Masa Depan Perempuan yang Selalu Termarjinalkan

1,184 kali dibaca

Pada beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh salah satu “guru agama” kepada beberapa murid perempuannya. Bahkan, mirisnya, di antara mereka sudah ada yang memiliki anak. Kasus ini bukan yang pertama, hanya pengulangan kasus dengan orang dan tempat yang berbeda.

Belum lagi viralnya potongan ceramah seorang ustazah yang menceritakan seorang istri di negara Timur Tengah yang dipukul oleh suaminya, dan sang istri tersebut memilih untuk tidak membeberkan perilaku suaminya.

Advertisements

Perlakuan perempuan tersebut diamini oleh sang ustazah dengan pandangannya yang mendukung perempuan tadi. Terlepas dari niat atau maksud dari sang ustazah, pandangannya telah menunjukkan suatu kemunduran bagi kaum perempuan. Sungguh ironi. Perempuan yang seharusnya dimuliakan selalu mendapat perlakuan tidak adil bahkan direndahkan oleh “kaum patriarki” bahkan dari golongannya sendiri.

Ketidakadilan terhadap perempuan selama ini telah melahirkan gerakan feminisme yang dilakukan oleh sebagian orang. Gerakan ini menjadi lokomotif perlawanan terhadap kekuatan dominan patriarki. Kerangka kerja yang selama ini dilakukan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan yang berbasis gender.

Tentang perjuangan feminisme oleh seorang perempuan, saya kutip perkataan Nawal el-Sa’adawi, seorang tokoh sastrawan feminis asal mesir:

Woman in most contries have not achived much, because they can’t be liberated under the patriarchal, capitalist, imperialist, and military system that determines the way we live now, and which is governed by power not justice by false democracy, not ideal freedom.”

“Perempuan di sebagian negara tidak banyak berkembang, karena mereka tidak bebas di bawah sistem patriarki, kapitalis, imperialis dan militeris yang menjadi jalan hidup kita saat ini, dan yang menata dengan kekuasaan, bukan dengan keadilan, dengan demokrasi palsu, bukan kebebasan sejati.”

Pernyataan Nawal sangat relevan terhadap kondisi sekarang, meskipun kejadian memandang rendah perempuan sudah ada semenjak masa lalu. Perlakuan yang sangat subordinatif selama ini hanya dirasakan oleh kaum perempuan. Dari perbuatan perbuatan individu yang “patriarki” sampai sebuah komunitas, seolah-olah peristiwa alamiah.

Di Jawa juga terdapat tokoh yang memperjuangkan hak-hak perempuan, R.A Kartini. Dalam suratnya kepada nyonya Van Kol, 19 Agustus 1901:

“Satu-satunya jalan bagi gadis Jawa, terutama bagi kalangan ningrat adalah perkawinan. Tetapi apa yang terjadi dengan perkawinan yang mula-mula oleh tuhan ditentukan sebagai tujuan tertinggi bagi wanita? Perkawinan yang semestinya menjadi panggilan suci telah menjadi semacam jabatan. Jabatan yang harus dikerjakan dengan syarat-syarat yang merendahkan dan mencemarkan bagi wanita-wanita kita. Atas perintah bapak atau paman atau kakaknya, seorang gadis harus siap mengikuti seorang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya, yang tidak jarang telah mempunyai istri dan anak-anak. Pendapatnya tidak ditanya, ia harus menurut saja.”

Dahulu, di Jawa, perempuan hanya dijadikan alat pemuas nafsu para laki-laki. Bahkan untuk kalangan elite, perempuan Jawa dijadikan alat tukar kekuasaan. Jangankan untuk menikmati pendidikan yang layak, bercita-cita saja merupakan hal yang tabu. Setelah mereka beranjak dewasa, perjodohan oleh kedua orang tua menantikannya. Kartini melihat kondisi ketidakadilan inilah yang memotivasi dirinya untuk memperjuangankan hak dan martabat seorang perempuan.

Dewasa ini, subordinasi terhadap perempuan masih berlangsung. Suatu kondisi yang terbentuk secara kultur seakan tercipta secara alamiah. Di dalam rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak adalah pekerjaan yang dianggap sifat alamiah seorang perempuan. Padahal semua itu hanya kultur yang terjadi di lingkungan kita. Sekarang banyak laki laki yang pandai memasak dan beberapa pekerjaan keperempuanan yang “diambil alih” oleh laki-laki.

Anehnya lagi, demarkasi pekerjaan yang antara laki laki dan perempuan banyak terjadi di berbagai lini, contoh kasus perempuan yang berprofesi polisi diistilahkan dengan polwan, jurnalis perempuan, ulama perempuan dan banyak lagi. Pertanyaanya adalah tentang motif dibalik demarkasi tersebut, jika semua itu hanyalah urusan profesionalisme belaka.

Perempuan yang sebenarnya sebagai pahlawan, karena dari sanalah orang-orang hebat di dunia ini dilahirkan, harus menanggung beban yang tidak berimbang. Dalam kasus peperangan, yang paling dirugikan juga adalah perempuan dan anak-anak. Ketika perang terjadi, perempuanlah yang mewakili pengungsi 80 persen dengan anak-anaknya.

Secara umum, sebagaimana diperjuangkan oleh para feminis, musibah gender yang menimpa perempuan terangkum sebagai berikut: Pertama, marjinalisasi atau peminggiran hak terhadap kaum perempuan baik dari segi politik, pendidikan, sosial, dan lain lain.

Kedua, subordinasi oleh kaum patriarki. Perempuan hanyalah dianggap sebagai pelengkap saja, yang oleh kalangan agamawan disebut sebagai pelengkap tulang rusuk laki laki sebelah kiri.

Ketiga, streotype atau pelabelan negatif terhadap perempuan. Salah satunya perihal penampilan dan tingkah laku, perempuan memiliki ruang lingkup yang sangat dibatasi.

Keempat, kekerasan yang marak terjadi di berbagai tempat. Mereka dianggap sebagai kaum lemah yang dapat diperlakukan sesuka hati.

Akhirnya, bagaimana masa depan perempuan yang selalu dianggap lemah, dikesampingkan dan terus dikorbankan?

Melihat dari berbagai gejala dan fenomena yang terus menerus terjadi, perempuan dan laki laki masa kini adalah korban dari struktur dan sistem yang telah lama terbentuk. Hal itu senada dengan pandangan Betty Freiden bahwa lelaki bukanlah musuh, tetapi juga korban. Musuh sesungguhnya adalah perempuan yang mempermalukan diri sendiri. Selama ini mereka terbelenggu dengan sifat keputrian mereka sendiri, kebahagiaannya termarjinalkan hanya dengan mengurus rumah dan anak. Akan tetapi kebahagiaan tidaklah sama dengan pemenuhan hidup, karena manusia terus berubah.

Di sinilah titik persoalan yang harus diselesaikan. Jadi perubahan terhadap masa depan perempuan harus dimulai dari pola pikir perempuan itu sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan