MELUKIS BURUNG

982 kali dibaca

CANGKUL BAPAK

apa gunanya warung kopi. orang-orang bergerombol dan gencar berbicara negara. negara yang terbuat dari kaca menyembunyikan wajah kita. langit silau memisahkan tangan kita dari kampung. kampung hanya menjelma topeng di atas meja. orang-orang melihat tanah hanya dari ukuran lipik, dan merasa dirinya sedang terancam.  isu agraria bagai hantu masa depan. sedangkan mata cangkul adalah mata bapak yang terus menyala di dalam sembahyang. dan kita tak pernah menyentuhnya. kita hanya lihai mengangkat gagang toa para demonstran.

Advertisements

berdirilah di atas ladang dan dengarkan lengking siul bapak menembus langit. mengusir burung dan memanggil nenekmoyang. cangkul bapak diayunkan di atas tanah seperti mengayun takdir, melawan setiap wacana kuasa yang menakutkan. bertani adalah perjuangan itu sendiri. mencangkul adalah penghormatan kepada bumi. meski tanah yang dirangkul ibu sepanjang waktu, telah disulap menjadi dinas tambak udang dan kebudayaan.

apa gunanaya warung kopi, orang-orang berkerumun dan membentuk lingkaran. lingkaran yang digerakkan oleh jam tua yang berdentang di kepala. katanya, mereka hendak menggempur tembok tiran dan menjunjung tinggi masa depan. padahal, masa depan telah terjadi di bawah pohon mimba. tempat bapak mengasah cangkul, memandikan sapi, dan merapikan caping. masyarakat akan terus bekerja, melepaskan baju dan mengibarkannya di atas ladang. sawah membentang seperti dada perempuan di atas ranjang. dan bapak terus nyonson mata cangkul di bawah pohon pisang.

sumenep, 2021.

MEJA MAKAN

semua berakhir di atas meja makan. piring waktu terus berdenting mengarahkan tangan kita ke sebuah pintu. pintu yang terbuat dari puisi membukakan baju dunia. kita mengatur segelas kopi dan mengakrabi malam tanpa bicara negara dan doktrin basi. lihat, tulang-tulang ikan beserakan dibasahi oleh hujan yang makin liar memproduksi kenangan di gigir pantai.

tiba-tiba meja makan bergetar menyentak kening purnama. purnama yang berkibar di tengah kota, telah menciptakan jarak di tangan kita. kau berjalan jauh ke barat menempuh jalan penyair. di sini aku sedang berusaha mengendalikan pisau takdir. aih, gelas pecah dan membuat tanda bagi suatu kepergian.

tercipta dari apakah selamat tinggal? meja makan menyembunyikan bau amis, di atas mangkok kita telah menyimpan tangis. tak perlu bimbang, laut akan terus berdebur, bung. ikan-ikan melompat menyertai setiap perjalanan. ikan-ikan menyelam dan mengerami doa-doa ibu yang panjang.

sumenep, 2021.

LAUT

laut terus berbicara tentang kematian dan kecemasan. suatu hari terdengar tangis batu karang tercemar oleh limbah tambak udang.

ikan-ikan terdampar, ikan-ikan menghilang. lalu laut berdebur, yang tersisa hanya sukma kita tergeletak bau amis kekuasaan.

bagaimana caranya agar tangan kami tetap bisa melambai kepada laut?

memanggil sampan-sampan yang hendak tambat, menyapa burung tellen yang berloncatan di gigir pantai.

masihkah laut mampu mengirim debur ke jendela kami?

angin mengembuskan bau asin ke atas ranjang, memeluk mimpi kami sepanjang malam.

masih adakah suara khidir mengirim bunyi air ke dada kami?

sesungguhnya ia tetap hidup, merangkul laut

dan menyalakan bintang di atas sampan.

sumenep, 2020.

MELUKIS BURUNG

pintu berderit mempersilakan burung masuk ke dalam kamar. hinggap di pundak kiriku. tiba-tiba aku terpental dan membentur dinding. dinding tua penuh gambar hutan, pohon-pohon yang ditumbangkan sejarah. di sana ada satu nama terus hidup, menjelma burung dan mengepakkan sayap setiap waktu.

burung mengeram di atas kepalaku, menetaskan telur. bau dunia tercium dan memberi petunjuk atas nama kelahiran. terbanglah ke langit, di sana ada yang menunggu dengan sebilah pisau takdir.

tidak ada suara di luar jendela. burung mencakar-cakar punggungku. kesunyian ialah jalan hidup sejati. seperti burung yang terus mencari, mengejar cahaya dari kampung ke kampung. seperti aku tak pernah bosan menangkap bayangmu. yang terus menunggu tuhan hadir tepat waktu.

Sumenep, 6 Agustus 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan