Masa Depan Islam: Keraguan Toynbee, Optimisme Fazlur Rahman

676 kali dibaca

Ketika sejarawan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam Civilization on Trial (1948) menulis ihwal jalan hidup bangsa Muslim dalam menghadapi modernisasi, nadanya penuh keraguan. “Islam, in entering into the proletarian underworld of our later day Western Civilazation, may eventually compete with India and the Far East and Russia for the price of influencing the future in ways that may pass our understanding.”

Bagi Nurcholis Madjid, penggalan itu menyisakan harapan sekaligus keraguan. Harapan kepada bangsa-bangsa Muslim untuk aktif berpartisipasi dalam usaha mengembangkan peradaban modern. Juga sebuah keraguan, akankah mereka dapat berpartisipasi dalam usaha itu.

Advertisements

Suatu modernitas ditandai dengan adanya kreativitas manusia dalam ikhtiar mendedah jalan keluar mengatasi kesulitan dalam hidupnya. Pandangan ini, dalam tilikan Toynbee, memiliki jalinan historis ke orang Barat menjelang akhir abad ke-15 Masehi kala mereka berterima kasih tidak kepada Tuhan saat berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan, namun kepada dirinya sendiri. Suatu kenyataan antroposentrisme di Barat kala itu yang lebih mengagungkan nalar ketimbang Tuhan.

Modernitas yang kemudian melahirkan anak kandung bernama materialisme berkat kreativitas manusia itu, sungguh memiliki implikasi yang tak dapat dihindari. Berawal dari temuan-temuan teknologi yang menandakan peralihan zaman dari Zaman Agraria ke Zaman Teknik (Technical Age) hingga urusan agama yang menyimpan dimensi ajaran etis, menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam.

Di satu sisi, Zaman Teknik memberikan kontribusi besar bagi peradaban manusia, berupa kemudahan yang disuguhkan di dalamnya. Sedangkan, di sisi yang lain usaha-usaha untuk menikmati produk Zaman Teknik itu kerap mengantar kita ke tubir berhala materialisme.

Hasrat hidup sejahtera pun lalu tak terpacak kuat dan menjadi etos kerja di atma kita, hingga membuat kita alpa akan batasan-batasan moral agama. Demikianlah, hakikat modernisasi, khususnya bagi negara-negara berkembang termasuk bangsa-bangsa Muslim, selalu bermakna perjuangan mencapai taraf hidup yang lebih tinggi dan makmur. Tendensi serta perjuangan manusia untuk meningkatkan taraf hidup duniawinya semacam itu, meminjam bahasanya Nurcholis Madjid, mesti diusahakan untuk bisa terarah dan terkendali. Salah satunya dengan mengupayakan adanya pemahaman terhadap gejala-gejala kompleksitas kehidupan modern.

Kesarjanaan, Etos Keilmuan, dan Kreativitas Berpikir

Realitas semacam itu menuntut adanya usaha bagi kaum Muslim untuk melepaskan kekakuannya. Kekakuan yang sering kali membuat aktivitas kontemporernya terkekang. Dalam konteks ini, upaya mengembangkan ilmu pengetahuan mesti menjadi proyek utama yang kudu dilakukan.

Melalui Muslim Society (1981), Ernest Gellner dengan jeli menilik kekuatan umat Islam dalam menghadapi modernitas sebenarnya terletak pada kualitas kesarjanaannya yang bersemangat. Memugar kembali kualitas kesarjanaan Muslim, mesti menjadi agenda adiluhung yang patut dipikirkan kembali.

Kerja-kerja intelektual Muslim terhadap ilmu pengetahuan berjejak meninggalkan warisan adiluhung yang memiliki sumbangsih besar bagi peradaban modern. Islam pernah memiliki titimangsa gemilang di masa silam berkat dedikasi sarjana Muslim yang begitu getol memikirkan ilmu pengetahuan. Sebut saja Ibn Sina (Kedokteran), al-Khawarizmi (Matematika), Jabir ibn Hayyan (Kimia), Ibn Khaldun yang sejarawan cum sosiolog, dan masih banyak lagi sarjana Muslim yang menjadi pelopor jalan terang ilmu pengetahuan modern.

Sepenggal narasi masyhur ihwal tradisi kesarjanaan Muslim di atas setidaknya perlu diiringi hasrat menggebu meneruskan jejaknya. Jejak kearifan yang tidak saja cukup bermuara di alam pikir, tapi juga mewujud menjadi sebuah tindakan nyata. Kini, umat Muslim kontemporer perlu merenung bahwa tidak ada puncak kejayaan paling memukau di abad modern ini, kecuali puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Dengannya, mereka dituntun. Disadarkan pada sebuah keinginan untuk maju bersaing dengan bangsa lain serupa Barat dalam hal ini.

Melalui ilmu pengetahuan, konstruksi paradigma berpikir umat Islam mengalami sublimasi. Memfilter tiap gagasan yang masuk. Tidak gampang tergiur bujuk rayu produk modernitas yang berakibat destruktif. Untuk mencapai tujuan mulia ini, umat Islam tidak cukup berkutat pada tradisi klasik keilmuan Islam. Tetapi dengan pikiran terbuka menerima ilmu pengetahuan modern sebagai pengayaan khazanah intelektual. Dari kekayaan intelektual inilah, secara fungsional nantinya dapat menjawab tantangan zaman.

Sebab itu, keraguan Toynbee di atas yang ditujukan kepada umat Muslim segera menemukan jawabannya ketika umat Muslim menjadikan kreativitas berpikir sebagai laku hidup. Di satu sisi, untuk menopang kreativitas berpikir itu, mereka memerlukan tradisi klasik keilmuan Islam sebagai penyangga kekukuhan iman. Sebab ilmu pengetahuan modern dan tradisi klasik keilmuan Islam mesti berjalan beriringan dan saling terintegrasi.

Di sinilah penting kiranya memformulasikan kembali pemikiran sang neo-modernis, Fazlur Rahman. Sebagai seorang neo-modernis paling serius dan produktif dewasa ini, Fazlur Rahman banyak memberikan pengaruh signifikan terhadap khazanah intelektual pemikiran Islam, khususnya ihwal kreativitas berpikir. Sebagaimana diurai di atas, kekayaan intelektual yang menghasilkan kreativitas berpikir merupakan senjata menjawab tantangan zaman. Guna menjamin keautentikan kreativitas berpikirnya, usaha memberi responsi kepada tantangan zaman itu harus terlebih dahulu menangkap isi pesan dalam Kitab Suci.

Karena, seperti yang ia tulis dalam Islamization of Knowledge: A Response menjelang kematiannya, umat Islam memiliki kriteria tertentu untuk melangkah, dan kriteria itu dengan sendirinya harus bersumber dari Al-Quran. Pertama, memeriksa kembali tradisi keislaman kita secara kritis di bawah sorotan kriteria dan prinsip itu, merupakan sebuah keharusan. Lalu secara kritis menelaah sosok ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh modernitas. Di samping itu, ia juga mengingatkan bahwa ilmu dalam Islam terwujud untuk memungkinkan kita bertindak.

Tersebab jenjang pengetahuan kreatif akan timbul hanya jika dalam diri kita dijiwai oleh sikap yang hendak ditanamkan Al-Quran. Barulah, lanjut Fazlur Rahman, kita akan mampu membuat apresiasi dan penilaian ihwal baik dan buruknya tradisi Islam dan tradisi Barat. Saat itu pulalah penilaian dan kritik bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya langkah pertama dalam menemukan pengetahuan baru, yang merupakan tujuan sejati intelektual Islam.

Tentu, ajakan Fazlur Rahman ini memerlukan kerja sama erat banyak pihak. Tidak sekadar kemampuan intelektual semata yang diperlukan, tapi juga dedikasi dan kesungguhan dalam sikap penuh harap terhadap masa depan. Akhirnya, keraguan Toynbee kepada umat Islam dalam menghadapi modernisasi perlahan akan terjawab seiring adanya realisasi agenda masa depan Islam Fazlur Rahman. Inilah yang patut dipikirkan kembali.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan