Mbah Arwani, Promotor Qiraat Sab’ah di Indonesia

3,802 kali dibaca

Salah satu ulama besar, alim, dan amil di Indonesia, khususnya dalam bidang Al-Quran dan qiraat adalah KH Muhammad Arwani Amin, yang lebih dikenal dengan sapaan Mbah Arwani Kudus. Bisa dibilang, Mbah Arwani Kudus adalah promotor dalam ngaji dan kajian (belajar) qiraat sab’ah di Indonesia.

Meskipun, tidak bisa dinafikan, jauh sebelumnya, ngaji dan kajian tentang qiraat sab’ah sudah ada di Indonesia, salah satunya di Tebuireng, Jombang dan al Munawwir, Yogyakarta. Akan tetapi, Mbah Arwani-lah yang memiliki kontribusi besar dalam membumikan qiraat sab’ah di kalangan yang lebih luas. Termasuk, dalam kurun empat dekade ini, karya dan keteladanannya mempengaruhi pembelajaran qiraat sab’ah di Indonesia.

Advertisements

Perjalanan Mbah Arwani menjadi ulama besar bidang qiraat sab’ah tidaklah enteng dan mulus begitu saja. Perjalanan nyantrinya yang dilalui untuk menimba ilmu begitu panjang. Mbah Arwani sendiri nyantri dari satu pesantren ke pesantren yang lain, yang jika dipetakan mencakup di tiga provinsi, yakni secara berurutan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Dalam proses mondok, Mbah Arwani sendiri adalah santri yang cerdas. Kecerdasan Mbah Arwani setidaknya sudah melekat sedari kecil. Hal tersebut salah satunya tidak terlepas dari riyadhah kedua orang tuanya. Ketika Mbah Arwani dalam kandungan, kedua orang tuanya seringkali mengkhatamkan membaca Al-Quran sekalipun tidak hafal (hafiz).

Perjalanan Menuntut Ilmu

KH Muhammad Arwani Amin (Mbah Arwani Kudus) lahir pada 5 September 1905 atau 5 Rajab 1323 H di Madureksan, Kudus, Jawa Tengah. Kedua orang tuanya, pasangan H Amin Said dan Hj Wanifah, tergolong orang-orang yang saleh-salehah dan begitu mencintai Al-Quran.

Mbah Arwani sendiri merupakan anak kedua dari 12 bersaudara, yang tiga di antaranya menjadi ahlul quran (hafiz), salah satunya adalah Mbah Arwani. Lantas, jika dirunut nasabnya ke atas melalui jalur ayah, maka akan sampai pada ulama-ulama yang zuhud, salah satunya adalah KH Imam Haramain (kakek). Sedangkan, jika dirunut melalui jalur ibu, maka akan sampai pada salah satu pahlawan nasional, yakni Pangeran Diponegoro.

Sedari kecil, Mbah Arwani hidup di dalam lingkungan santri yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Dari kecil hingga mulai belia, Mbah Arwani belajar agama pada ayahnya dan kakeknya. Pendidikan dasarnya sendiri ditempuh di Madrasah Mu’awanatul Muslimin asuhan KH Abdullah Sajad. Adapun, ngaji Al-Quran secara khusus mengambil dari KH Syiraj (Kiai kelurahan setempat). Kemudian, untuk ngaji kitab-kitab salaf mengambil dari KHR Asnawi Kudus (ulama besar Kudus, keturunan Sunan Kudus).

Setelahnya, Mbah Arwani melanjutkan nyantrinya ke Pesantren Jamsaren Solo yang diasuh oleh ulama-ulama besar di Solo: KH Idris, KH Abdul Jalil, dan KH Abu Amar. Di saat yang sama, Mbah Arwani juga mengikuti pendidikan formal di Madrasah Mamba’ul Ulum. Ketika di Jamsaren, kecerdasan Mbah Arwani diketahui oleh KH Idris. Hal tersebut membuat Mbah Arwani ditunjuk oleh KH Idris untuk mengajar santri-santri yang lain.

Selesai nyantri di Jamsaren, Solo, Jawa Tengah, Mbah Arwani melanjutkan perjalanan mondoknya ke Jawa Timur, tepatnya di Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari. Di Tebuireng inilah Mbah Arwani mulai mendalami qiraat sab’ah. Di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari, beliau ngaji kitab Sirah al-Qari karya Abdul Qasim Ali ibn Utsman ibn Muhammad. Tentunya di samping mendalami qiraat sab’ah, Mbah Arwani juga ngaji ilmu dan kitab lainya. Nyantri di Tebuireng ditempuh selama kurang lebih empat tahun.

Setelahnya, Mbah Arwani melanjutkan ke Pesantren al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan ulama besar ahlul quran dan qiraat sab’ah, KH Muhammad Munawwir. Mulanya Mbah Arwani ingin langsung mendalami qiraat sab’ah kepada KH Muhammad Munawwir. Akan tetapi, hal itu belum bisa di-iya-kan, karena syarat ngaji qiraat sab’ah haruslah hafal 30 juz. Akhirnya, Mbah Arwani dengan ketawadhuanya berhasil menghafalkan Al-Quran dalam kurun waktu dua tahun.

Setelah hafiz, barulah Mbah Arwani mendalami qiraat sab’ah dengan ngaji kitab al Shatibiyyah selama sembilan tahun hingga khatam. Berdasarkan amanat dari KH Muhammad Munawwir untuk mengamalkan ilmunya dengan bil nazar (menjaga dan mengajarkan alquran) dan bil ghaib (melanggengkan hafalan), Mbah Arwani pun boyong.

Menulis Kitab Faidh al Barakat fi Sab’ al Qiraat.

Dari perjalanan panjang nyantrinya, dapat kita ketahui bahwa Mbah Arwani adalah ulama yang memiliki kredibilitas dalam ilmu-ilmu agama (ushuluddin), khususnya bidang qiraat sab’ah. Mbah Arwani adalah ulama yang sangat produktif, baik dalam murojaah Al-Quran maupun pengajarannya, dan juga menulis serta men-tashih kitab para ulama. Salah satu maha karyanya yang menjadi pedoman hampir di seluruh pondok pesantren Al-Quran di Indonesia dalam belajar qiraat sab’ah adalah kitab Faidh al Barakat fi Sab’ al Qiraat.

Kitab Faidh al Barakat fi Sab’ al Qiraat ini ditulis oleh Mbah Arwani dengan adanya latar belakang. Dalam tulisan-tulisan yang penulis baca, setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi penulisan kitab tersebut.

Pertama, ketika mendalami qiraat sab’ah dengan belajar as Shatibiyyah, Mbah Arwani mengalami kesususahan dalam memahami dan mendalami. Sehingga terbesit niat untuk mengarang metode belajar qiraat sab’ah yang lebih praktis.

Kedua, dalam mukadimahnya dijelaskan, pasca mendalami qiraat sab’ah dengan KH Muhammad Munawwir, Mbah Arwani ingin mendokumentasikannya; mencatatkan kenangan dan pengalamanya belajar tersebut agar tidak hilang.

Kitab Faidh al Barakat fi Sab’ al Qiraat ditulis secara lengkap lengkap, mencakup 30 juz, dan terbagi menjadi tiga jilid, dengan tujuan agar tidak terjadi kerancuan dalam mempelajari qiraat sab’ah. Qiraat sab’ah merupakan ilmu mengenai cara baca Al-Quran berdasarkan riwayat sahih tujuh imam (Abu ‘Amr bin ‘Ala, Ibnu Katsir, Nafi al Madani, Ibn Amir asy Syami, Ashim al Kufi, Hamzah al Kufi, dan al Kisa’i al Kufi). Hal itu juga disinggung Mbah Arwani dalam kitabnya.

Adapun, naqli-nya adalah Nabi pernah menjelaskan, bahwa perbedaan cara baca Al-Quran itu ada, dan ada tujuh yang sahih.

إنّ الْقرْان أنْزل على سبْعة أحْرف فاقرءوا ما تيسّر منْه

“Sesungguhnya Alquran diturunkan dengan sab’atu ahruf (tujuh dialek/cara baca) karena itu bacalah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhari: 4653)

Kitab tersebut sampai hari ini menjadi kitab panduan praktis dalam mempelajari qiraat sab’ah di Indonesia, baik ngaji oleh para santri maupun dikaji para akademisi. Sebagai catatan, ulama Nusantara yang pernah melahirkan karya dalam bidang qiraat sab’ah ada dua. Selain Mbah Arwani, ada Syaikh Mahfud at Tarmasi yang menulis kitab Ghaniyyah at Thalabah fi Syarhit Thayyibah fil Qiraat al Sab’ah dan Dr KH Ahsin Sakho Muhammad (pakar qiraat sab’ah kontemporer) yang menulis kitab Manba’ul Barakat fi Sab’il Qiraat.

Maka tak salah, Mbah Arwani adalah promotor kebangkitan atau masifnya pembelajaran qiraat sab’ah di Indonesia. Khususnya, pasca mendirikan pesantren Al-Quran, Pondok Tahfidh Yanbu’ul Quran (PTYQ).

Sejak itu, qiraat sab’ah mendapat perhatian dengan disiplin tinggi, mengingat tradisi kita, santri di Indonesia (kebanyakan) fokusnya adalah pada ranah menghafal, dan tidak ada minat atau fokus dalam mempelajari qiraat sab’ah sesudahnya. Kitab yang ditulis mbah Arwani sendiri bisa dibilang “propaganda” agar khalayak luas memiliki minat mempelajari qiraat sab’ah, dengan tawaran panduan (kitab) yang lebih praktis.

Apa yang telah diwariskan, bahkan dicapai, oleh Mbah Arwani adalah salah salah satu bentuk dari kekayaan dan kearifan lokal kita; bahwa ada ulama yang mampu menulis kitab mengenai qiraat sab’ah, dan hari ini menjadi kurikulum di berbagi pesantren Al-Quran, minimal dibaca dan dikaji. Hal ini juga menjawab stereotip masyarakat awam perihal pandangan bahwa belajar qiraat sab’ah itu tidak terlalu penting, meskipun hari ini stereotip tersebut masih ada.

Melalui Mbah Arwani dan pesantrennya, maka lahir ulama-ulama ahlul quran dan qiraat sab’ah. Jika dirunut, kebanyakan ulama ahlul quran dan qiraat sab’ah, sanad keilmuanya sampai pada Kudus (Mbah Arwani) atau Krapayak (Mbah Munawwir), meskipun tetap thabaqat di atas Mbah Arwani adalah Mbah Munawwir.

Santri-santri Mbah Arwani sendiri tersebar di berbagai penjuru dan menjadi ulama besar yang terus menjaga tradisi menghafal Al-Quran dan belajar qiraat sab’ah. Di antaranya adalah KH Abdul Hafidz (Mojokerto), kiai penulis sendiri (tahadduts bil ni’mah). Ulasan ini semata-mata hanya bentuk tahadduts bil ni’mah, dengan mengharap keberkahan dari ulama-ulama, kiai-kiai kita. Insyaallah…

Multi-Page

4 Replies to “Mbah Arwani, Promotor Qiraat Sab’ah di Indonesia”

Tinggalkan Balasan