Mata Indah Kamelia

479 kali dibaca

Aku mengenal Kamelia seminggu yang lalu di warung kopi Basabasi. Takdir telah menghendaki kami dipertemukan melalui tugas kampus. Pertama kali aku menatapnya, matanya tajam menatapku balik. Aku terkesima oleh matanya. Mata yang penuh kewibawaan, mata yang mengidentifikasi watak lembut seorang perempuan itu telah membius hatiku untuk mengenalnya lebih dalam. Di sekeliling matanya terlihat hitam. Kuamati lebih tajam dari sebelumnya. Ternyata dia memakai celak. Aduhai, indah benar matanya. Aku terhalang melihat wajahnya karena ia memakai masker.

Kami mengerjakan tugas mata kuliah Agama Islam berempat. Aku, Abai, Ica, dan Kamelia. Hanya Kamelia seorang yang memakai masker. Kutanyai Ica perihal alamat, “Aku asli Tangerang,” jawabnya. Lalu melontarkan pertanyaan pada Kamelia. “Magelang, Mas,” jawabnya sambil menekuri hapenya amat serius.

Advertisements

“Mau membahas apa kita?” tanya Abai.

“Itu, biar Mas Aqib,” jawab Kamelia menunjukku.

“Kok aku?” spontan aku menyela.

“Ya, kan Mas Aqib yang tahu begitu-begitu. Iya, kan, Kamel?” lontar Ica sambil memicingkan satu matanya yang kiri.

Aku diam saja. Abai yang nerocos sana-sini. Dia membicarakan tentang teknis selama enam bulan perkuliahan. Ica menimpali dengan penuh semangat. Kamelia menekuri hapenya sambil sesedikit urun pendapat. Dia mengatakan kalau sebenarnya kuliah hanyalah menuruti orangtua. Sebab itu, ia sering tidak masuk kuliah karena malas.

Dan terlihat oleh mataku, Kamelia dan Ica sangat khusyuk mendengarkan penuturan Abai. Sementara aku? Ya, aku terbius oleh mata Kamelia. Duh, Tuhan, siapa yang tak terpikat dengan mata yang sedemikian bening? Pada saat itulah aku menemukan sebuah gagasan bahwa cinta bisa datang dari keindahan mata. Kalau kebanyakan orang bilang bahwa cinta lahir sebab wajah cantik perempuan, kali ini kutegaskan: aku jatuh cinta pada seorang perempuan sebab keindahan matanya. Aku tak memikirkan bagaimana bentuk wajah Kamelia, terlepas dari cantik atau jelek.

Lalu, sebentar setelahnya, Abai meminta Kamelia membuka masker, dan ia mengiyakan. Kamelia membuka masker. Dengan sembunyi-sembunyi aku melihat wajahnya. Indah sekali, seindah matanya.

“Mas Aqib kok diam saja?” tanyanya.

Aku mematikan hapeku lalu membenarkan posisi duduk. “Tugasnya disuruh ngapain emang?”

“Apa Mas tak membaca instruksi?”

“Tidak.”

“Disuruh membuat opini tentang kebudayaan Islam, Qib,” timpal Abai.

“Oala… Lalu, kita mau membahas apa? Nah, setiap daerah punya budaya, kan? Misal, di Jawa ada wayang, dan lain-lain,” seloroh Kamelia.

Aku kemudian memantik pembahasan agar suasana mencair.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kami pulang tepat setelah azan Isya’.

***

Dan semenjak itu hatiku tertaut pada matanya. Apalagi wajahnya sangat anggun dan menawan itu –wajah yang natural tidak berpelupur banyak bedak, bibirnya tak bepelepotan lipstik, hanya yang menarik adalah celak yang diluburkan di sekitar matanya itu– membuatku semakin mengaguminya.

Lagian, siapa laki-laki yang tak tertarik perempuan cantik? Ah, laki-laki yang mengatakan tidak tertarik pada perempuan cantik adalah laki-laki munafik.

***

Dua hari setelahnya, kami merevisi tugas karena yang kita kerjakan salah. Kami berkumpul lagi di warung kopi Bento. Ica dan Abai datang lebih dulu daripadaku. Sampai warung, aku berkumpul dengan mereka. Ternyata Kamelia belum datang. Ah, padahal tak ada terbesit di hatiku niat datang ke Bento kecuali ingin bertemu Kamelia. Sungguh aku rindu padanya.

Telah aku stalking instagramnya, berharap menjumpai fotonya untuk kupandangi lama, tetapi di instagramnya tak ada barang satu pun fotonya. Aduh, dia bukan tipe perempuan yang eksis dan suka pamer kecantikan, dan aku suka perempuan seperti dia. Dan kau tahu? Aku melihat wajahnya baru sekali ketika di Basabasi seminggu yang lalu.

“Mas Aqib, ini nasi jagungnya,” katamu sambil menyodorkannya di plastik putih.

Aku tersipu malu. Tak menimpali. Sambil menerima nasi jagung itu, aku tundukkan kepalaku agar tak nampak olehnya raut mukaku yang telah memerah.

“Terima kasih.”

Dan tahu kau apa yang kurasakan saat menerima nasi jagung itu? Ya, aku benar-benar telah jatuh cinta pada Kamelia. Dan pada saat itu, aku lebih jatuh cinta dari yang sebelumnya. Tahu sendirilah kau, pecinta akan kikuk di depan kekasih, bukan?

Aku kemudian duduk di dekatnya. Parfumnya begitu wangi. Aku kira, ia risih berdekatan denganku, tetapi ia diam saja, tanda bahwa tidak masalah. Lalu kunikmati wangi parfumnya itu. Oh, adiktif sangat. Aku masih sangat ingat betul sampai saat ini.

Dan setelah pulang, satu-satu yang kuingat adalah dia. Aku lupa bahwa aku punya tugas-tugas kuliah yang lain-lain. Ya, begitulah cinta, melupakan segala yang selainnya, memfanakan yang lain-lain daripadanya.

Karena kepikiran terus, diam-diam aku mencari nomor teleponnya di grup kelompok. Setelah menemukan, kukirimi ia pesan. Tetapi nahas, ia tidak membalas. Tak bisa berbasa-basi seperti kebanyakan laki-laki, aku mengatakan padanya bahwa aku telah terpesona oleh matanya. Mungkin, dari sekian banyak pesan, aku adalah yang terakhir dibalas. Ya, tak mengapa. Bagiku, chatku dibalas saja aku sudah bangga. Setidaknya, aku telah berhasil mencuri waktunya. Dan begitulah pekerjaanku setiap malam: mengirim pesan padanya.

Pada hari berikutnya, tak terasa sudah enam pesanku mengendap di roomchat-nya. Namun, aku tetap tak punya malu, terus saja melontarkan pesan-pesan yang klise.

***

“Bungkus satu, Buk, sama es teh,” pesan Kamelia pada ibu penjaga warung makan.

“Iya, Nduk.”

Kamelia duduk menunggu di dekat ibu penjaga warung makan. Tak lama, ibu itu memberikannya kepada Kamelia. Ia lalu membayar dan membawa sebungkus nasi tersebut pada kakek pengemis di seberang jalan tak jauh dari warung. Di dekatnya, Kamelia meraih tangannya yang keriput, lalu menciumnya.

“Monggo, Mbah, dimaem.” Kamelia duduk di dekat kakek pengemis itu, menunggunya makan.

Kakek pengemis tersenyum dan menerima nasi dari Kamelia, lalu memakannya. Tanpa sepatah kata pun, ia makan nasi pemberian Kamelia dengan lahap. Dari sorot matanya, ia nampak sangat bahagia sekali. Sedang Kamelia lekat melihatnya makan sesuap demi sesuap nasi.

“Ini es tehnya, Mbah.” Kamelia mengulungkan es teh pada kakek pengemis. Sambil tersenyum, kakek itu menerima es teh yang diberikan oleh Kamelia lalu meminumnya. Mengetahui telah selesai makan, Kamelia meraih tangan kakek pengemis itu lalu menciumnya.

Kamelia memacu sepeda motornya dan kembali ke asrama. Ia main hape, membalas chat Aqib. Tiba-tiba matanya gelap. Terpejam. Tertidur.

***

Aku dalam gelap. Sendiri. Berteriak mencari pertolongan, tetapi tak ketemui satu pun makhluk hidup di sini. Aku bangkit dari duduk kemudian berjalan mencari cahaya. Namun, tak ada barang sedikit pun cahaya. Aku terus berjalan, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan, tetapi sama saja, tak kutemui.

Lama, lama sekali aku mencari cahaya agar aku bisa keluar dari kegelapan ini. Aku lelah dan putus asa, dan aku terbisu dan terpasung dalam kesendirian. Aku berteriak mencari pertolongan, tetapi tak ada apapun. Hingga pada kelelahan yang sangat itu, tetiba cahaya muncul dari kejauhan. Cahaya itu semakin mendekat, semakin mendekat. Aku amati lekat-lekat. Semakin dekat. Aku melihat bahwa sumber cahaya itu adalah sepasang sorot mata.

“Mas Aqib,” ucapnya lirih sambil mengusap keningku yang bercucur keringat.

“Kamel.” Aku bersimpuh di hadapannya tanpa daya. “Terima kasih.” Aku menangis.

“Iya, Mas Aqib. Mari, keluar,” ajak Kamelia. Ia menggandeng tanganku yang tak berdaya. Kami kemudian berjalan keluar.

Sampai di depan pintu goa, seorang kakek berpakaian lusuh menghadangku. Wajahnya bersungut-sungut. Aku takut.

“Usah takut, Mas Aqib,” bisik Kamelia padaku.

“Siapa dia, Kamel?”

“Dia adalah…”

Dan lamat-lamat kupingku mendengar azan Subuh. Ternyata cuma mimpi. Kuraih hape di dekatku dan kunyalakan layarnya. Ada notifikasi pesan dari Kamelia. Aku lihat: “Mas Aqib, mata Kamel sakit.”

“Iya, sebab cahaya mata indahmu habis untuk memberi cahaya padaku dalam kegelapan, Kamel,” jawabku padanya.

“Maksudnya?”

“Wkwk. Enggak, enggak.”

Dan aku masih bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya kakek di depan goa itu, yang wajahnya bersungut-sungut padaku?

***

Besoknya, saat kuliah dan bertemu dengan Kamelia, aku mengatakan padanya: “Kau yang memiliki mata indah, terima kasih atas cahaya tadi malam. Aku mencintaimu, Kamel.”

ilustrasi: lukisan jeihan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan