Memperbaiki Orientasi Belajar Bahasa Arab

1,324 kali dibaca

Sebagai seorang muslim, tentu kita tahu posisi bahasa Arab dalam agama kita. Hubungan keduanya bak bulpoin dengan tutupnya, bisa digunakan namun cepat kering. Demikian pula bahasa Arab dan Islam.

Lahirnya Islam di Jazirah Arab dan fakta bahwa al-Quran menggunakan bahasa Arab, membuat bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri di mata Islam. Sumber-sumber primer ilmu keislaman kebanyakan menggunakan bahasa Arab, karena ulama generasi pertama adalah penutur bahasa Arab. Bahkan, banyak karya-karya berbahasa Arab yang ditulis oleh ulama ‘Ajam (non-Arab), termasuk di antaranya ulama dari Indonesia. Ini menunjukkan betapa pentingnya posisibahasa  Arab di mata seorang muslim.

Advertisements

Di Indonesia sendiri, masuknya bahasa Arab tak bisa dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Nusantara. Kedatangan pedagang-pedagang dan muballigh dari Yaman mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran bahasa Arab di Indonesia, hingga sampai pada titik yang kita tahu saat ini.

Bahasa Arab di Indonesia telah dipelajari di pesantren-pesantren bahkan sebelum adanya sistem pendidikan nasional. Bahkan jika kita perhatikan betul, bahasa Arab punya banyak kontribusi untuk pengembangan bahasa Indonesia sendiri. Banyak sekali kosa kata bahasa Arab yang diserap menjadi bahasa Indonesia.

Belajar bahasa Arab akhir-akhir ini menjadi tren tersendiri dalam dunia Islam di Indonesia. Di luar pendidikan formal seperti sekolah dan kampus, banyak dibuka daurah, kursus, kajian, dan diskusi-diskusi mengenai bahasa Arab. Mempelajari bahasa asing tentu punya banyak alternatif dan tujuan.

Ada dua cara pandang mengenai belajar bahasa Arab di Indonesia, yakni mempelajari bahasa Arab sebagai bagian dari ilmu keislaman serta mempelajari bahasa sebagai tujuan dasar bahasa pada umumnya, yakni sebagai alat komunikasi.

Di Indonesia, varian belajar bahasa Arab sebagai bagian dari belajar Islam punya peminat dan sektor alternatif pendidikan yang lebih luas dibanding belajar bahasa Arab sebagai media komunikasi. Ironisnya, hal itu tidak dibarengi dengan sinkronisasi orientasi dengan metode belajar yang digunakan. Keserasian orientasi dengan metode belajar menjadi hal yang sangat penting diperhatikan dalam belajar bahasa Arab. Sebab, dengan orientasi berbeda, tentu prioritas teknik belajarnya pun berbeda.

Orientasi belajar bahasa Arab di Indonesia yang didominasi tujuan keagamaan, seharusnya menimbulkan kesadaran bagi pelajar untuk mempelajari teks agama. Itu sebabnya, skill berbahasa Arab yang paling dibutuhkan di Indonesia adalah maharat qira’ah (kemahiran membaca). Karena, skill itulah yang membantu pelajar untuk dengan cepat dan tepat mampu memahami teks-teks keislaman. Hal ini bisa kita lihat di pesantren-pesantren yang dalam proses pembelajaran lebih memilih memprioritaskan kaidah-kaidah dasar dalam gramatika bahasa Arab, dibandingkan menghafalkan kosa kata atau mendengarkan percakapan.

Di sisi lain, kita sering pula mendengar adanya daurah-daurah yang punya label “belajar bahasa Arab” dengan simbolisasi Islam yang kuat, namun lemah dalam pembelajaran qawaid. Ini tentu membuat pembelajaran jadi tidak efektif, dan terkesan buang-buang waktu.

Ironisnya lagi, diktat pembelajarannya biasanya menggunakan diktat belajar bahasa Arab tujuan komunikasi. Yang lebih banyak menekankan pada hafalan kosa kata, percakapan, ungkapan-ungkapan, dan lain sebagainya. Tentu hafalan kosa kata dan ungkapan-ungkapan itu akan berguna bagi pelajar. Namun tak seefektif langkah belajar qawaid. Karena, belajar qawaid sudah pasti tujuannya adalah kehati-hatian dalam memahami teks. Sedangkan, pembelajaran dengan model percakapan, menangguhkan validasi aturan berbahasa yang ideal. Karena rukun komunikasi hanya dua, yakni pembicara mampu menyampaikan, dan pendengar mampu memahami, tanpa ada tuntutan untuk memperhatikan tata bahasa secara utuh.

Kita ambil contoh, diktat yang biasa digunakan dalam daurah-daurah adalah serial book yang diterbitkan Kementerian Pendidikan Kerajaan Arab Saudi, yang berjudul Durus Al-Lughah Al-Arabiyah. Sudah pasti, tidak akan bekerja dengan baik sebagai media belajar maharat qiraah. Karena, sebagian besar bukunya adalah ungkapan-ungkapan dan percakapan-percakapan sehari – hari. Parahnya, cara ini masih populer digunakan. Padahal dalam “brosur” daurah-nya dengan jelas menyebutkan dalil-dalil keutamaan berbahasa Arab, baik dari al-Quran maupun Sunnah. Tidak ada sinkronisasi orientasi belajar dengan metode belajar yang digunakan.

Mirisnya, biasanya orang yang belajar bahasa Arab dengan metode demikian terjebak pada zona nyaman hanya dengan hafal sebagaian kecil kosa kata. Baru belajar percakapan ringan, ungkapan mainstream, sudah berhenti belajar bahasa Arab. Bahkan sebelum tujuan belajar bahasa Arabnya tercapai, ia sudah menyerah. Mental seperti ini harus dimusnahkan. Mengapa? Karena marwah belajar bahasa Arab akan bergeser menjadi “sekadar mengikuti sunnah nabi”. Kesakralannya akan berkurang, dan umat Islam akan mengalami kemerosotaan di bidang intelektualitas.

Belajar bahasa Arab setidaknya harus dilandasi niat yang kuat, untuk memperkaya khazanah literasi Islam. Dengan demikian, umat Islam akan jadi umat yang melek informasi dari kekayaan literaturnya sendiri. Jangan terjebak pada kepuasan sementara, bahkan keangkuhan sesaat hanya dengan hafal belasan kosa kata, yang tak jelas mau dibawa ke mana tujuannya.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan