Melacak Kembali Akar Terorisme di Indonesia

909 kali dibaca

Seperti yang dilansir koran Jawa Pos, dalam penangkapan seorang PNS terduga teroris di Tangerang, Banten (15/03/2022), Densus 88 Anti Teror Polri mengamankan 4 buku bacaan, 1 buku tabungan, 1 handphone, dan 1 kartu ATM. Uniknya, lagi-lagi buku menjadi barang bukti dalam penangkapan para tersangka terorisme. Dan seakan-akan, eksistensi buku tidak bisa dipisahkan dalam ruang gerak dunia terorisme.

Sebagai tambahan, sedikit kita menoleh ke belakang, dalam drama penangkapan teroris di Ciputat pada 2014 lalu, pihak aparat juga mengamankan sekitar 50 buku yang diduga menjadi sumber inspirasi bagi pelaku terorisme. Di tahun sebelumnya pula (2013), tepatnya di pertengahan bulan Mei, juga terjadi penggerebekan di Solo, Jawa Tengah. Saat itu, polisi menemukan sejumlah buku dan kemudian membakarnya.

Advertisements

Pada kenyataannya, dari sejumlah buku yang dijadikan barang bukti dari setiap penangkapan, saya telusuri, rata-rata bertemakan tentang bagaimana jihad dilakukan. Dari sejumlah buku itu, para pengamat terorisme yakin bahwa buku adalah satu-satunya faktor serta yang menjadi alat vital dalam membangun ideologi makar yang kemudian mengalir dari satu kepala ke kepala lainnya.

Sampai di sini kita akan dihantui pertanyaan-pertanyaan; apakah hanya karena buku, seseorang nekat akan melakukan aksi teror? Lantas, seberapa besar dampak buku dalam memotivasi pelaku? Kemudian, bagaimana kita meresponsnya?

Abu Ezza dalam bukunya Pengantin Teroris: Memoar Jihad NA (2010), mengatakan, bahwa rata-rata para pelaku seringkali termotivasi dari doktrin-doktrin agama yang bernuansa radikal. Dari doktrin-doktrin religi inilah kemudian membentuk ideologi-ideologi keras yang bersifat kaku, yang pada akhirnya malah menjadi stimulus dan landasan teologis untuk melakukan aksi teror di hari-hari yang telah ditentukan nanti.

Memang tidak bisa dimungkiri, dari tahun ke tahun ruang gerak terorisme semakin meluas. Di tahun 2021 kemarin saja, tercatat ada dua kasus terorisme. Pertama, saat terjadi pengeboman di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (28/03/2021); dengan model aksi bom bunuh diri. Kedua, terjadi di kompleks Mabes Polri Jakarta (31/03/2021); ketika seorang wanita berumur 25 tahun menyerang dengan menggunakan senjata api. Berdasarkan hasil penelusuran polisi, kedua kasus ini sama-sama berangkat dari kesalahan dalam beragama. Dengan kata lain, mereka (pelaku teror) mendapat suntikan motivasi akibat terjebak dalam interpretasi sebagian ajaran agamanya, dibantu dengan berbagai jejaring-jejaring yang sifatnya underground.

Ironisnya, kesalahan dalam beragama ini oleh para teroris dianggap sebagai “jalan kebenaran”. Hal ini tentu kembali mengorek kesadaran kolektif kita, bahwa terorisme masih menjadi pekerjaan rumah untuk kita secara umum, dan untuk pemerintah secara khusus. Lebih-lebih, penyakit kronis bernama “terorisme” ini tidak hanya menjangkiti masyarakat biasa, tetapi sudah masuk dalam lapisan pemerintahan. Seperti kasus di atas, yang tercatat sebagai PNS di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tangerang.

Lagipula, tenggang waktu yang relatif berdekatan (baca: Maret), dua kasus di atas sudah cukup untuk menjustifikasi bahwa terorisme di Indonesia menjadi problem terbesar terkait kekerasan atas nama agama. Dan bersyukur saja, Densus 88 Anti Teror kemarin dengan cepat melacak keberadaan seorang teroris, yang sewaktu-waktu tanpa kita ketahui akan melancarkan aksinya. Sehingga, hal-hal yang kita takuti dari dunia terorisme selama ini bisa sedikit teratasi.

Sampai di sini kita menemukan sedikit konklusi, bahwa dua dekade pasca-reformasi, problem atas nama terorisme masih marak. Persebaran ideologi teroris masih berjalan di sendi-sendi kehidupan kita, baik dari wilayah yang satu ke wilayah yang lain, dari satu pintu ke pintu yang lain, tentu dengan model yang terbaru. Ketika dulu proses indoktrinasi dilakukan secara bertemu langsung, untuk sekarang indoktrinasi dan pemantapan ideologi dilakukan lewat narasi di dalam buku. Terbukti, dalam setiap drama penangkapan, aparat selalu mengamankan sejumlah buku yang erat kaitannya dengan ideologi para pelaku.

Namun apa boleh buat, buku dengan genre bagaimana pun adalah jejak dari intelektualisme. Secara tidak langsung, melawan terorisme sejatinya juga melawan buku. Para teroris bukanlah orang bodoh, mereka adalah kaum berpendidikan. Buku demi buku yang dibacanya bisa mereka jadikan dalil dan dipertanggungjawabkan. Ini selaras dengan hasil penelitian Prof Sarlito, dalam bukunya Terorisme di Indonesia Tinjauan Psikologi (2012), yang menguraikan bahwa tidak satu pun teroris bodoh dan tidak paham agama. Setidaknya ini terlihat dalam keseharian TB. Dari kesaksian tetangga dan teman kerjanya mengatakan, bahwa TB dikenal sosok yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara, juga sebagai sosok yang santun dan rajin ibadah. Tidak sedikit pun ada tanda-tanda yang menunjukkan TB seorang teroris.

Namun, membangun kewaspadaan tetap jauh lebih penting. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam memilih buku untuk dijadikan bahan bacaan. Mengingat, proses indoktrinasi dan pembangunan ideologi makar ala terorisme dilakukan dengan menerbitkan buku beraliran radikal. Mereka tahu, satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tetapi satu buku mampu menembus beribu-ribu kepala. Tidak menutup kemungkinan, tanpa disadari, kita terbawa oleh kedahsyatan kata-kata yang memuat paham terorisme. Dan tentunya, ini harus menjadi perhatian khusus dari pemerintah, entah nantinya mengontrol dalam setiap penerbitan buku, atau mungkin mengeluarkan kebijakan tentang larangan penerbitan buku yang bernuansa radikal. Semoga, Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan