Membaca Al Luma Fi Tasawwuf, Literasi Kuno Sufisme

2,137 kali dibaca

Mendengar kata tasawuf banyak yang membayangkan bahwa ia adalah sebuah ilmu tingkat tinggi yang tak sembarangan orang bisa memahaminya. Apakah benar demikian? Jawabannya adalah bisa iya bisa tidak, tergantung dengan niat apa kita mendekatinya.

Pengalaman pertama saya mendengar kata tasawuf terjadi kira-kira belasan tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMP. Waktu itu di masjid secara spontan seorang tua menjuluki saya sebagai ahli tasawuf. Sungguh pengalaman yang mistis bukan?

Advertisements

Tapi saya tak mau besar kepala atau ujub dan sebagainya. Bahkan, saya merasa itu adalah kekonyolan yang justru tak ingin saya ingat-ingat lagi. Pasalnya, lelaki tua itu menyebut saya sebagai orang yang ahli tasawuf cuma gegara saya tak menyambut uluran salamannya. Padahal kalau saya ingat-ingat lagi–karena sudah terjadi belasan tahun lalu–waktu itu saya merasa tidak sedang berzikir apalagi sampai masuk ke dalam fana (baca: melebur dengan Tuhan).

Pertemuan berikutnya yang kemudian menjadi pemahaman awal saya tentang tasawuf adalah ketika pelajaran akidah akhlak di sekolah. Tapi saya hanya sebatas memelajari konsep-konsep dalam ilmu tasawuf untuk kepentingan ujian saja. Barulah ketika duduk di bangku kuliah saya merasa lebih tertarik lagi guna memehami konsep tasawuf, terlebih setelah membaca beberapa karya sastra yang menjadi ekspresi dari perilaku tasawuf.

Setelah membaca karya-karya yang bermuatan tasawuf–jika meminjam istilah dalam penelitian saya dulu adalah sufisme–saya memutuskan bahwa skripsi saya akan membahas tasawuf atau sufisme sebagai temanya. Maka saya pun mulai mencari referensi-referensi yang dapat menjadi bahan saya dalam meneliti karya sastra.

Awal saya menghadap dosen untuk mengajukan judul penelitian, saya langsung ditodong pertanyaan, apakah saya pernah belajar di pesantren? Saya menjawab seadanya bahwa saya pernah belajar di pesantren tetapi tidak mendalami kitab-kitab yang menjelaskan tasawuf atau sufisme. Saya dengar kitab-kitab itu hanya dipelajari oleh santri yang sudah senior atau sudah lama nyantri.

Dengan mengusulkan beberapa buku dan penelitian terdahulu yang relevan, akhirnya proposal penelitian saya untuk skripsi disetujui. Itupun dalam suasana tantangan karena di kampus saya penelitian dengan tema tasawuf atau sufisme belum banyak dilakukan. Berangkat dari acc judul itu, saya akhirnya mengobrak-abrik perpustakaan kampus. Akhirnya setelah browsing sana-sini, bertemulah saya dengan sebuah nama yang sering disebut dalam buku rujukan saya (Nicholson, Schimmel, dan Simuh), yaitu Abu Nasr As Sarraj.

Sebenarnya, konsep-konsep yang dijelaskan dalam buku rujukan saya itu memadai kalau hanya untuk penelitian skripsi. Tetapi rasa penasaran saya tentang nama As Sarraj membuat saya nyasar ke salah satu laman arsip yang membagikan secara gratis pindaian dari terjemahan Reynold A Nicholson terhadap sebuah kitab tasawuf kuno yang berjudul Al Luma karya As Sarraj.

Pembacaan pun dimulai. Berbekal kemampuan berbahasa Inggris ala kadarnya, saya mencoba memahami teks itu dari kanan ke kiri, maksudnya dari terjemahan Nicholson. Saya tidak berani dan memang tidak punya kemampuan Bahasa Arab, sehingga saya tak menghiraukan teks asli dari As Sarraj yang dapat dibaca dari halaman terakhir.

Saya mulai membaca sambil mencocokkan konsep tasawuf atau sufisme yang dijelaskan di buku-buku yang saya jumpai di perpus kampus. Sedikit banyak memang pemaknaan dan pemahaman terhadap konsep tasawuf atau sufisme dapat berkembang, sehingga tidak sederhana, akan tetapi menjadi kompleks. Misalnya saja, dari konsep hal atau perasaan yang dialami oleh salik (baca:orang yang menjalankan perilaku tasawuf) diuraikan lebih banyak di teks yang diterjemahkan oleh Nicholson ini.

Teks yang disusun oleh orientalis Inggris ini dapat dikatakan sangat lengkap dalam proses penerjemahan.Jika diperhatikan dari awal, indeks yang disajikan dalam terjemahan ini sangat lengkap. Mulai dari keterangan huruf dan angka hijaiyah, sumber-sumber yang menjadi rujukan atau interteks dalam proses penerjemahan, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, Nicholson menunjukkan dengan apa adanya proses-proses yang dilaluinya selama proses penerjemahan. Ini juga menunjukkan bahwa sang orientalis telah menghabiskan banyak waktu dan tenaganya dalam meneliti kitab ini.

Yang menarik dari teks yang disimpan di perpustakaan Universitas Toronto ini adalah penjabaran konsep tasawuf yang sangat konkret. Artinya, secara definitif apa yang dijelaskan oleh As Sarraj telah final. Tak ada konsep yang masih abstrak atau yang membutuhkan penjelasan lebih.

Hal ini menunjukkan bahwa kitab Al Luma adalah memang referensi atau literasi pertama dari ajaran tasawuf yang konkret. Tidak abstrak seperti yang pernah dijelaskan oleh beberapa pakar yang menyebutkan bahwa ajaran tasawuf sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi akan tetapi tidak memiliki nama.

Maksud dari tidak memiliki nama dalam hal ini mungkin adalah konsep tasawuf itu tidak atau belum ditulis secara konkret seperti yang dilakukan oleh As Sarraj. Meskipun, banyak sufi setelahnya—As Sarraj—yang juga menulis kitab, tapi mungkin tidak sekonkret Al Luma.

Sufi-sufi lain hanya meneruskan dan mengoreksi apa yang telah dijelaskan oleh As Sarraj dalam Al Luma, bahkan ada dari beberapa sufi yang justru tidak menjabarkan secara jelas konsep tasawuf yang diimplementasikannya dalam kehidupan. Misalnya Ar Rumi yang justru lebih terkenal mengekspresikan tasawuf atau sufisme ke dalam bentuk puisi atau sastra. Lain halnya dengan As Sarraj yang menuliskannya dalam penjabaran konsep yang definitif.

Kitab ini layak dan wajib menjadi rujukan pertama bagi siapapun yang hendak meneliti sastra profetik, sufistik, atau mistisisme khususnya dalam karya sastra. Sebab, teks ini menurut saya menjelaskan hampir seluruh konsep yang ada dalam ajaran tasawuf. Mulai dari penjelasan definitif tentang tasawuf sampai pada bagian terakhir yang membahas tentang ruh. Dengan total sebanyak 152 bagian yang dijelaskan dalam kitab ini, pembaca dan peneliti akan mendapatkan pemaknaan dan pemahaman yang melimpah tentang tasawuf.

Kembali ke proses pembacaan saya, berlanjut sampai semua teks yang merupakan hasil terjemahan Nicholson dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris, saya terjemahkan lagi ke Bahasa Indonesia. Kemudian, muncul sebuah unek-unek yang mengganjal hati saya. Apakah makna dari konsep tasawufnya tidak tereduksi karena sudah melalui proses penerjemahan sebanyak dua kali? Yang pertama yaitu terjemahan oleh Nicholson, kemudian yang kedua adalah terjemahan saya sendiri yang bukan ahli Bahasa Inggris. Hal itu mendorong saya untuk melakukan sesuatu yang lain.

Setelah siap dengan cetakan dari teks asli kitab Al Luma yang berbahasa Arab, saya merencanakan pertemuan dengan guru ngaji saya. Setelah sama-sama menyepakati hari dan jamnya, saya pun segera menemui beliau. Saya sengaja mengaku bahwa keperluan saya waktu itu guna menyelesaikan skripsi. Tujuannya agar guru ngaji saya yang datangi itu tidak mencurigai saya hendak memelajari ilmu tasawuf. Alasannya biar wawancara saya nanti dapat berjalan lancar, apa adanya, dan murni bertujuan untuk penelitian.

Namun, sayangnya ketika pembahasan sudah sampai pada pemaknaan dari beberapa poin tentang 7 maqam (tingkatan spiritual) yang dijelaskan dalam kitab Al Luma, guru ngaji saya itu mendadak berhenti memberikan keterangan dari setiap kata. Yang membuat saya kaget berikutnya adalah guru ngaji saya itu tiba-tiba berkata bahwa beliau tidak pantas dan belum boleh memaknai kitab Al Luma ini. Alasannya, beliau juga masih terlalu jauh untuk berdekat-dekat apalagi memelajari kitab semacam ini.

Akhirnya rencana memaknai kitab Al Luma dari literasi Arab gagal setelah guru ngaji saya itu secara halus mengusir saya dengan mengatakan bahwa beliau tidak bisa membantu banyak. Saya pun mengerti dan memaklumi beliau karena memang saya seolah lancang menodong beliau dengan kitab tasawuf.

Pertemuan itu pun berakhir canggung dengan sama-sama membungkam lisan masing-masing. Saya tertunduk, merasa tak enak telah lancang membawa kitab itu, sehingga memancing perasaan halus guru ngaji yang saya rasa justru sedang berjalan di titian maqam itu. Mungkin beliau berhenti menjelaskan bukan karena tidak paham, tapi karena justru beliau sedang terantuk hatinya untuk lebih meresapi tasawuf, bukan hanya pada taraf pemahaman kognitif, tetapi mewujud dalam perilaku dan merasuk dalam kalbunya yang paling dalam.

Jember, 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan