Membaca Ulang Ekologi Pesantren

1,328 kali dibaca

Interaksi antar-sesama dan lingkungan sekitar adalah satu sikap dasar manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini menjadi salah satu ciri dari ekologi itu sendiri. Di mana, cabang pengetahuan dari biologi ini adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana interaksi antar-sesama, pun dengan lingkungan sekitar.

Seperti halnya pemahaman tentang konsep saling membutuhkan satu dengan yang lain, manusia adalah makhluk yang memiliki keseimbangan daya dan pikiran, saling menopang antara yang satu dengan lainnya. Hal ini tergambar pada bagaimana konteks sosial yang dibangun dalam sebuah wilayah. Budaya dan tradisi yang berkembang adalah bentuk dari keseimbangan daya dan pikiran tersebut.

Advertisements

Pesantren, seperti halnya disebut dalam tulisan sebelumnya, di samping sebagai “the great traditional education” juga sebagai sebuah wadah untuk mendayagunakan siklus sosial dalam ruang yang lebih kecil, kemudian dipraktikkan dalam ruang yang lebih besar. Pesantren di setiap daerah memiliki nama yang berbeda-beda, pun menjadi pusat pembelajaran tentang Islam dan budaya.

Liow dalam Hamid dalam Woodward and Yayah; 2009 menegaskan bahwa “Throughout the region they are centers of muslim education and culture. In Indonesia, the term santri is used to refer to observant muslims in a general sense, but its core meaning is muslim student.”

Pada konteks ini, santri sebagai warga pesantren menjadi subjek sekaligus objek untuk melatih ekologinya dalam membangun peradaban sosial budaya dan keberagamaan di masa mendatang. Hal yang paling mudah ditemukan dewasa ini adalah fenomena kelas social dalam konteks warga pesantren. Bahwa jika sudah memiliki madrasah atau pesantren, maka akan terbangun sekat secara otomatis dalam hubungan sosialnya. Hal ini justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dur, di mana pesantren adalah pusat sistem subkultur. Artinya, dalam konteks budaya Jawa (baca: Nusantara), pesantren adalah ruang yang bebas bagi siapa pun, jika ada kiai sebagai pusat kurikulumnya, itu adalah bagian dari sistem, tetapi jika harus ada sekat sosial yang membatasinya, maka tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dur (“Pesantren System as the Core of a Javanese Subculture”, Abdurrahman Wahid 1974:40-47).

Pesantren digaungkan sebagai ruh pendidikan yang berangkat dari social interaction (komunikasi sosial) yang mana nilai-nilai itu diambil dari teks-teks kitab kuning yang dipelajari lalu dibaurkan dengan komunitas keberagaman dan keberagamaan yang ada dalam satu wilayah tertentu. Hal ini tentu sejalan dengan manhaj al-fikrnya Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja): tasammuh. Toleransi dalam keberagamaan dan keberagaman adalah wujud dari nilai-nilai ajaran pesantren itu sendiri.

Hal ini pernah disinggung dalam salah satu penelitian Bianca J. Smith and Mar Woodward (2014: 4-6) bahwa “Pesantren education is rooted in the textual traditions of sunni Islam, and at the same time the oral transmission of textual knowledge and wisdom lies close to the heart of pesantren culture.” Di mana, ekologi pesantren adalah kontekstualisasi nilai yang dipelajari dalam kajian-kajian di pesantren, kemudian menjadi budaya pesantren dalam siklus perkembangan dan komunikasi sosialnya. Mentransmisikan pengetahuan tekstual menjadi sebuah nilai kontekstual adalah sistem edukasi yang penting dalam sebuah pesantren. Oleh sebab itu wajar jika kemudian muncul isu tentang pesantren inklusi.

Karena, pesantren pada dasarnya memang bukan ruang eksklusif yang menutup diri dari perkembangan sosial kemasyarakatan. Hadirnya pesantren dalam tata ruang gerak sosial mendororng adanya dialektika sosial yang memberi pengaruh terhadap komunitas sosial yang ada. Oleh sebab itu, ada dua pertimbangan besar mengapa pesantren harus membuka diri. Karena ada aspek kemanusiaan yang harus diperjuangkan dan aspek kemandirian sebagai bentuk dari kontekstualisasi nilai-nilai pesantren.

Dengan keterbukaan itu maka meniscayakan akan ada ekologi yang terjalin baik antara pesantren dan masyarakat sosial. Meniscayakan gerak yang berkembang saling mengisi, menaungi satu di antara yang lain. Oleh sebab itu, jika dikatakan dalam tulisan sebelumnya ada pergeseran nilai, maka yang paling tampak dalam hal ini adalah eksklusifitasnya.

Hal ini menjadi satu perenungan tersendiri bagi penulis, dengan fenomena yang sebenarnya tidak hanya terjadi pada lingkungan penulis saja, melainkan pada lingkungan yang lebih luas lagi. Oleh sebab itu, sedikit banyaknya masukan untuk penulis adalah buah dari dialektika khazanah keilmuan yang harus dijaga dan diluhurkan bersama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan