Melihat Al-Qur’an sebagai Korpus Resmi

1,014 kali dibaca

Jauh sebelum Al-Qur’an distandarisasi dan kemudian dibakukan pada masa Khalifah Utsman, ia lebih dulu dirawat dalam kepala sahabat. Sistem hafalan tersebut yang lama digunakan di samping juga ditopang oleh penulisan surah dan ayat di beragam benda—pelepah kurma dan semacamnya. Hingga sampai pada penyeragaman bacaan dan pembukuan Al-Qur’an yang sekarang kita mafhum sebagai muhsaf Utsmani.

Mushaf inilah yang menjadi representasi dari dinamika Al-Qur’an baik sebagai rupa kalam Tuhan sampai sistem oral zaman nabi. Implikasi logisnya dari hal ini tidak lain Al-Qur’an menjadi sesuatu yang, secara kasar, dilembagakan dan diresmikan dalam bentuk korpus, sebagaimana istilah Arkoun.

Advertisements

Di sini kita akan melihat bagaimana pembacaan Muhammad Arkoun terhadap Al-Qur’an. Ia adalah salah seorang pemikir muslim yang banyak menghabiskan waktunya di Eropa, secara spesifik Prancis.

Arkoun lahir di suatu wiliyah di Aljazair yang dikenal Kabilia. Sejak awal ia memang konsen di bidang bahasa, khususnya sastra Arab. Arkoun menyelesaikan sarjananya di Universitas Aljir, Aljazair, di samping menjadi pengajar di pinggir kota negaranya, sebelum akhirnya ia migrasi ke Prancis.

Satu hal yang hendak saya ulas  di sini dan kemudian akan mencari relevansinya dengan konteks mutakhir. Selanjutnya, satu istilah yang harus kita pegang di sini adalah “korpus resmi tertutup” dalam istilah Arkoun sendiri.

Di dalam pembacaan Arkoun terhadap Al-Qur’an memang memberi peluang banyak terhadap akal. Jauh sebelum itu, entitas nalar bayani (dalam istilah Abid al-Jabiri) yang memonopoli umat seolah-olah menyempitkan peranan akal. Apalagi ketika kaitannya dengan Al-Qur’an, akal sering diletakkan pada satu derajat yang nisbi dan sukar mencapai kebenaran.

Meski Arkoun paham bahwa Al-Qur’an sudah distandarisasi dalam korpus resmi tertutup, menurutnya tetap ada peluang kritik. Dengan demikian, Al-Qur’an masih bisa dilakukan pembacaan dan reinterpretasi terhadap kandungan di dalamnya (Baedhowi, 2017:159).

Satu hal yang semula digaungkan dalam pemikiran Arkoun tidak lain bahwa Al-Qur’an memiliki nalar historis yang kuat. Ada selingkung budaya di balik setiap ayat dan surah dalam Al-Qur’an itu sendiri. Maka, kita harus mengakui untuk membacanya tidak cukup hanya dengan literal dengan apa yang tampak. Oleh sugesti semacam itu menjadi sangat urgen jika memahami Al-Qur’an dengan multidisipliner.

Dalam pembacaan terhadap Al-Qur’an, mau tidak mau, harus memasukkan seperangkat alat ilmu humaniora. Mulai dari perangkat sosiologis bahkan sampai perangkat historis wajib digunakan untuk pembacaan ini. Dengan begitu, akan ditarik kesimpulan, bahwa setiap masa dan priode yang telah dilintasi Al-Qur’an terdapat perbedaan yang signifikan.

Kesadaran akan latar belakang historis yang kuat barangkali akan mendorong penggunaan perangkat asbab al-nuzul. Saya kutip Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan, bahwa salah satu faedah di balik pengetahuan sebab turunnya ayat adalah memahami hikmah pensyariatan.

Namun, pandangan saya pribadi, bukan hanya sebatas hikmah di balik pensyariatan. Melainkan juga latar belakang dan setting—baik waktu maupun tempat—di mana Al-Qur’an turun bisa dibedah menggunakan itu.

Disadari atau tidak, setiap priode dan masa mempunyai corak pemikiran masing-masing. Dan setiap zaman mempunyai cara mempraktikkan suatu sistem pemikiran. Sistem pemikiran ini dalam istilah Foucault yang disebut episteme. Sedang gaya ungkap dan cara membicarakan sistem itu disebut wacana.

Sementara, relevansi yang hendak dikaitkan dengan konteks hari ini adalah pandangan tentang Al-Qur’an tersebut. Dengan kesadaran akan pembacaan yang memang secara pasti berbeda, semestinya tidak ada hierarki dalam wacana tafsir. Segala bentuk penafsiran bisa dianggap mempunyai kebenaran masing-masing tanpa saling menegasi.

Hal tersebut juga untuk menghindarkan Al-Qur’an dari dogmatisasi yang ditunggangi kepentingan—secara kasar kepentingan praktis dan pragmatis sektarian. Arkoun sendiri juga hendak mencapai suatu pemaknaan terhadap Al-Qur’an dengan objektif, tanpa embel-embel. Ia yang tidak sedang berafiliasi dengan kelompok tertentu memang punya keluwesan dan kemandirian. Satu-satunya kepentingan yang hendak dicapai Arkoun tidak lain adalah: membebaskan tafsir dan wacana keagamaan secara universal dari tunggangan praktik politis-ideologis.

Sikap kerendahhatian dan keterbukaan semacam itu bisa mengantarkan siapa pun pada objektivitas. Meski, satu hal yang kita harus catat, keterbukaan dan sikap kritis terhadap Al-Qur’an tidak akan mendapat jalan lapang. Saya akui bahwa usaha semacam itu seolah-olah membongkar kemapanan. Di seberangnya, penentang paling depan adalah orang Islam sendiri yang kemapanannya mulai terancam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan