Memahami Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman

2,436 kali dibaca

Tafsir sebagai salah satu dari sekian disiplin ilmu keagamaan Islam selalu menjadi diskursus dan rujukan umat. Hal ini tentu tidak terbantahkan, mengingat disiplin ilmu tafsir memuat kajian dan syarah dari ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, tafsir menjadi salah satu jembatan dalam memahami Al-Quran dan pengambilan hukum Islam (istinbat).

Disiplin ilmu tafsir terus berkembang selaras dengan era yang berakselerasi. Perkembangan ini setidaknya berangkat dari dua hal. Pertama, pandangan dan pemahaman pegiat studi Al-Quran (tafsir) yang semakin berwarna. Kedua, munculnya keresahan dan problema umat yang bertambah kompleks.

Advertisements

Dari perkembangan tersebut muncullah sebuah pendekatan tafsir kontemporer, yakni pendekatan kontekstual. Pendekatan ini pertama kali ditawarkan oleh Fazlur Rahman, pemikir muslim sekaligus pegiat studi Al-Quran abad ke-20. Fazlur Rahman menghadirkan sebuah tawaran pendekatan tafsir kontekstual yang berkonsep ilmiah dan moderat.

Paradigma Tafsir Kontekstual

Paradigma tafsir kontekstual Fazlur Rahman didasarkan pada pemahaman bahwa Al-Quran bukanlah kitab dogma belaka, melainkan kitab yang memuat nilai-nilai universal yang dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang lebih luas lagi.

Paradigma ini berkebalikan dengan tafsir tekstual (tradisionalis), yang mana tafsir didasarkan pada hukum dan dogma. Terlebih lagi, Fazlur Rahman berpandangan bahwa perlunya mengusung gagasan dan nilai sosial modern guna menggantikan atau memperbarui gagasan dari tradisi tafsir klasik guna pemahaman tafsir yang lebih luas.

Tafsir kontekstual Al-Quran tidak berpegang pada makna lahiriah teks, melainkan menekankan pada dimensi kontekstual dalam penafsirannya.  Abdullah Saeed, dalam bukunya The Quran: an Introduction (h. 221), menjelaskan paradigma tafsir kontekstual yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman didasarkan pada konteks sosio-historis, sehingga memungkinkan tafsir yang tiap katanya dipertimbangkan sesuai konteksnya. Ini diperlukan untuk bisa sampai pada sebuah pemahaman yang dinilai lebih relevan dengan kondisi penafsiran (zaman). Lebih lanjut dijelaskan bahwa tafsir kontekstual tidak sepenuhnya diyakini objektif, karena akan selalu ada subjektivitas yang terikat dalam sebuah pemahaman.

Tawaran tersebut tentunya menjadi diskursus hangat dalam lingkaran disiplin ilmu tafsir. Mu’ammar Zayn Qadafy, dalam bukunya Sababun Nuzul (h. 113), menjelaskan bahwa tawaran tafsir kontekstual ini mendapat kritik pedas dari kalangan pegiat tafsir tekstual. Kelompok ini berkukuh bahwa pendekatan kebahasaan sudah cukup untuk melahirkan tafsir yang ideal. Sehingga disiplin ilmu selain ilmu-ilmu keagamaan tidak perlu diikutsertakan dalam membangun kontruksi penafsiran ayat-ayat Al-Quran.

Namun kritik dari pegiat tafsir tekstual agaknya kurang relevan, mengingat tafsir kontekstual tidak dibangun dengan pendekatan sosio-historis saja, karena buktinya masih mengikutsertakan pendekatan kebahasaan, hadis, dan multidisipliner keilmuan lainnya.

Diskursus antar-pegiat tafsir tekstual dan tafsir kontekstual ini memang benar adanya. Akan tetapi, berangkat dari momentum inilah tawaran paradigma tafsir kontekstual semakin banyak diperbincangkan dan dikaji. Khususnya dalam hal kajian akademik, yang mana memang esensi dari tafsir kontekstual ini tidak pada ranaj kajian tradisi keagamaan.

Gambaran ini jelas menjadikan paradigma tafsir kontekstual dapat menghasilkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran yang jauh dari kata statis dan berwarna. Dan yang tidak kalah urgen, tradisi paradigma tafsir kontekstual harus tetap dikembangkan dan diperbincangkan, agar dapat memberikan sumbangsih berkelanjutan terhadap disiplin ilmu tafsir, minimal menghadirkan sebuah diskursus ilmiah yang mencerahkan, baik bagi pegiat studi Al-Quran ataupun umat secara umum. Dan tentunya tanpa mengesampingkan perbincangan dan kajian tradisi tafsir tekstual.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan