Membaca Sejarah Standarisasi Kaidah Tafsir

686 kali dibaca

Benarkah selama ini ada penetapan yang ‘baku’ tentang kaidah tafsir? Atau hal tersebut masih merupakan klaim saja?

Buku al Ta`lif al Mu’ashiroh fi Qawa`id al Tafsir ini membincangkan temuan yang menarik mengenai kemunculan klaim-klaim tersebut dari kalangan ulama kontemporer ini. Tema yang diangkat temasuk sangat segar dalam kesarjanaan saat ini. Kajian historis yang dipakai mualif sangat mendalam.

Advertisements

Bagi mualif, tafsir merupakan cabang keilmuan yang unik, yang tidak seperti cabang-cabang keilmuan lain layaknya fikih dan ushul fikih yang memang ada dan disepakati batasan-batasan atau kaidah-kaidahnya. Tafsir sebaliknya. Antitesis yang dipakai mualif adalah bahwa kaidah yang ditawarkan tidak sama satu dengan lainnya, dan juga belum pernah ada dalam sejarah kesepakatan mengenai kaidah tafsir dalam suatu thabaqat mufassirin.

Mualif membincangkan problem tentang wacana karangan-karangan ulama kontemporer yang menerangkan mengenai kaidah tafsir yang baku, yang sebetulnya diawali dari pandangan bahwa ulama-ulama dahulu dipandang telah menyempurnakan serangkaian kaidah-kaidah tafsir yang standar, yang di kemudian dijadikan semacam dalil ilmiah yang tidak terbantahkan. Hal tersebut yang akan dikritisi dalam kitab ini.

Prosedur penelitian yang mualif pakai adalah mengumpulkan kitab-kitab yang bertema qawa’id tafsir yang diurutkan berdasarkan urutan waktu, kemudian mengkomparasikan kesemua kandungan kitab. Kejelian mualif terlihat ketika memberikan perbandingan mukadimah tiap-tiap kitab bertema ‘qawaid tafsir’. Hasilnya, pandangan masing-masing ulama berbeda, nampak dari sistematika penyusunan mukadimah kitabnya.

Setidaknya ada banyak kitab yang membahas qawaid tafsir hasil pengamatannya. Ia memetakan kesemuanya dalam empat unsur, yaitu 1) jenis-jenis karangan, 2) pandangan teoritisnya, 3) pandangan aplikatif (meliputi pembedahan kaidah, menerangkan atau membakukannya, dan contoh penerapan kaidah), dan 4) kuantitas kaidah yang disajikan. Dengan pemetaan ini, akan lebih mudah mengurai perkembangan qawaid tafsir dari masa ke masa.

Mualif selanjutnya mengetengahkan pandangan ulama kontemporer mengenai kebakuan kaidah tafsir dan metode ijtihadnya. Pada dasarnya, mualif beralasan bahwa kaidah-kaidah yang ditawarkan ulama dahulu tidak membutuhkan standarisasi dan pembakuan, karena memang pada dasarnya kaidah tafsir bermacam-macam.

Baginya, yang dilakukan ulama adalah mengumpulkan kaidah-kaidah tafsir yang dijumpai dari beberapa sumber, bisa dari kitab tafsir atau sumber lainnya. Karangan kaidah tafsir akhir-akhir ini salah paham dengan ulama dahulu yang mereka anggap berupaya memberikan aturan baku bagi tafsir. Namun, mualif menyangkal dengan beralasan bahwa ulama dahulu, secara jelas menerangkan bahwa, tujuan mereka menulis qawaid tafsir bukan untuk memberi aturan baku, melainkan menjelaskan manhaj masing-masing mufasir itu seperti apa.

Lalu, sejak kapan pandangan ini muncul? Gagasan untuk menetapkan standarisasi kaidah tafsir muncul sekitar abad ke-6 H, hingga kemudian pada abad ke-14 H baru disepakati definisi final dari kaidah tafsir. Mualif juga menyebutkan bahwa pandangan standarisasi kaidah baru muncul sekitar abad ke-14-15 H.

Kafiji memegang peran besar terhadap usaha pembakuan kaidah tafsir. Karena, Kafiji memandang kaidah tafsir sebagai sebuah seperangkat alat yang bersifat ‘membatasi’. Menurut mualif, ada anomali pada kemunculan gagasan standarisasi kaidah tafsir, di mana spirit tersebut tidak muncul lagi setelah Kafiji dan Thayyar menyelesaikan kitabnya, lalu baru hangat kembali pada masa kontemporer ini.

Lalu bagaimana posisi mukaddmahnya Ibnu Taimiyah itu sendiri? Perlu diketahui bahwa dalam sejarahnya, kitab tentang qawaid tafsir pertama muncul pada abad ke-6, baru setelah itu muncul Ibnu Taimiyyah. Dan perlu diketahui juga bahwa Ibnu Taimiyyah sendiri tidak secara jelas menyatakan kitabnya sebagai sebuah kitab “kaidah tafsir yang mengikat”. Hal tersebut baru digaungkan setelah kitabnya di-tahqiq generasi setelahnya sebagai judul kitab (ushul tafsir).

Hal menarik lain adalah bahwa tulisan Ibnu Taimiyah belum begitu populer bahkan hingga masa Kafiji, di mana ia resah terhadap tidak adanya aturan baku terhadap kaidah tafsir, yang mana sebenarnya Ibnu Taimiyah pernah menulisnya.

Sisi negatif dari adanya pembakuan ini adalah akan terjadi polarisasi bagi pembacanya, yang mana tafsir yang mengikuti sama persis dengan kaidah yang disuguhkan mualif adalah sahih, dan yang sebaliknya adalah salah. Pasalnya, meski sang mualif telah memberikan disclaimer bahwa memang kaidah-kaidah tersebut relatif, namun pembaca pasti akan terarahkan untuk memberi polarisasi benar-salah bagi tafsir.

Hasil utama dari penelitian ini adalah bahwa karya-karya kontemporer mengambil langkah baru dalam sejarah kaidah penafsiran, yaitu bahwa penafsiran perlu menetapkan kaidah-kaidah induktif yang komprehensif. Seiring berjalannya waktu, kaidah-kaidah yang bermacam-macam itu tetap tersebar, sehingga dirasa perlu untuk mengumpulkan dan mensistematisasiknnya.

Namun, langkah ini tidak didasarkan pada pendekatan yang jelas dan objektif. Bagi mualif, pendekatan ini problematis dan bertentangan dengan realitas penafsiran dan metode ijtihad yang diperlukan. Mualif menilai gagasan standarisasi akan sangat subjektif, sebab didasarkan pada ketergantungan pada selera pribadi setiap orang. Seorang penulis memiliki kebebasan dalam memilih sumber, mengekstraksi aturan, menilai dasarnya, dan menghubungkannya dengan tafsir atau mufasir.

Mualif menilai bahwa anggapan aturan penafsiran yang universal (kully) dan induktif telah disintesis, dibangun, dan ditentukan adalah kesimpulan yang tidak masuk akal.

Data Kitab:

Judul : al Ta`lif al Mu’ashiroh fi Qawa`id al Tafsir: Dirasat al Naqdiyyah li Manhajiyyati al Hukmi bi al Qaidiyyah.

Penulis : Dr. M Salih Muhammad Sulaiman, Khalil Mahmud Yamani, dan Mahmud Hamad Sayyid.

Penerbit : Marka Tafsir li Dirasat al Quraniyyah Saudi.

Tahun : 2019.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan