Melupakan Amal sebagai Kunci Ikhlas

757 kali dibaca

Syahdan, seorang pemuda tiba-tiba meninggalkan pekerjaannya untuk suatu urusan. Ia pergi begitu saja tanpa mempedulikan gaji tiga bulan yang belum diberikan oleh majikannya. Beberapa tahun kemudian, saat ia kembali, si majikan memberikan gajinya dengan jumlah berlipat-lipat ganda dari gaji yang seharusnya.

Rupanya, sesaat setelah pemuda itu pergi, sang majikan menginvestasikan gaji pegawainya itu. Gaji tersebut dibelikannya ayam, lalu beranak pinak dan kemudian dibelikan lagi kambing, dan seterusnya. Keuletan dan keahlian si majikan menghasilkan keuntungan yang tak terduga, dan ia tetap bersikap amanah dengan menyerahkan kepada pemilik sahamnya. Si pemuda menerima bagian miliknya dengan bahagia.

Advertisements

Lalu pada suatu hari, si majikan ini dalam keadaan terdesak bersama kedua temannya. Ia terkurung di dalam gua. Batu besar memaksa mereka tidak bisa ke mana-mana. Udara senyap dan gelap gulita. Maut hampir mencabut nyawa. Ia melirihkan doa kepada Allah, lalu dengan Kemahabesarannya terbukalah pintu gua sebab perantara kebaikan mengembalikan gaji pegawainya, seutuhnya tanpa mengurangi sedikitpun jua.

Penggalan kisah ini termaktub dalam sebuah riwayat hadis panjang yang tertulis di kitab Riyadlus Salihin. Kasus ini ibarat orang mendapatkan “uang kaget”. Di saat masa-masa krisis keuangan karena tanggal tua, tiba-tiba ia menemukan uang di saku celananya, sementara ia merasa sepertinya tidak pernah memasukannya. Merasa tidak melakukan apa-apa, tapi tiba-tiba menemukan hasilnya begitu saja. Rezeki semacam ini termasuk jenis min haisu la yahtasib.

Demikian ini tamsil untuk seorang pegawai yang ikhlas. Ada atau tidak adanya gaji, ia tetap bekerja semampu yang ia bisa. Sedikit dan banyaknya yang bakalan ia terima, tidak masalah baginya. Bukan sebaliknya, malah menjadi pegawai yang buruk perilakunya, sebagaimana diskatakan oleh Fudhail bin Iyadh yang mengutip ucapan seorang ahli hikmah, “Sungguh saya malu kepada Allah Swt yang aku sembah dengan mengharap surga, sehingga saya tak layaknya seorang pegawai yang buruk sikapnya. Saya hanya akan bekerja bila diberi upah dan apabila tanpa upah maka tidak akan mengerjakannya. Padahal kecintaan-Nya dalam berkorban untukku jauh lebih besar dibandingkan pengorbanan yang tidak dilakukan oleh selain-Nya.”

Penyebutan secara spesifik terhadap orang yang ikhlas (al-mukhlishin) disebutkan dalam Sholawat Husainiyah yang diamalkan dan dituntunkan oleh Kanjeng Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, tepatnya penggalan selawat keenam dari tiga puluh rangkaian selawat. Redaksi ini menyuratkan adanya kabar gembira bagi orang yang ikhlas, sebagai berikut:

اَللَهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلْبَشِيْرِ اْلمُبَشِّرِ لِلْمُخْلِصِيْنَ بِمَا قَالَ اللهُ الْعَظِيْمُ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا– مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْن

Artinya: Ya Allah limpahkanlah selawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad, sang pembawa kabar gembira bagi ‘orang-orang yang ikhlas dala menjalankan agama yang lurus’, sesuai dengan firman-Nya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” [QS. al Kahfi ayat 110]. “Dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”. [QS. al Bayyinat ayat 5]”.

Terdapat dua penggalan ayat yang digunakan oleh Kanjeng Syaikh untuk memperkuat ‘permohonan’ selawat kepada orang-orang yang ikhlas ini, yaitu QS. Al-Kahfi ayat 110 dan QS. Al-Bayyinah ayat 5.

Ibnu Ajibah Al-Hasani (w. 1224 H.) menafsirkan bahwa ‘pengharapan bertemu dengan Allah di dunia’ sebagaimana tertutur dalam QS. Al-Kahfi ayat 110, melalui pertemuan persaksian (al-syuhud) dan penglihatan secara langsung (‘iyan), serta pertemuan sampainya kepada jelasnya pengetahuan makrifat (sharih al-irfan), maka beramal salihlah, dengan amalan yang tidak lagi menyisakan (kembalian) bagian bagi tubuh, sekarang maupun yang akan datang. Selain berbuat baik, juga jangan pernah memiliki tujuan sesuatu apa pun selain-Nya ketika beribadah kepada-Nya. Tidak ada tujuan melainkan mengagungkan ketuhanan-Nya dan melaksanakan aktivitas-aktivitas ibadah.

Sudah jamak diketahui bahwasanya ulama Ahlussunah berpendapat bahwasanya kelak orang-orang mukmin akan mampu berjumpa dengan Allah Swt (al-ru’yah), sedangkan ulama Muktazilah hanya mengakui bahwa maksud bertemu Allah adalah mendapatkan pahala dan anugerah-Nya, atau gampangnya ditemui-Nya adalah sama dengan diridai-Nya.

Imam Al-Qusyairi sendiri mengatakan adanya kemungkinan bertemu dengan Allah di dunia dalam keadaan hidup yang dialami oleh orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. Hal ini didasarkan pada ayat 46 surat Al-Baqarah ‘alladzina yadhunnuna annahum mulaqu rabbihim’, mereka yang mengira bahwasanya mereka bertemu Tuhan mereka. Pengaplikasian pertemuan ini adalah melalui khudlur al-qalbi atau menghadirkan Allah pada hati-hati mereka yang khusyuk.

Dalam Al-Bahrul Al-Madid-nya, Syaikh Ibnu ‘Ajibah mengutip dua pandangan tokoh sufi besar tentang amal. Amal salih dalam pandangan Dzun Nun adalah amal yang bersih dari riya atau keinginan dilihat atau didengar orang lain. Pendapat ini lazim kita dengar dalam keseharian sebagai definisi amal ikhlas. Sementara, Abu Abdullah Al-Qursyi menarasikannya sebagai amalan yang diri sendiri tidak mengungkit-ungkitnya lagi dan tidak ada maksud untuk memperoleh pahala atau balasan atas amal yang telah dilakukan.

Sedangkan, maksud ‘mengharapkan pertemuan dengan Allah dalam pandangan Syaikh Ismail Haqqi (w. 1127 H./1725 M.) adalah menginginkan kedatangan-Nya dan menantikan-Nya, ataupun mengkhawatirkan-Nya. Makna harapan (al-raja’) yang dimaksud adalah menginginkan datangnya kebaikan pada masa yang akan datang. Brangsiapa menjadikan harapan atas pintu-Nya, maknanya adalah menginginkan perjumpaan yang baik kepada Allah, dengan perjumpaan yang diridai dan diterima. Orang yang mengarahkannya pada makna kekhawatiran atau ketakutan (al-khauf) maknanya adalah takut akan perjumpaan yang buruk bersama Allah.

Dalam pandangan Al-Qusyairi, sebaiknya mengarahkannya pada makna zahirnya karena seluruh orang yang mukmin pasti berharap bertemu Allah. Orang yang makrifat berharap bertemu Allah dan memandang-Nya, sedang orang mukmin berharap bertemu dengan Allah dan menginginkan kedermawanan-Nya berupa kenikmatan yang abadi.

Penggunaan redaksi yang akan datang (mudlori’) dalam harapan (yarju) dalam Ruh Al-Bayan yang ditulis oleh Syaikh Ismail Haqqi ini menunjukkan bahwa orang yang bertemu di sini berharap menetap dan terus menerus bertemu dengan Allah. Berarti pemaknaan lengkap ayatnya, barang siapa terus menerus berharap bertemu dengan kedermawanan dan keridaan Allah, maka beramallah untuk menghasilkan tujuan yang mulia ini dengan amal salih, yakni amal yang tercukupi syarat sah dan diterimanya. Gambaran atas kesempurnaan amal adalah secara lahirnya, sedangkan ikhlas bersifat batin.

Sahal At-Tustari mengatakan bahwa yang dimaksud amal saleh adalah amal yang selalu sesuai dengan sunnah, sedangkan makna ‘jangan mempersekutukan-Nya dalam beribadah dengan sesuatu apapun’ dengan melakukan syirik terang-terangan (isyrakan jaliyyan) sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang tersesat langkah kakinya dalam kehidupan dunia dengan kufur terhadap ayat-ayat-Nya dan pertemuan dengan-Nya, atau syirik yang samar (isyrakan khafiyan) sebagaimana praktik orang-orang riya’ dan orang yang dalam beribadahnya memohon balasan, ganti dan pujian yang baik.

Syahr bin Hausyab berkata: “Suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Ubadah bin Ash-Shomit dan bertanya: “Bagaimana pendapatmu terhadap seseorang yang salat dengan mengharapkan rida Allah dan suka dipuji, bersedekah dengan menginginkan keridaan-Nya dan dan ingin dipuji juga. Begitu juga dengan hajinya?” Ubadah menjawab: “Tidak apa-apa. Allah pernah berfirman: “Sungguh Aku adalah sebaik-baik teman (syarik). Barangsiapa yang memiliki teman, maka baginyalah teman tersebut”

Dalam hadis yang lain diriwayatkan bahwa Jundub bin Zuhair pernah bertanya kepada Rasulullah: “Sungguh saya beramal karena Allah, maka apabila terlihat maka saya menyembunyikannya.” Rasulullah menjawab: “Bagimu dua pahala, pahala menyembunyikan dan pahala memperlihatkan.”

Dua pahala ini berlaku bagi mereka yang beramal dengan maksud agar ditiru oleh yang lain. Sebagai syiar istilahnya, maka ia tetap dikatakan ikhlas dalam aktivitas amalnya. Hal ini telah tertutur dalam nash Al-Qur’an, wa amma bi ni’mati rabbika fa haddits, maka ceritakanlah nikmat Allah yang telah engkau dapatkan’. Demikian disebutkan dalam QS. Adl-Dluha ayat 11.

Yang demikian ini adalah bertujuan untuk memotivasi yang lain agar dapat melakukan jenis ibadah yang sama atau lebih baik. Kebolehan memperlihatkan dan memperdengarkan amal baik yang telah dilakukan ini berlaku apabila tidak menimbulkan fitnah. Jangan sampai amal baik yang telah dilakukan malah menyebabkan kerusuhan, ada yang dirugikan, semisal hilang dan leburnya amal baik gara-gara meng-ghibah-kan amal yang telah kita lakukan.

Alhasil, menyembunyikannya adalah lebih utama agar terhindar dari syirik. Apalagi dalam suatu kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda: “Takutlah akan syirik kecil,” para sahabat menanyakan tentang apakah syirik kecil yang dimaksudkan oleh Rasulullah. Rasulullah menjawab: “Yaitu riya.’”

Rasulullah bersabda, tatkala turun QS. Al-Kahfi ayat 110 ini: “Sesungguhnya sesuatu yang paling sangat sangat saya takuti adalah syirik yang samar. Takutlah akan kesyirikan yang samar itu, karena sungguh kesyirikan itu lebih samar pada umatku dari pada semut hitam yang merayap di atas batu hitam pada malam yang sangat gelap.”

Mendengarnya, para sahabat terlihat kesusahan, lalu Rasulullah pun kembali bersabda: “Maukah kalian Aku tunjukkan sesuatu yang akan menjauhkan kalian dari syirik kecil maupun besar?” Para sahabat mengiakannya. Rasulullah menjawab: “Kalian bacalah doa: ‘Ya Allah, sungguh saya berlindung kepada-Mu dari kesyirikan yang tidak kuketahui, dan saya memohon ampunan-Mu dari dosa-dosa yang tidak saya sadari.’”

Beberapa riwayat hadis tersebut jelas merupakan pukulan keras bagi orang mukmin untuk menghindar dari riya. Keberadaan riya menjadikan amal yang telah dilakukan menjadi sia-sia belaka. Contoh aplikatif yang diajarkan dan dituntunkan oleh Hadlrotusy Syaik Romo KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi adalah dengan menyisikan uang recehan, yang jika kelak datang peminta-minta, tidak ada perasaan berat untuk memberikannya, pun kita cenderung malu kalau ada orang yang bertanya tentang nilainya.

Kuncinya adalah melakukan sesuatu yang sesungguhnya memiliki nilai kebaikan, sedang kita tidak meniatkannya, karena bentuknya yang remeh. Seperti membuang sisa makanan, niat membersihkan gudang berisi pakaian yang masih laik pakai. Merelakan –lebih tepatnya- sesuatu yang tidak lagi berguna, tapi di mata orang lain sangat berharga. Semoga kita tercatat sebagai orang-orang yang ikhlas, meski tanpa merasa telah beramal. Aamiiin.

Referensi:

Ismail Haqqi bin Musthofa Al-Istanbuli Al-Hanafi Al-Kholwati, Tafsir Ruh Al-Bayan (Dar Ihya’ Turats)
Ahmad bin Muhammad bin Al-Mahdi bin ‘Ajibah Al-Hasani Al-Idrisi Al-Syadzili Al-Fasi, Al-Bahrul Al-Madid, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2002)
Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Iman, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1410 H.)

Multi-Page

Tinggalkan Balasan