannya. Sebab, tugas utamanya adalah menjadikannya anak saleh.

“Anak kita ini akan menjadi anak yang saleh, ya, Pakne,” kata Ngatinah kepada suaminya saat membicarakan anaknya yang baru pulang dari pondok.

“Ya Bukne. Kita harus bersyukur. Anak saleh itulah yang kelak akan mengantarkan kita ke surga, Bukne.”

***

Tapi itulah hari terakhir Ngatinah melihat punggung Iman yang sedang menggowes ringan sepedanya meninggalkan pekarangan rumah. Dan sejak sore itu, inilah malam pertama Ngatinah sulit memajamkan matanya, mengistirahatkan pikiran dan angan-angannya, sepanjang malam itu —dan malam-malam setelahnya.

Kabar Iman tak pulang sejak hari itu tanpa meninggalkan jejak dan pesan mulai tersebar, pertama-tama di lingkungan keluarga, dan kemudian menjadi pembicaraan orang sedesa. Sanak keluarga dan orang-orang sedesa silih berganti berdatangan. Mereka ingin mendengar langsung dari Ngatinah dan Wagiran kenapa tiba-tiba Iman menghilang seperti ditelan bumi.

“Tak ada tanda-tanda. Tak ada yang mencurigakan. Semua biasa saja. Aku juga tak tahu kenapa tiba-tiba Iman pergi begitu saja,” kata Ngatinah sambil mengusap air mata di hadapan orang-orang yang datang untuk bersimpati.

“Apa ada pertengkaran atau perselisihan sebelumnya dengan anggota keluarga,” ada yang bertanya seperti ini.

Ngatinah, juga Wagiran, selalu menggeleng. “Dia anak baik. Selalu menerima keadaan. Dia tak mau menjadi penyebab, juga selalu menghindari, perselisihan,” tutur Wagiran.

Juga tak beralasan jika ada yang menduga kepergian Iman tersebab pembagian warisan yang tak adil. Pasangan Wagiran dan Ngatinah memang tergolong keluarga kaya di desanya. Sawahnya luas dan ada di beberapa lokasi. Rumahnya besar di atas pekarangan yang luas. Juga punya beberapa bidang tanah di desanya. Semua anak sudah diberi bagian masing-masing dengan cukup adil. Dan sebagai anak bontot, Iman diberi hak dan tugas untuk meninggali rumah orang tuanya itu.

“Mungkin dia ingin nikah tapi belum mendapat restu?” beberapa orang mengajukan pertanyaan demikian. Lagi-lagi Ngatinah, juga suaminya, menggeleng. “Iman itu, loh, orangnya pemalu. Malah sekarang jadi pendiam. Tak pernah ngomongin perempuan. Belum kepikiran kawin juga. Itu pernah aku tanya, dia menggelang,” jawab Ngatinah.

Semua orang kemudian membantu Ngatinah mencari-cari Iman dengan berbagai cara. Ada yang bertugas mendatangi atau menghubungi saudara-saudaranya, di mana-mana. Ada yang menghubungi teman dan kenalan Iman di berbagai tempat. Ada yang mendatangi pesantrennya, kalau-kalau Iman kembali ke pondok. Setiap orang yang dianggap kenal dengan Iman saling mengajukan pertanyaan: pernahkan bertemu Iman, atau berpapasan dengannya, atau sekadar melihatnya, kapan dan di mana?

Semua nihil. Tanpa hasil. Tak ada petunjuk apa pun.

Ketika waktu terus bergulir dan masih tak ada kabar apa pun perihal keberadaan Iman, beberapa kiai, dan juga orang pintar, didatangi. Mereka dimintai petunjuk akan keberadaan Iman. Tapi semua gelap. Tak ada tabir tersingkap. Ada orang pintar yang pernah buka mulut, tapi samar-samar: ia masih hidup, dan berada di suatu tempat. Hanya itu!

Pernah ada orang yang mengaku suatu hari melihatnya di suatu tempat yang jauh, tapi ketika ditelisik di daerah yang ditunjuk, tetap tak ada jejak akan keberadaan Iman. Cerita tentang ada orang yang pernah melihat Iman sering muncul dan tersebar pada tahun-tahun setelah kepergiannya, tapi semuanya hanyalah kabar burung.

Menjalani tahun-tahun dengan memendam penasaran akan keberadaan Iman tentu tak mudah bagi Ngatinah dan Wagiman. Wagiman-lah ternyata yang lebih dulu tak kuasa menanggung beban selama ditinggalkan Iman. Tubuhnya ambruk dan jatuh sakit. Dalam waktu lama ia hanya tergolek di ambin, dan matanya lebih sering menerawang ke langit-langit kamar.

“Ikhlaskanlah anakmu, Pakne, entah sekarang masih hidup atau sudah mati.”

Kedua pasangan suami-istri itu tubuhnya terlihat semakin ringkih dimakan usia.

“Ya, kita memang harus ikhlas. Aku hanya ingin tahu, kalau masih hidup di mana tinggalnya; kalau sudah mati di mana kuburnya. Itu saja.”

“Itu belum ikhlas namanya.”

Itu pembicaraan terakhir Ngatinah dengan suaminya. Sejak itu, Ngatinah kemudian hidup sebatang kara, di rumah yang diperuntukkan bagi Iman. Sesekali anak-anaknya, atau cucu-cucunya, datang berkunjung. Sekali waktu mereka mengajak Ngatinah tinggal bersama anak-anak, dan ikut momong cucu-cucunya. Tapi Ngatinah selalu menggelang. Ia mengaku akan tetap tinggal di rumahnya sampai Iman datang.

Orang-orang sekitar juga mulai jarang melihat Ngatinah keluar rumah, kecuali saat surup tiba sambil menunggu alunan azan maghrib berkumandang dari masjis seberang jalan. Setelah gelap, tak terlihat lagi sosok Ngatinah yang duduk mematung di bangku panjang emperan rumahnya.

***

Sudah lebih dari tiga puluh tahun sejak kepergiannya, jejak Iman tak pernah terendus. Jika masih hidup, kini usianya lebih dari enam puluh tahun. Lebaran ini saya melintas di depan rumah bude saya itu setelah bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara.

Rumah Iman itu kini suwung dengan pintu yang selalu terbuka, seperti masih setia menunggu Iman kembali pulang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan