Membaca Setting Politik Menjelang Pewahyuan Qur’an (1)

832 kali dibaca

Jazirah Arab terletak sangat terisolasi, baik dari sisi daratan maupun lautan. Kawasan ini (tempat Muhammad tampil dengan pekabaran ilahinya pada abad ke-7 perhitungan tahun Masehi) sebenarnya terletak di pojok kultural yang mematikan.

Sejarah dunia yang besar telah jauh meninggalkannya. Perselisihan yang membawa peperangan antarsuku berlangsung dalam skala besar-besaran di stepa-stepa jazirah tersebut. Dari sudut pandang negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan terpencil dan biadab, sekalipun memiliki posisi cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur Tengah, yang ketika itu didominasi dua imperium raksas yaitu, Bizantium, dan Persia.

Advertisements

Kekaisaran Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur (ibu kota Konstantinopel) merupakan bekas Imperium Romawi dari masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah imperium ini telah meliputi Asia Kecil, Siria, Mesir, dan bagian tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di Laut Tengah dan sebagian daerah Italia serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara, juga berada di bawah kekuasaannya.

Saingan berat Bizantium dalam perebutan kekuasaan di Timur Tengah adalah Persia. Ketika itu, imperium ini berada di bawah kekuasaan dinasti Sasanid (Sasaniyah). Ibu kota Persia adalah al-Madain, terletak sekitar dua puluh mil di sebelah tenggara kota Bagdad yang sekarang. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Irak dan Mesopotamia hingga pedalaman timur Iran serta Afganistan.

Perebutan kekuasaan kedua imperium adidaya itu memiliki pengaruh nyata terhadap situasi politik di Arabia ketika itu. Kira-kira pada 521 M, Kerajaan Kristen Abisinia dengan dukungan penuh (dan mungkin atas desakan) Bizantium menyerbu serta menaklukkan dataran tinggi Yaman yang subur di barat daya Arabia.

Memandang serbuan tersebut sebagai ancaman kekuasaannya, Dzu Nuwas, penguasa Arabia Selatan pro-Persia, bereaksi dengan membantai orang-orang Kristen Najran yang menolak memeluk agama Yahudi. Peristiwa pembantaian ini, terjadi di sekitar 523 M, memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruhan jazirah Arab dan dirujuk dalam suatu bagian Al-Quran (85:4-8). Atas desakan dan dukungan Bizantium, pada 525 Dzu Nuwas berhasil digulingkan dari takhtanya lewat suatu ekspedisi yang dilakukan orang-orang Abisinia. Tetapi, sekitar 575 M, dataran tinggi Yaman kembaii jatuh ke tangan Persia.

Menjelang lahirnya Nabi Muhammad, penguasa Abisinia di Yaman, Abraham, atau lebih populer dirujuk dalam literatur Islam sebagai Abrahah, melakukan invasi ke Mekkah, tetapi gagal menaklukkan kota tersebut lantaran epidemi cacar yang menimpa bala tentaranya.

Ekspedisi ini (Al-Quran surat 105) pada prinsipnya memiliki tujuan yang secara sepenuhnya berada di dalam kerangka politik internasional ketika itu, yaitu upaya Bizantium untuk menyatukan suku-suku Arab di bawah pengaruhnya guna menentang Persia. Sementara para sejarawan Muslim menambahkan tujuan lain untuknya. Menurut mereka, ekspedisi tersebut terjadi kira-kira pada 552 M, dimaksudkan untuk menghancurkan Ka’bah dalam rangka menjadikan gereja megah di San’a, yang dibangun Abrahah, sebagai pusat ziarah keagamaan di Arabia.

Upaya kedua imperium adikuasa itu dalam rangka memperoleh kontrol politik atas Jazirah Arabia biasanya dilakukan secara tidak langsung, seperti dengan jalan mendukung penguasa-penguasa menuju keperbatasan kawasan tersebut.

Kontrol politik Persia atas sejumlah kota kecil di pesisir timur dan selatan Arabia, misalnya, diperoleh dengan mendukung kelompok-kelompok politik pro-Persia di daerah-daerah tersebut. Suatu insiden yang terjadi di Mekkah sekitar 590 M (biasanya dikaitkan dengan nama Ustman bin al-Huwairits) dapat dilihat sebagai usaha Bizantium untuk memperoleh kontrol politik atas kota itu dengan jalan membantu orang yang pro. Bizantium ini menjadi penguasanya. Tetapi, orang-orang Mekkah terlihat tidak berminat menjadi bawahan salah satu adikuasa dunia. lantaran implikasi politiknya, dan orang dukungan Bizantium itu dipaksa kabur dari kota mereka.

Pada permulaan abad ke-7, Persia mencatat serangkaian kemajuan berarti dalam upaya perluasan pengaruh politiknya. Pada 611 bala tentaranya berhasil menaklukkan kota Raha, kemudian bergerak ke selatan dan menundukkan satu demi satu wilayah Imperium Bizantium. Siria jatuh ke tangannya pada 613, menyusul Yerusalem pada 614, dan Mesir pada 617. Bahkan, pada 626 pasukan Persia mengepung Konstantinopel, meskipun berlangsung sangat singkat dan tidak membawa hasil. Namun, penjarahan Yerusalem yang dilakukan setelah suatu pemberontakan terhadap garnisun Persia, pembantaian penduduk kota tersebut dan dibawa larinya benda yang dipandang sebagai salib suci, telah membangkitkan emosi keagamaan orang-orang Kristen di seluruh wilayah Imperium Bizantium.

Kejadian ini tentunya sangat kondusif bagi Heraclius, salah satu penguasa tertinggi Bizantium ketika itu untuk menggalang kembali kekuatan militernya. Setelah menghadapi orang-orang Avar yang menyerang Konstantinopel dari utara, pada 622 Heraclius memusatkan perhatian untuk menghadapi Persia. Suatu invasi yang berani ke Irak dilakukannya pada 627.

Walaupun balatentara Bizantium segera ditarik mundur setelah penyerbuan itu, namun ketegangan-ketegangan yang muncul di dalam negeri Persia, akibat peperangan berkepanjangan, mulai terasa. Kurang lebih setahun sebelumnya, Khusru II, penguasa Persia waktu itu dibunuh dan penggantinya yang memiliki banyak musuh di dalam negeri lebih menginginkan perdamaian. Peperangan akbar antara kedua imperium adikuasa ini pun berakhir. Negosiasi penyerahan propinsi-propinsi Bizantium yang direbut Persia berjalan berlarut-larut hingga pertengahan 629. Akhirnya, pada penghujung tahun itu Heraclius kembali ke Konstantinopel dengan kemenangan di tangan.

Perebutan kekuasaan yang berkepanjangan antara Bizantium dan Persia, seperti telah diutarakan, mendapat perhatian serius dari orang-orang Arab ketika itu, lantaran relevansi politiknya yang nyata terhadap mereka.

Tentang perebutan kekuasaan kedua adikuasa tersebut, Al-Quran menuturkan: Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri terdekat yang setelah kekalahan itu mereka akan memperoleh kemenangan dalam beberapa tahun lagi. (30:2-4).

Bagian awal pernyataan ini merujuk kepada serangkaian kekalahan yang dialami Bizantium pada permulaan abad ke-7, khususnya pendudukan Yerusalem oleh balatentara Persia. Sementara, bagian selanjutnya merupakan prediksi tentang kemenangan akhir Bizantium atas Persia pada perempatan kedua abad yang sama.

Kehidupan di Jazirah Arab

Risalah yang dibawa Muhammad memiliki keterkaitan yang erat dengan milieu (lingkungan) dunia perniagaan masyarakat perkotaan Arab ketika itu. Tanah air pertama Islam, Mekkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur. Sementara tanah air keduanya Yatsrib atau Madinah adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga, sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian Muhammad, namun milieu komersial Makkahlah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-ungkapan Al-Quran.

Pada penghujung abad ke-6, para pedagang besar kota Mekkah telah memperoleh kontrol monopoli atas perniagaan yang lewat bolak-balik dari pinggiran pesisir barat Arabia ke Laut Tengah. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim dingin dan ke utara di musim panas, dirujuk dalam Al-Quran (106:2). Rute ke selatan adalah ke Yaman, tetapi biasanya juga diperluas ke Abisinia. Sementara rute ke utara adalah ke Siria. Di tangan kafilah- kafilah dagang inilah, orang-orang Makkah mempertaruhkan eksistensinya yang asasi. Di lembah kota Mekkah tandus, pertanian maupun peternakan adalah impian indah di siang bolong. Kota ini sangat bergantung pada impor bahan makanan. Karena itu, kehidupan ekonominya yang khas adalah di bidang perniagaan yang dan kemungkinan besar hanya bersifat moneter.

Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang bertalian dengannya menjanjikan satu-satunya penghasilan bagi penduduk kota Mekkah. Bahkan, secara ekonomis, hampir setiap orang menaruh minat yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan atas suatu kafilah ataupun musibah lain yang menimpanya merupakan pukulan berat dan bencana bagi penduduk kota tersebut. Itulah sebabnya, supaya keamanan kafilah-kafilah terjamin, orang-orang Quraisy harus melakukan negosiasi dengan negara-negara tetangganya dan menjalin hubungan baik dengan suku-suku pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.

Empat bersaudara anggota suku Quraisy dari keluarga Abd al-Manaf, Hasyim, al-Muthalib, Abd al-Syams dan Naufal, dikabarkan telah memperoleh jaminan keamanan dari penguasa-penguasa Bizantium, Persia, Abisinia dan Himyari. Hasyim dilaporkan memperoleh jaminan keamanan dari sejumlah penguasa, termasuk dari Qayshar Bizantium; al-Muthalib juga memperoleh perjanjian yang sama dari penguasa Yaman; Abd al-Syams mendapatkannya dari penguasa Abisinia; dan Naufal memperolehnya dari Kisra Persia. Jaminan keamanan sejenis juga diperoleh dari suku-suku Arab disepanjang perjalanan keempat bersaudara anggota suku Quraisy itu. Jadi, bisa dikatakan bahwa imperium niaga orang-orang Makkah dalam kenyataannya dibangun keluarga Abd al-Manaf lewat pakta-pakta perniagaan mereka.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan