Memahami Konsep Tasawuf Falsafi Al-Hallaj

6,321 kali dibaca

Abu al-Mugis al-Husain Ibn Mansur Ibn Muhammad al-Baidawi al-Hallaj yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Hallaj, merupakan salah satu tokoh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang penuh kontroversi. Ia dilahirkan di kota Thur, Persia.

Pada tulisan ini, penulis lebih menekankan pada konsep tasawuf falsafinya al-Hallaj, yaitu hulul, Nur Muhammad, dan wahdatul adyan. Ketiga konsep tersebut merupakan hasil kontemplasi atau perenungannya tentang keilmuan dan keadaan masyarakat sekitarnya yang dinilai terlalu berpegang pada hal-hal di luar dari esensi kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan.

Advertisements

Al-Hallaj menilai kondisi masyarakat pada waktu itu mengesampingkan aspek hubungan yang kaffah dengan Allah. Al-Hallaj mencoba untuk menawarkan konsep yang dirasa bisa mengembalikan fungsi dan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah.

Konsep hulul dimungkinkan agar setiap makhluk mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhan-nya. Seperti yang dijelaskan oleh Alfatih Suryadilaga dalam Mifathus Sufi, bahwa menurut al-Hallaj, mengapa Tuhan dapat mengambil tubuh manusia karena pada diri manusia memiliki dua sifat dasar, yakni sifat lahut (ketuhanan) dan sifat nasut (kemanusiaan); begitu juga dengan Tuhan, yang memiliki sifat kemanusiaannya di samping sifat ketuhanan-Nya. Atas dasar inilah maka sangat mungkin persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini disebut al-Hulul (mengambil tempat) oleh al-Hallaj.

Untuk mencapai hulul harus dilakukan dengan berbagai macam cara, yang dimulai dari memfanakan manusia dari kemanusiaannya, dalam artian bahwa meniadakan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang menghancurkan nilai ketuhanan yang ada pada diri setiap manusia. Apabila tidak memfanakan tuntutan-tuntutan tersebut, maka akan selalu muncul kondisi di mana manusia tidak tenang, penuh dengan pertentangan konflik.

Dengan hulul, diharapkan muncul manusia (dalam skala individu) dan selanjutnya masyarakat (dalam skala sosial) yang berkepribadian Ketuhanan, dalam artian memiliki sifat-sifat yang agung dan terpuji (akhlaqul karimah), seperti adil, bijaksana, penuh kasih sayang, merendahkan diri di hadapan Tuhan, tidak mementingkan hawa nafsu, dan lain sebagainya.

Konsep Nur Muhammad menekankan pada bahwa segala sesuatu itu berasal dari Tuhan (Tauhid Rububiyah), dengan harapan bahwa tidak ada tuhan selain Allah serta menghindarkan segala bentuk kemusyrikan yakni pendewaan atas sesuatu di luar Allah. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa kondisi pada waktu itu dipenuhi dengan pendewaan terhadap kekuasaan lewat perebutan pengaruh pada elite politik di hadapan khalifah.

Dalam konsep wahdatul adyan, dimungkinkan al-Hallaj terilhami karena kondisi masyarakat pada waktu yang terpecah menjadi beberapa firqah (dalam skala kecil) dan beberapa agama (dalam skala besar) yang satu sama lain menganggap bahwa firqah/agamanya adalah yang paling benar, sehingga menimbulkan banyak pertentangan.

Konsep ini lebih menekankan bahwa yang paling esensi dari keberagamaan seseorang tidak terletak pada siapa dan bagaimana bentuk pemahaman orang tentang Tuhan, melainkan lebih kepada nilai ketaatannya terhadap Tuhan dan masing-masing agama. Tidak ada gunanya saling menjelekkan antar-pemeluk agama yang satu dengan yang lain, karena bagaimanapun terdapat unsur di luar kemampuan diri manusia, yakni hidayah.

Banyaknya pendapat yang menyorot tentang kesesatan ajaran al-Hallaj. Buya Hamka dalam bukunya Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf menjelaskan bahwa, menurut ajaran al-Hallaj, bilamana batin seorang insan telah suci bersih di dalam menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, akan naiklah tingkat hidupnya itu dari suatu maqam ke maqam yang lain, misalnya muslim, mukmin, shalihin, muqarrabin. Muqarrabin artinya orang yang paling dekat dengan Tuhan. Di atas tingkat muqarrabin itu tibalah mereka di puncak, sehingga bersatu dengan Tuhan.

Demikianlah pemikiran tasawuf falsafi al-Hallaj yang dituduh sesat sehingga mengantarkannya pada kesyahidan dalam mempertahankan ajarannya tersebut. Dari pembahasan kali ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa memahami diskursus keilmuan/pemikiran Islam harus dilakukan secara radiks (mendalam) dan universal (menyeluruh) agar kita tidak mudah menuduh orang lain sesat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan