Membangun Kampung Moderasi

489 kali dibaca

 

Sejak 2019, Kementerian Agama (Kemenag) mengemban tugas sebagai leading sector dalam mengkampanyekan moderasi beragama ke berbagai lini. Lima sektor telah berhasil disasar. Yakni, sektor pendidikan—Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) melalui program ‘Rumah Moderasi Beragama (RMB)’, sektor anak muda (mahasiswa, peserta didik) melalui program ‘Duta Moderasi’, sektor kalangan ASN Kemenag dan tokoh agama melalui program ‘Penggerak Moderasi Beragama’, hingga sektor masjid melalui program ‘Masjid Pelopor Moderasi Beragama (MPMB)’.

Kemenag, melalui Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) No 137 tahun 2023, meluncurkan program terbaru bertajuk “Kampung Moderasi Beragama”. Jika ditelaah lebih dalam, kehadiran program ini tampak sebagai penyempurna dari program sebelumnya. Program ini menjangkau ke arah yang lebih holistik dan lapisan yang belum terjamah. Yaitu, masyarakat umum yang berada di jaringan paling bawah/kampung (grass root).

Advertisements

Hemat saya, gagasan ini penting dan langkah yang bagus. Sebab, bila ditinjau dari sisi hierarkis, jaringan paling bawah menempati tingkatan paling vital. Para pakar menyebutkan, program yang tidak mampu menyentuh lapisan terbawah (grass root), artinya terhenti di kaum elite (akademisi atau tokoh). Maka ia hanyalah program yang berjalan semu, bahkan dianggap gagal.

Selain itu, titik konflik yang ada saat ini juga mengkristal di level grass root. Di sebagian tempat masih dijumpai kelompok yang mengebiri kelompok selainnya (baca: minoritas) dari hak mengekspresikan ajaran yang diyakininya. Pada tahun 2022, Setara Institute mencatat setidaknya terdapat 32 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Sementara temuan mutakhir (2023), kejadian serupa ternyata masih berlanjut alami eskalasi. Di awal tahun saja, Januari dan Februari, terdeteksi empat laku merestriksi dan mendiskriminasi minoritas. Masing-masing terjadi di Sintang (26/1), Sukabumi (2/2), Bogor (5/2), dan Bandar Lampung (19/2).

Realitas semacam ini tentu bukan berita baik bagi Indonesia. Jika Indonesia diibaratkan sebuah rumah, maka lapisan grass root adalah penyangga/pondasi. Sehingga, ketika pondasi mulai retak, dampaknya akan menjalar ke rumah itu sendiri. Karena memang, sebuah rumah tidak bisa berdiri tanpa pondasi pada struktur bangunan. Alhasil, rumah tidak lagi mampu berdiri kokoh dan tinggal menunggu waktu untuk kemudian roboh, dan hancur.

Sama kasusnya, kelompok minoritas yang dikebiri terus menerus bisa saja menaruh momentum aksi balas dendam terhadap kelompok pembuat ketidakadilan dan pihak-pihak yang mengancam identitasnya. Jika ini terjadi, kondisi yang ada bakal melahirkan kubangan api dalam sekam. Gesekan yang tadinya berskala kecil, juga memecah ke bentuk konflik komunal. Dan akhirnya, peradaban Nusantara (keIndonesiaan) yang indah nan bernilai tinggi beralih ke ambang keruntuhan.

Oleh karenanya, lapisan-lapisan grass root mesti dikelola. Dan gagasan kampung moderasi ini bisa menjadi jawaban untuk menghasilkan tatanan yang lebih steril dan penuh keselarasan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana optimalisasi dalam mewujudkan kampung ke arah hal itu?

Selayang Pandang Kampung Moderasi

Sebelum melangkah lebih jauh, penting kiranya memahami term ‘kampung moderasi’ terlebih dahulu sebagai pijakan pemahaman awal. Kampung moderasi adalah istilah bagi desa/kampung yang masyarakatnya berhasil menciptakan kondisi sosiologis terjalin dengan baik dan kondusif. Keberagaman keyakinan, etnis, budaya, yang ada, tidak lantas menebalkan garis demarkasi. Namun yang dikedepankan ialah semangat memayungi keterbukaan, penerimaan, dan toleransi.

Kampung moderasi memiliki nilai kekhasan dan distingsif, karena melanggengkan sebuah konsepsi perbedaan menjadi kekuatan sosial. Paket realitas plural yang Tuhan karuniakan dijuangkan dengan penuh kebersamaan menuju titik temu yang berkeadaban. Kampung ini tidak sebatas mengakomodasi keberadaan pluaralitas, tetapi menekankan pada aspek kedekatan, keakraban dan daya sinergi. Panggung sosial dialihfungsi sebagai ajang menerbitkan laku kebaikan.

Singkatnya, kampung moderasi adalah model kampung yang mengutamakan kolaborasi lintas unsur, lembaga, dan lapisan masyarakat. Orientasi kampung ini mengarahkan terciptanya ‘toleransi aktif’. Suatu kondisi dimana semua lapisan masyarakat bekerja sama, srawung (bergaul) dan merekatkan kebersamaan—tidak sekedar menghormati dan menghargai. Sikap toleransi benar-benar terpatri serta tumbuh atas kesadaran diri masing-masing. Bukan formalitas lantaran instruksi konstitusi maupun kitab suci Ilahi.

Kamaruddin Amin, selaku Dirjen Bimas Islam, menjelaskan, bakal ada 1000 kampung yang menjadi target rintisan Kampung Moderasi pada tahun 2023. Penentuan kampung-kampung tersebut dilakukan dengan memprioritaskan pada kampung yang memiliki keunikan terlebih dahulu yakni, adanya multi kepercayaan, agama, ras, kebudayaan, adat istiadat, dan tradisi. Kampung moderasi ini diharapkan menjadi role model bagi seluruh wilayah di Indonesia bahwa hidup bersama di tengah perbedaan adalah mungkin. Kebersamaan yang terjalin malah dapat menjadi kekuatan sosial.

Tiga Pola Komunikasi

Ada tiga pola komunikasi yang kiranya perlu diaplikasikan dalam rintisan kampung moderasi. Pertama, pola komunikasi dalam relasi sosial. Komunikasi ini bisa didorong dari kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti sambatan (gotong royong), krigan (kerja bakti), arisan RT/RW, dan ronda. Kegiatan-kegiatan tersebut dimenej supaya melibatkan umat dari berbagai elemen. Dengan langkah ini, ekosistem sosial terjadi komunikasi secara guyub dan penuh keintiman. Aspek gotong royong, tolong menolong membentuk solidaritas sosial dan mengeliminir ketegangan antar umat beragama.

Kedua, pola komunikasi dalam relasi tradisi–budaya. Arah dari pola komunikasi ini menempatkan nilai lokalitas (kegiatan tradisi–budaya) sebagai penyokong utama dibalik tergapainya simpul keharmonisan. Kita tahu, pelbagai corak kebudayaan telah mengakar kuat dan menghiasi di setiap penjuru wilayah. Untuk itu, setiap kali pelaksanaan kebudayaan lokal—Grebeg Suran, Nyadran, Ruwatan atau tradisi yang lain—hendaknya melibatkan semua unsur agama yang ada. Antar umat diberi tugas saling kolaborasi mengisi pembagian plot-plot; ada yang menjaga parkiran, monitoring acara, hingga pos kesehatan. Pada puncak kegiatan, bisa diadakan doa bersama lintas agama. Masing-masing tokoh agama nantinya mendapat kesempatan secara bergiliran.

Ketiga, pola komunikasi dalam relasi keagamaan. Setiap kampung harus membuat semacam forum bersifat dialogis. Forum ini ditujukan sebagai salah satu alternatif komunikasi untuk memecahkan serta mengklarifikasi persoalan-persoalan keagamaan, seperti truth claim, dan persoalan-persoalan sosial yang berpotensi menimbulkan konflik inter/antar agama.

Forum tersebut juga mesti melibatkan tokoh-tokoh lintas agama. Peranan tokoh agama begitu penting, karena dipandang sosok berkarisma. Apa yang disampaikan dan dilakukan kerap menjadi pegangan untuk diikuti oleh para pengikutnya. Karena itu, tokoh agama harus jadi role model dalam berhubungan baik dengan pemeluk agama lain. Tak kalah penting juga, tiap tokoh mengembangkan interpretasi (tafsir) yang bertendensi spirit keadilan dan kerukunan. Dengan begitu ajaran agama-agama menjadi fungsional, mampu menciptakan koeksistensi manusia.

Itulah signifikansi dan optimalisasi dari kampung moderasi. Pada akhirnya, kita tidak boleh mengalpakan lingkup akar rumput. Pemberdayaan akar rumput, bagaimanapun, menghasilkan hal prestise yang mampu berdampak menyeluruh. Seperti telah disinggung di atas, terbentuknya kampung-kampung bernuansa moderasi secara merata, akan menghasilkan kedamaian serta nirkekerasan. Dan itu, berbanding lurus dengan terwujudnya keharmonisan Indonesia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan