Membaca Pohon Peristiwa ePILOG

875 kali dibaca

Buku ePILOG:Esai Kebudayaan Kompas adalah sekumpulan esai melihat dunia dari lintas dimensi. Catatan akhir pekan ini mencoba memberi warna lain. Lebih jernih, bernas, dan tentu penuh ketajaman analisa. Medan pertunjukan ePILOG tidak jauh-jauh dari pengalaman personal yang bersemi dari peristiwa keseharaian sebagai seorang jurnalis.

Putu Fajar Arcana mampu memberikan keteduhan di antara cadas-cadas sosial budaya dan politik yang murung. Ia tegas membidik peluang, memasuki waktu dan ruang. Kemudian, lahirlah buku yang ciamik di hadapan pembaca. Putu Fajar memotret kisah pengembaraannya dari berbagai peristiwa. Ia tidak lupa mencatat sesuatu yang hampir dilupakan orang lain. Tetapi, ketika berada di tangannya justru menjadi sesuatu yang mahal harganya.

Advertisements

Kekuatan besar dalam buku ini, pembaca diajak membaca 30 catatan peristiwa yang berada di sekitar kita. Hampir setiap waktu kita berhadap-hadapan dengan percikan peristiwa-peristiwa. Putu Fajar mempunyai spektrum sudut pandang unik. Satu kejadian mempunyai gradasi, seperti warna, dan pembaca dijebak dalam peralihan cerita dengan penuh perhatian secara detail terhadap komponen cerita (hlm. viii).

Esai “Pohon yang Luka”, membawa ingatan saya berlayar pada potongan kisah di kampung halaman. Di mana setiap musim hujan, orang-orang di kampung sering memangkas pohon besar. Kemudian dahannya ditanam mengelilingi ladang. Pohon adalah nyawa. Sakral bagi orang-orang di desa. Pohon harus dihormati. Begitu Putu Fajar berpesan di dalam esai ini. Celakanya, abad modern menempatkan pohon sebagai benda mati. Harus ditebang demi pembangunan. Pohon sumber bencana. Apalagi yang ada di sepanjang jalanan. Lagi-lagi pohon yang disalahkan.

Tidak cukup hanya pohon. Air menjadi makhluk paling menakutkan. Hampir setiap musim hujan, kota-kota besar di Indonesia mendadak membenci air. Peranan air di masa tradisional sebagai pembawa kesuburan dan kemakmuran perlahan mulai terkubur. Narasi tentang air yang negatif cukup akrab dalam keseharian. Air sudah disamakan dengan monster Hydra dalam mitologi Yunani. Monster yang bernapas racun, mempunyai kepala sembilan, dan menjadi penghuni mata air di Danau Lerna.

Selain itu, pembaca dipaksa untuk hadir kembali pada masa klasik. Air yang dipersonifikasi sebagai Dewa Wisnu, dewa pemelihara kehidupan dalam tradisi Hinduisme. Maka, tidak jarang kita menyaksikan ritus memuliakan air. Lihat saja misal seperti petani di Bali membentuk organisasi tradisional bernama Subak (hlm. 5). Persoalan sebenarnya bukan ada pada air. Tetapi, ada pada konsep pembangunan yang direncanakan pemerintah. Tata kelola kota yang masih minus, perilaku membuang sampah ke sungai, dan penebangan pohon juga salah satu faktor mengundang banjir ke kota-kota besar.

Rentetan peristiwa yang Putu Fajar mainkan cukup urgen. Dua hal yang mungkin sering kita jumpai, tetapi tidak pernah sadar bahwa pohon dan air menjadi komponen penting dalam melanjutkan misi khalifah di muka bumi. Sepertinya, Putu Fajar memang sengaja memberi lorong kepada pembaca untuk menelusuri kembali tradisi, budaya, dan kepercayaan yang sudah diwariskan nenek moyang kita sejak berabad-abad lamanya. Sehingga setiap peristiwa tidak akan tercerabut dari akar sejarahnya.

Yogyakarta, 2021.

Data Buku

Judul Buku        : ePILOG: Esai Kebudayaan Kompas
Penulis              : Putu Fajar Arcana
Penerbit            : Buku Kompas
Cetakan             : 2020
Tebal                  : xviii + 182 hlm., 14 cm x 21 cm
ISBN                  : 978-623-241-503-4

Multi-Page

Tinggalkan Balasan