Masa Depan Pesantren di Tengah Pandemi

719 kali dibaca

Sejak Covid-19 ditetapkan menjadi pandemi, banyak upaya-upaya penanggulangan dilakukan untuk memperlambat laju penularannya. Betul, semua orang menghadapi pandemi yang sama, tetapi masing-masing berada dalam posisi berbeda-beda. Ibarat sebuah perang, ada yang mampu membeli baju zirah, ada yang mampu berlindung di balik mobil-mobil tank baja, tetapi ada juga yang berdiri di luar tanpa perlindungan apa-apa. Jangankan senjata, papan penangkis saja tak punya.

Di hadapan pandemi, orang-orang yang bisa bertahan diam di rumah adalah orang-orang dengan privilege. Mereka memiliki pilihan untuk tetap diam di rumah. Paling tidak, mereka punya uang dan makanan untuk bertahan hidup selama tidak keluar rumah. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki kemewahan untuk itu karena diam di rumah dalam waktu lama sama saja tidak bisa bekerja mencari uang untuk makan. Diam di rumah bukanlah pilihan.

Advertisements

Ketika jumlah terkonfirmasi positif Covid-19 belum turun secara signifikan, bahkan belum mendekati apa yang dicapai Australia dan Selandia Baru atau bahkan Vietnam yang hampir zero case, wacana new normal sudah ramai digaungkan dan bertahap dilakukan.

Memang betul, sejak pandemi ini, hidup kita tidak akan pernah sama lagi. Kita akan dipaksa untuk jauh lebih hati-hati dalam segala hal; rajin mencuci tangan, tidak menyentuh wajah, mengenakan masker ke mana-mana, menghindari kerumunan, dan lain sebagainya. Tetapi new normal ini ternyata bukan semata kesadaran mengenai protokol kesehatan baru di tengah pandemi, namun juga bagaimana orang bisa kembali keluar beraktivitas seperti biasa, bekerja, dan menggerakkan roda perekonomian.

Meskipun ada penekanan untuk melakukan semua aktivitas di luar rumah itu dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, tetapi nyatanya akumulasi angka terinfeksi Covid-19 masih tinggi. Bahkan beberapa hari yang lalu, angka penambahan positif Covid-19 dalam sehari mencapai angka 3000-an. Perlu diingat, bahwa angka 3000 itu adalah angka yang sudah dites.

Mereka yang positif Covid-19 tapi luput dari pengetesan dan berkeliaran di tengah masyarakat sebagai OTG (Orang Tanpa Gejala) maupun yang sakit namun memilih untuk pergi ke pengobatan alternatif alih-alih ke fasilitas kesehatan seperti Puskesmas atau Rumah Sakit, kita tidak pernah tahu berapa jumlah pastinya. Di Indonesia sendiri, kebijakan tes swab massal belum dilakukan sehingga jumlah pasti orang yang terinfeksi Covid-19 masih belum bisa diketahui.

Sementara itu, new normal yang mulai dilakukan sejak beberapa bulan terakhir ini memungkinkan orang untuk semakin banyak keluar dan berkumpul seolah-olah new normal bermakna bahwa keadaan mulai aman. Padahal kasus kematian dokter karena Covid-19 sudah melewati angka 100. Belum lagi petugas kesehatan yang wafat karena wabah ini. Semua itu bukan angka-angka statistik belaka karena angka itu adalah nyawa-nyawa ayah, anak, istri, ibu, adik, kakak bagi keluarga yang ditinggalkan.

Lalu bagaimana dengan kehidupan pesantren di tengah pandemi?

Dalam beberapa bulan ini, kita mendengar beberapa pesantren sudah mulai menerima santri-santri kembali untuk beraktivitas mengaji dan tinggal di asrama. Budaya di pesantren yang umumnya tidak memungkinkan adanya jaga jarak antarsantri terutama bagi yang tinggal di asrama sama, kemudian kamar mandi dengan fasilitas kolah/bak mandi besar yang dipakai bersamaan memungkinkan kurang terjaganya kehigienisan air, serta kebiasaan-kebiasaan lain membuat betapa susahnya dilakukan protokol kesehatan di tengah pandemi ini.

Beberapa hari terakhir, kita mendengar beberapa pondok pesantren menjadi kluster baru penularan Covid-19. Angka terinfeksi positif pada santri di beberapa pondok pesantren ada yang mencapai puluhan bahkan ratusan. Jika kita memasukkan lema: “santri positif covid” di mesin telusur web seperti google, kita akan menemukan data-data yang cukup mengagetkan. Meskipun beberapa santri yang positif terinfeksi Covid-19 tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi fakta bahwa virus ini berbahaya tidak bisa diabaikan.

Memang, di beberapa pondok pesantren sudah lumayan ketat menerapkan protokol kesehatan, misalnya dengan tidak menerima tamu atau pengunjung, mewajibkan rapid test bagi santri yang kembali ke pesantren, mewajibkan semua penghuni pesantren mengenakan masker, tetapi masih banyak pesantren lain yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Ada banyak pesantren yang semuanya biasa saja seolah-olah pandemi ini tidak ada; tidak ada orang memakai masker, tidak ada pembatasan pengunjung, dan lain sebagainya. Yang memprihatinkan adalah jika pengasuh pesantrennya abai dengan protokol kesehatan, maka bisa dipastikan para santrinya pun juga akan abai dengan protokol kesehatan.

Para ilmuwan memperkirakan bahwa pandemi ini masih akan berlangsung lama. Perkiraan siapnya vaksin paling cepat adalah Maret 2021. Itu pun nanti akan dilakukan secara bertahap dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sementara itu, angka positif Covid-19 di Indonesia masih terus naik dan belum menunjukkan tanda-tanda menuju zero case.

Yang cukup mengkhawatirkan adalah penanganan pandemi di lingkungan pesantren. Akan sangat berat, jika sebuah tempat yang menampung ratusan santri, ustadz, ustadzah, dan keluarga pengasuh pesantren yang terus berinteraksi setiap hari tidak melakukan pembatasan tamu/pengunjung serta mengabaikan protokol kesehatan seperti wajibnya penggunaan masker, jaga jarak, dan penyediaan tempat-tempat cuci tangan bersabun.

Edukasi terhadap lingkungan pesantren harus terus dilakukan tidak saja pada kalangan santri, tetapi juga pengasuh dan ustadz-ustadzah di pesantren. Harapannya, jika para pengasuh dan ustadz-ustadzah taat dengan protokol kesehatan, akan lebih mudah “memaksa” para santri untuk juga taat dengan protokol kesehatan. Kampanye dalam berbagai bentuk serta penguatan literasi juga tidak bisa diabaikan. Para santri yang sudah memiliki kesadaran akan pentingnya protokol kesehatan harus bergerak untuk membantu menyadarkan teman-teman serta lingkungan yang kesadarannya masih rendah.

Hanya dengan upaya-upaya tanpa henti seperti inilah, pesantren bisa bertahan di tengah pandemi. Jika protokol kesehatan terus diabaikan, maka dalam waktu singkat kita hanya akan mendapati berita-berita tentang munculnya kluster-kluster baru dari pesantren-pesantren; sesuatu yang sangat tidak kita harapkan untuk terjadi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan