Melawan Hoaks dengan Literasi

965 kali dibaca

Hoaks memiliki beberapa pengertian, baik menurut KBBI maupun ahli sastra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah informasi bohong. Menurut Silverman, hoaks adalah rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran. Menurut Werme, hoaks adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Dalam khasanah Islam, hoaks adalah pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan dan bahkan menistakan pihak lain.

Hoaks semakin masif muncul karena adanya media sosial daring yang membuat informasi tersebar dengan cepat. Pemanfaatan media sosial saat ini oleh jutaan masyarakat Indonesia membuat mudahnya informasi tersebar. Hanya dalam hitungan detik, suatu informasi mampu dengan cepat tersebar dan diakses oleh para pengguna Internet melalui media sosial. Tidak sedikit orang-orang yang terkadang sengaja membuat hoaks untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Beberapa pihak menggunakannya untuk melakukan propaganda dan penyesatan.

Advertisements

Hoaks yang sengaja diproduksi dengan berbagai tujuan, seperti membuat masyarakat merasa tidak nyaman, benci terhadap sesuatu, dan berpikir tidak logis. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat akan mengambil keputusan yang salah. Hal tersebut terjadi karena hoaks bisa menggiring opini publik. Hoaks biasanya muncul ketika sebuah isu mencuat ke permukaan, namun karena ada banyak hal yang belum terungkap menjadikan tanda tanya besar bagi masyarakat.

Di Indonesia, hoaks mulai marak sejak pemilihan presiden 2014 sebagai dampak gencarnya kampanye di media sosial. Hoaks bermunculan guna menjatuhkan citra lawan politik alias kampanye hitam atau kampanye negatif. Kejadian tersebut berdampak pada berubahnya fungsi media sosial yang awalnya merupakan media pertemanan berubah menjadi sarana menyampaikan pendapat politik dan mengubah pendirian orang lain. Maraknya hoaks di Indonesia pada waktu itu terjadi karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream sehingga mereka memilih media sosial sebagai sumber informasi.

Sama dengan Pembohong

Salah satu langkah efektif untuk mencegah adanya penyebaran hoaks adalah dengan literasi. Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan keterampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Literasi digital sangat penting dalam era sekarang ini. Karena, dengan literasi, seseorang dapat melawan hoaks dan memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara berpikir kritis, kreatif, solutif, dan inovatif. Literasi digital juga mampu membantu seseorang berkolaborasi dengan lebih banyak orang sehingga dapat menyelesaikan permasalah dengan cepat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Artinya: “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim Nomor 7).

Hadis Nabi ini, dan juga atsar dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, menunjukkan bahwa hukum orang yang membuat berita dusta dan orang yang sekadar menyebarkan berita dusta tersebut adalah sama, yaitu sama-sama disebut sebagai pendusta.

Sehingga, kita tidak boleh meremehkan masalah ini, dengan mengatakan bahwa kita hanya menyebarkan dan membagikan berita, bukan orang yang pertama kali membuatnya. Dari penyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kaidah Islam dalam masalah ini adalah menyebarkan berita bohong adalah juga pembohong.

Sebagai makhluk yang diberi akal, kita harus hati-hati dalam menerima sebuah isi berita. Harus melakukan proses seleksi dan melakukan beberapa penyaringan. Tidak secara mudah menerimanya begitu saja. Karena sikap tergesa-gesa akan membuat tidak bisa berpikir jernih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّأَنِّي مِنَ اللهِ , وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

Artinya: “Ketenangan datangnya dari Allah, sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 10/104 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 3/1054).

Selanjutnya, bagaimana tuntunan Al-Quran al-Karim terkait dengan hoaks? Ada beberapa ayat yang menyinggungnya secara langsung maupun tidak langsung. Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6 merupakan salah satu ayat yang secara eksplisit memberikan tuntunan kita dalam menyikapi terhadap hoaks.

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى‏ ما فَعَلْتُمْ نادِمينَ (٦)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat  49: 6).

Dalam kitab Tafsir At-Tahrir wa Al-Tanwir karya Syeikh Thahir ibn Asyur, ahli tafsir ternama Tunisia, menafsirkan bahwa ayat ini menegaskan kepada umat Islam agar berhati-hati dalam menerima laporan atau berita yang dibawa seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya baik dalam ranah persaksian maupun dalam periwayatan.

Allah SWT telah memberi peringatan pada umat Islam untuk tidak gegabah dalam membenarkan sebuah berita yang disampaikan oleh orang fasik. Ayat di atas memberi penegasan kepada umat Islam agar senantiasa memfilter segala sesuatu. Terlebih lagi informasi yang belum jelas kebenarannya. Sebab, sangat penting untuk menilai suatu informasi apa pun dengan teliti dan berimbang.

Ayat ini juga mengajarkan kepada umat Islam agar bersikap kritis terhadap datangnya sebuah informasi. Sikap kritis itu merupakan senjata utama agar umat Islam tidak mudah terjebak dalam tipu daya atau hoaks. Adapun, bagi santri, kegiatan literasi dapat membantu santri memecahkan adanya permasalahan hoaks. Penguasaan literasi akan mampu membantu tingkat pemahaman seorang santri dalam mengomparasi informasi yang terindikasi hoaks dengan informasi dari berbagai sumber. Komparasi tersebut akan membantu santri untuk menyimpulkan kebenaran sebuah informasi yang beredar dalam masyarakat.

Menurut Jawad Mughniah dalam at-Tafsīr al-Mubīn, ayat ini juga menunjukan dengan jelas tentang haramnya mengambil berita dari orang fasik tanpa melakukan klarifikasi (tabayyun) kebenarannya. Sebab, pengambilan berita dari orang fasik dikhawatirkan akan membahayakan bagi orang lain. Dalam istilah ushul fiqh, ayat ini juga menunjukkan larangan untuk mengikuti tata cara orang-orang fasik.

Bersandar pada ayat ini, sebagian ulama juga berargumen, kewajiban untuk mengambil berita dari orang yang terpercaya (tsiqah), tanpa harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Oleh karenanya, dalam kajian ilmu hadis, sebuah kabar hadis aĥad yang terpercaya (tsiqah, hadis yang diriwayatkan hanya satu orang), tidak secara mutawatir sebagaimana ayat-ayat Al-Quran dapat diterima dan bisa dijadikan sebagai argumen.

Sebagai seorang santri, kita dapat membantu mengurangi hoaks dengan melakukan berdakwah. Dengan berdakwah dengan menyampaikan sikap-sikap seorang muslim jika menerima sebuah berita yang belum jelas sumbernya. Seorang santri dituntut bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar tidak teracuni oleh hoaks dengan cara menularkan ilmu berliterasi kepada masyarakat agar bisa menyaring segala informasi yang beredar dengan tabayun atau membaca banyak literasi. Dengan berdakwah secara luwes, insyaallah akan lebih mengena di hati hati masyarakat.

Selain itu, jika seorang santri sudah mahir dalam berliterasi, ia harus membagikan pengetahuannya kepada masyarakat. Dengan saling berbagi informasi, diharapkan masyarakat mampu memilah terlebih sebuah berita yang diterimanya sehingga masyarakat tidak terpedaya oleh hoaks. Kemampuan berliterasi santri juga perlu dikenalkan kepada masyarakat karena sangat membantu masyarakat untuk mengidentifikasi sebuah berita dengan tepat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan