Matinya Hiperrealita

3,057 kali dibaca

Pertama-tama saya akan bilang “New Normal” ini sebenarnya adalah back to normal. Justru kehidupan kemarin itu yang abnormal.

Kedua, saya akan cerita apa itu hiperrealita.

Advertisements

Sederhananya, ketika Anda beli segelas kopi di coffee stall bermerek tertentu seharga Rp 40 ribuan, mengapa segelas kopi bisa begitu mahal?

Anggaplah harga dasar kopi itu Rp 7 ribu, maka Rp 33 ribu sisanya Anda membayar harga sewa sofa outlet dan membeli simbol coffee stall asing itu. Angka Rp 33 ribu itulah hiperealita. Sebuah kondisi mental yang menganggap sesuatu itu nyata dan kita butuhkan melebihi kebutuhan dasar kita sendiri.

(Untuk diketahui, istilah hiperalita diperkenalkan oleh filsuf Prancis bernama Jean Baudrillard dalam buku Simulacra, 1981).

Kita sesungguhnya tidak akan menemui hiperealita sedahsyat kemarin andai saja tidak ditemukan yang namanya facebook, instagram, twitter, dan teman-temannya.

Tiba-tiba datanglah Covid-19. Mendadak kita semua takut keluar rumah, takut berkerumun, aktivitas di luar dibatasi. Apa-apa serba dari rumah. Lalu bagaimana nasib para hiperrealista? (sebutan saya untuk pelaku hiperrealita).

Coffee stall asing itu sepi, kafe sepi, mal sepi. Tidak ada orang yang meng-uplod imej-imej mereka di outlet-outlet pendongkrak citra diri itu. Masihkah relevan kebutuhan akan luxury, prestise, dan status hari ini? Masih mungkinkah kita membutuhkan itu? Atau kita langsung ke puncak pertanyaannya: masihkah dibutuhkan hal-hal seperti itu hari ini?

Pandemi Covid-19 ini ibarat tombol resert. Sekali ditekan langsung semua berbondong-bondong menuju ke titik awal. Kita sudah merasakan PSBB, di mana pada masa itu kita diarahkan untuk melakukan segala hal yang kita butuhkan saja. Ini kabar buruk untuk usaha seperti pariwisata, hotel, mal, kafe-kafe, dan semua usaha yang menjadikan citra, luxury, atau prestise sebagai core bisnisnya.

Pembatasan social itu adalah hantu bagi usaha-usaha tadi. Di mana letak kesalahannya kalau begini? Benarkah kehidupan sosial benar-benar dibatasi?

Sebetulnya tidak salah. Karena yang terjadi sesungguhnya bukanlah pembatasan social, tetapi mengembalikan kehidupan sosial kita ke titik yang wajar ketika kehidupan sosial kita sudah benar-benar overdosis (Rp 40 ribu hanya untuk segelas kopi?).

Kesalahannya adalah coffee stall global membasiskan bisnisnya kepada materi yg imajiner (citra, luxury, prestise, status). Kalau Anda mengira mereka itu menjual minuman/makanan sebetulnya tidak. Bisnis mereka adalah jual-beli simbol. Simbol akan berubah menjadi status manakala kehidupan sosial manusia didorong sampai puncak di luar kebutuhan wajar manusia, dan ketika ruang manusia untuk saling bertemu hancur lebur seperti hari ini saat itulah simbol-simbol itu runtuh nilai jualnya.

Apakah ini pertanda buruk? Yap, ini pertanda buruk, yang menunjukkan betapa lugunya kita kemarin yang selama ini rutin bekerja 8 jam sehari dan 5 hari seminggu hanya untuk mengongkosi kebutuhan imajiner (hiperrealita) kita. Kemarin kita benar-benar dijauhkan dari apa yang benar-benar kita butuhkan. Kita malah membiayai ilusi.

“New Normal” adalah hancurnya sebuah abnormalitas dan kembalinya sebuah kehidupan normal. Sebelum revolusi industri, kehidupan itu relatif sangat normal. manusia setara bekerja untuk kebutuhannya. Ketika ngopi, mereka ya ngopi untuk menghilangkan penat. Kedai kopi pun sebagai ruang publik untuk saling guyub berinteraksi, bukan ruang halusinasi atau untuk menyendiri. Selesai ngopi, kembali ke kehidupannya (bukannya pindah kasta). Upah yang mereka dapat pun untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Bukan untuk “membeli” merek.

Ketika kondisi di atas dihantam kejadian luar biasa seperti pandemi, kemungkinan tidak akan sedramatis seperti yang terjadi hari ini. Hari ini ribuan pekerja menggantungkan hidupnya pada bisnis imajiner seperti mal, coffee stall global. Bisa terbayang efek domino kehancurannya… rubuh satu sirna banyak. Ribuan pekerja terancam kehidupannya seiring hilangnya pekerjaan mereka. Mereka teralienasi dari pekerjaannya sehingga merasa bukan siapa-siapa dan tidak berdaya ketika hilang profesinya.

Sudah waktunya dunia usaha imajiner itu merombak plan bisnisnya ke usaha yang nyata (riil) dan beradaptasi bila ingin survive hari ini. Alih-alih mempertahankan bisnis yang sama seolah-olah  kita masih hidup di dunia kemarin (gagal move on).

“New Normal” adalah sebuah terapi psikis dan efek kejut bagi kita untuk memikirkan ulang, untuk introspeksi betapa rapuhnya kehidupan sosial kita kemarin bak jaring laba-laba besar. Tertata, tersistem, dan terstruktur rapih dan masif tetapi tidak kita sadari begitu rapuh dan labil ketika sebuah batu menimpanya.

“New Normal” mendorong kita untuk fokus dan mengefisiensikan tenaga dan pikiran kita untuk hal-hal yang kita butuhkan saja, dan petunjuk atas matinya kebutuhan halusinasi kita. Seolah hidup kita serba dicukupkan. Kita didorong memikirkan kembali apa yang benar-benar kita butuhkan. Kembali ke jati diri dan fungsi diri kita yang nyata.

It’s all done. We’ are shifting.

Change or we die. Get real.

Dunia kita yang kemarin sudah mati. Dunia hari ini ibarat sebuah rumah sakit yang besar. Dan kita tergeletak di dalamnya dan hanya berpikir untuk tetap sehat dan tetap hidup. Pernah lihat orang selfie saat tergeletak sekarat di rumah sakit ? Itulah matinya hiperrealita.

Jika Baudrillard di tahun 1980-an lalu sudah memikirkan kondisi hiperrealita, sesungguhnya saat itu dia sudah melihat bahaya dan sedang menyalakan simbol SOS (save our soul) itu kepada kita agar kita lekas sadar dan menyelamatkan diri bahwa kita berdiri di atas bom waktu.

New Normal? Welcome normal life.

Keep waras, keep alive!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan