Mantra Kang Dasuki

5,254 kali dibaca

“Berangkat dulu, Dik,” Kang Dasuki pamit kepada istrinya.

“Iya, Mas. Hati-hati di jalan,” jawab istrinya dari kamar.

Advertisements

Kang Dasuki cekatan membuka pintu truk tuanya. Kunci ditancapkan, dibelokkan setengah ditekan ke arah kanan, sambil berharap mesin tua truknya mau berkompromi. Gagal. Mesin tidak mau hidup. Kang Dasuki mengulanginya sekali lagi. Tetap gagal. Beberapa kali dicobba lagi. Gagal juga. Mesin truk tuanya tidak juga hidup.

Kang Dasuki mangkel. Pintu truk dibuka dan dibanting sangat keras untuk menutupnya. Braakkk!

Seekor ayam yang mengais kerikil di dekatnya terkejut, meloncat setengah meter saking kagetnya. Berkokok tak karuan. “Kokok-petok-petok-kokok-petok.” Mata si ayam memandang tajam Kang Dasuki dengan tatapan marah. Sayapnya separo dikembangkan, mengambil ancang-ancang untuk menerkam. Tetapi, keinginan hati ayam untuk ngabruk demi melampiaskan kekesalannya diurungkan. Apa daya hukum alam, besar-kecil ukuran, naluri dan pikiran jelas menjadi gap.

Kang Dasuki menghadap ke selatan, berkomat-kamit sebentar,

Mbaaah… cucumu mau pergi cari rezeki. Sri rejeki… Sedulur kiblat wetan, kidul, kulon, lan lor pernahe. Bapa akasa, ibu pertiwi. Wus pepak sedulur papat kalimo pancer. Rewangi ingsun golek rejeki sandang, pepak rejeki pangan. Murah rejeki gawe papan lan mapan, niat ingsun krana Gusti Allah Taala. Lailahaillahhu Muhammadarasulullah.” Kang Dasuki mengucap mantra dengan khidmat.

Mesin truk dapat hidup karena kehendak Allah, tapi menurut keawaman Kang Dasuki tentu karena keampuhan mantra yang diucapkan. Mesin tua truknya hidup. Kang Dasuki tersenyum. Memainkan tuas kopling, rem, dan gas untuk menyeret roda-roda truk menyusuri jalan demi perputaran roda nasib Kang Dasuki biar tidak blong.

Kang Dasuki memang sejak muda telah berkenalan dengan truk. Sejak ia sekolah SMP dan keluar dari pesantren, gambaran-gambaran tentang kehidupan sopir truk telah menghiasi imajinya. Bulatlah tekad Dasuki muda, untuk keluar dari pesantren dan tidak meneruskan ke jenjang SMA.

Dasuki muda berandai-andai, bahwa sopir truk adalah raja jalanan. Bila ia muncul, mobil-mobil lain serasa kecil, dengan sungkannya akan minggir setelah mendengar bunyi klakson truk yang keras melengking.

Sopir truk dipenuhi cerita-cerita petualangan seru. Di daerah mana saja, para sopir truk akan tahu, di mana warung makan yang enak dan murah. Atau warung degan pemiliknya yang ayu, judes, supel, kemayu, para sopir truk tentu jelas letak lokasinya. Kesolidan di antara para sopir truk semakin membuat kagum Dasuki muda.

Jika ada truk yang berhenti di pinggir jalan, karena macet atau ngeban, maka sopir truk lain akan berhenti membantu, meski belum saling kenal. Belum lagi, cerita-cerita mistis para sopir truk ketika dalam perjalanan. Survive sekali! Ada satu hal lagi kekaguman Dasuki muda pada sopir truk, adalah tulisan-tulisan yang menempel di bak truk. Begitu artistik dan filosofis. Sarat makna, penuh arti, dan begitu eksotis.

Dasuki muda sering membaca bahkan menulis di buku kecilnya, “Dilarang mengangkut istri orang”, “Pergi dicari, Pulang dimaki”, “Ngebut adalah Ibadah, semakin ngebut semakin dekat dengan Tuhan”, “Rindumu tak seberat muatanku”, “Asap jadi saksi, aspal jadi bukti, atas perjalanan kami, demi mencari rejeki”, dan banyak lagi. Maka tak heran, di bak truk Kang Dasuki dipasang stiker gambar idolanya, Gus Baha dengan quoetsnya, “Urip rausah digawe susah. Sing penting ora maksiat. Yo wes ngono ae”, yang entah apa maksudnya. Kang Dasuki sebenarnya tidak tahu persis makna d ibaliknya.

Maka, kisah kekaguman Dasuki muda turut membawa stiker nasib Kang Dasuki untuk memantapkan diri berprofesi sebagai sopir truk. Meski dipandang hidup pas-pasan, kaum bawah yang jelas jauh dari kata mewah. Tapi, kehidupan menjadi sopir truk bagi Kang Dasuki adalah sebuah adventure, penuh petualangan dan tantangan. Kang Dasuki begitu menikmatinya.

Hari ini, Kang Dasuki mendapatkan pesanan pasir satu rit dari tetangganya. Berangkat jam empat pagi menuju sungai, Kali Lesti, menjadi tujuannya. Jam lima, Kang Dasuki telah merapat di pinggir. Dengan sigap, dua orang penambang pasir segera mengisi truk Kang Dasuki. Setelah penuh terisi, Kang Dasuki membayar kedua penambang dan menghidupkan mesin truk tuanya.

Naas, peristiwa pagi tadi terulang. Berkali-kali di-starter mesin tidak juga mengaum. Ah… buyar sudah harapan Kang Dasuki. Rencana yang ia susun, selesai dari sungai, ia ingin ngopi ditemani nasi pecel Mbok Bo yang murah dan nikmat. Barulah ia akan mengantar pasir ke tetangganya, tepat jam 10. Istirahat satu jam, Kang Dasuki dapat muatan mengantar kayu dari juragan Suryanto. Tentu dua muatan dalam sehari sudah cukup membeli kebutuhan dapur istrinya selama lima hari. Namun, rencana yang sudah disusun ternyata tinggal rencana, karena mesin truknya ngadat.

Kang Dasuki turun untuk memeriksa. Mesin, bahan bakar, busi, radiator, dicek semuanya. Normal belaka.

“Ahh… pasti tadi aku tidak amit pada dayang Kali Lesti. Pasti aku diganggunya.”

Kang Dasuki turun ke sungai, memerciki wajahnya dengan air sungai, kemudian berkomat-kamit seperti yang ia ketahui dari senior sopir-sopir truk.

Purbo waseso Gusti Jagad kang amiseso. Ibu bopo nyuwun sandang pangan saka bumi jagad, sumber segara. Marmadi kakang kawah adi ari-ari. Jin dhemit para dayang Kali Lesti. Ibu ana ngarep, bapa ono mburi, Ayo padha bareng golek rejeki.

Kang Dasuki berjalan mendekati ban depan kanan dari truknya. Kemudian mengencinginya. Begitulah ritual yang harus dilakukan, menurut yang Kang Dasuki ketahui. Syirik atau bukan, Kang Dasuki tidak ambil pusing. Yang penting semua bisa berjalan lancar. Sekali lagi atas takdir Allah yang sebenarnya, tapi Kang Dasuki memahami bahwa amit-pamit dari penunggu Kali Lesti sudah merestui untuk mengambil pasirnya, mesin truk dapat hidup kembali. Kang Dasuki tersenyum lega.

Matur suwun nggih, sing baureksa Kali Lesti. Besok aku akan kembali ke sini!” gumam Kang Dasuki dalam hati.

Rasa lapar menyerang perut Kang Dasuki. Cacing-cacing usus minta segera diisi nutrisi. Kang Dasuki kemudian meminggrikan truk menuju warung pecel Mbok Bo langganannya.

Bayam setengah hangat bercampur kacang panjang, ditaburi saus bumbu pecel dengan tekstur kasar kacang tanah yang gurih. Nasi pulen, berlumur gurih-pedas sambal pecel, dengan toping remasan rempeyek renyah di atasnya. Ahh… sarapan siang yang begitu nikmat. Lahap Kang Dasuki menyantapnya. Sruputan teh hangat mengakhiri sarapan Kang Dasuki disertai sendawa beberapa kali.

Ketika Kang Dasuki ingin beranjak, terlihat seorang pengunjung warung datang. Kang Dasuki melihat sekilas, kemudian terburu ingin menghindarinya.

“Waduh… Kang Tarji datang. Alamat ini… alamat diceramahi… pura-pura tidak lihat saja ah!”

Kang Tarji yang sedang memesan nasi pecel berhenti sebentar. Ia mengamati di sekelilingnya, tampak ada sesuatu yang ia hapal. Entah warna baju, gerak-gerik, ataupun bau tubuh seseorang yang ia sangat kenal. Nah, ketemu!

“Assalamualaikum Kang Dasuki… sudah mau pergi lagi ya?” Kang Tarji berbinar, karena feelingnya benar, bahwa ada sesuatu yang ia hapal betul. Kang Dasuki, sahabatnya dulu waktu di pesantren. Satu ghurfah. Satu nampan ketika makan. Kadang-kadang saling berutang kalau kiriman dari orang tua telat.

Kang Dasuki malas memandang sahabatnya dulu. Karena yang pasti akan terjadi sudah bisa ditebak. Kang Tarji akan menceramahinya ngalor-ngidul, menanyainya, mendakwahinya, hanya bikin telinga gatal dan membuat hati jadi mangkel.

Kang Dasuki memandang sebentar, mengangkat tangan untuk menyapa. Dan segera melangkah pergi untuk menghindari Kang Tarji. Belum beberapa langkah, Mbok Bo berteriak, “Kang… pecelnya belum dibayar!”

Kang Tarji menyahut, “Sudah mbok, biar saja aku yang bayar pecelnya Kang Dasuki.”

Kang Dasuki tidak enak hati. Ingin menghindar tapi pecel sudah terbayarkan.

“Ahh.. apa boleh buat? Untuk setengah jam ke depan, pasti telingaku akan hangat terkena dalil-dalilnya Kang Tarji.” Kang Dasuki kembali memundurkan kaki dan mendekati Kang Tarji untuk sekadar basa-basi.

Matur suwun lo, Kang, sudah dibayari..Ngomong-ngomong mau ke mana?”

Ah.. malah aku yang mendahului obrolan menjemukan ini, pikir Kang Dasuki dalam hati.

Sami-sami, Kang. Tidak usah sungkan. Malah saya yang tidak enak, kelihatannya Kang Dasuki ingin buru-buru pergi makanya terlihat menghindari saya,” Kang Tarji menyambut basa-basi Kang Dasuki diiringi dengan senyuman. Kang Dasuki yang tersindir, membalas dengan senyum yang dipaksakan.

“Aku tidak ingin ke mana-mana, Kang. Ya, istriku nitip pecel jadi aku belikan. Bagaimana kabar anak-istri Kang Dasuki? Sehat semua, kan?”

“Sehat, Kang, sehat. Semua sehat. Karena ngalor-ngulon dari orang tua saya dulu saya pegang. Jadinya, keluarga saya adem ayem dan tentrem…”

Kang Tarji tergelak, “Ha-ha… masih saja kamu ya. Tetap berpegang pada prinsip. Kiranya kamu nyantri dulu tidak mengubah pendirianmu.”

Kang Dasuki tersenyum hambar. Menyesal, kenapa ia sendiri malah memancing dengan kata ngalor-ngulon yang bisa menjadi bahan perdebatan dengan ujung-ujungnya dakwah dari Kang Tarji.

“Kita ini kan orang Jawa, Kang. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Walah.. kenapa jadi kok saya ladeni, sebentar lagi pasti akan ribet ini. Kang Tarji akan mengeluarkan jurus-jurus dakwahnya, Kang Dasuki membatin.

“Siipp… Kang! Pada dasarnya aku setuju dengan prinsipmu. Tapi, ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Kenapa? Karena biar tidak menyenggol syirik. Baik syirik samar ataupun yang jelas. Itu sama-sama dosa besar, lo Kang,” balas Kang Tarji sambil menunggu pesanan pecelnya.

Kang Dasuki terpancing, “Kalau urusan dosa-pahala, bukan manusia yang menentukan, Kang. Hanya Allah yang tahu. Kamu dengar, pagi ini sudah dua kali mesin trukkku macet. Aku ucapkan mantra ajaran dari primbon. Lancar. Semuanya lancar.”

Kang Tarji melihat Kang Dasuki dalam-dalam. Sepertinya bersiap akan meluncur kata-kata bijak nan religius, yang sudah ditebak Kang Dasuki.

“Aku lihat di bak trukmu ada stiker Gus Baha. Mungkin, jiwa santrimu masih ada. Karena, jika tidak bukan gambar beliau yang kamu pasang. Betul kan?”

Kang Dasuki ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kang Tarji sudah bersiap membayar pesanannya.

“Sudah ya Kang. Aku pergi dulu. Karena kita sama-sama nyantri dulu, aku peduli padamu. Tawakal, Kang. Bismillahi tawakkaltu ‘alallahu..laa hawla walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Itu doa Kang, dari ustaz-ustaz kita dulu, bukan mantra. Assalamualaikum,” Kang Tarji bergegas pergi meninggalkan warung.

“Waalaikumsalam…,” jawab singkat Kang Dasuki. Akhirnya, Kang Dasuki lega. Kalau saja tidak diakhiri, bisa satu jam lebih Kang Tarji akan berceramah di depan mukanya.

Kang Dasuki juga bergegas pergi karena ia harus mengantar pasir pesanan tetangganya.

Mesin tua memang sudah tidak bisa dipaksa terus bekerja. Ia kadang harus dirawat atau beristirahat sebentar. Truk tua Kang Dasuki setiap hari selalu membawa muatan berat. Sampai di tanjakan, mesin tua mulai terbatuk-batuk, terengah-engah meminta istirahat. Truk Kang Dasuki macet lagi.

Kang Dasuki misuh-misuh. Sudah tiga kali dalam sehari, truknya macet. Seperti yang sudah-sudah, Kang Dasuki merapalkan mantranya, berharap mesin truknya hidup. Masih saja gagal. Bervariasi mantra sudah ia rapalkan lengkap dengan ritual-ritualnya, tetap saja mesin truk tidak mau hidup. Kang Dasuki terduduk. Menunggu ada sepeda motor atau sesama truk lewat. Ia ingin mencari mekanik bengkel untuk memperbaiki truknya. Tidak lama, ada sepeda motor lewat. Kang Dasuki mencegat, meminta tolong untuk diantarkan ke bengkel terdekat. Sementara truknya ditinggalkan di pinggir jalan.

Selama perjalanan Kang Dasuki mencari bengkel, ada takdir lain yang ingin bercerita di dunia. Seorang siswa SMP melintas di turunan dekat truk Kang Dasuki terparkir. Siswa SMP yang rupanya masih belum mahir, tergelincir kerikil. Gasnya tertarik ke belakang. Laju cepat sepeda motornya tidak bisa dikendalikan. Dengan keras, menghantam bagian depan truk Kang Dasuki. Bruuaakkkk!! Anak itu terpental, terkapar di tanah.

Beramai-ramai orang di sekelilingnya menolong anak tersebut. Mereka sepakat, menyalahkan truk yang terparkir sembarangan di pinggir jalan, meski macet sekalipun.

Setelah kembali dengan membawa mekanik bengkel, Kang Dasuki terjekut dengan banyaknya  kerumunan orang di dekat truknya. Barulah Kang Dasuki paham, kalau truknya menyebabkan seorang anak SMP kecelakaan. Kang Dasuki harus ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan sebab kecelakaan tersebut. Kang Dasuki lemas. Entah ada apa hari ini? Ketidakberuntungan nasib dengan mesin truk yang macet dua kali. Ketidakberuntungan mendengarkan ceramah Kang Tarji. Kali ini, ketidakberuntungan truknya yang mogok di pinggir jalan ditabrak. Mengharuskan Kang Dasuki berurusan dengan polisi dan orang tua anak tersebut. Pasti ada sanksi pidana dan ganti rugi menantinya.

Di tengah pikiran yang kusut memikirkan garis takdir hari ini yang ruwet, Kang Dasuki pasrah. Mendongakkan wajahnya ke atas dan berucap Bismillahi tawakkaltu ‘alallahu beberapa kali sebagai wirid pengganti mantra-mantra yang biasa dirapalkan.

Hari berlalu. Kasus truk Kang Dasuki yang ditabrak juga berlalu. Meski butuh proses yang harus dilalui. Senja temaram menuju maghrib. Diantarkan azan syahdu bertalu. Kang Tarji yang melintas hendak ke masjid, menghentikan derap kaki di depan rumah sahabatnya Kang Dasuki. Wajahnya tampak bungah sumringah. Dilihatnya, stiker truk Kang Dasuki berganti. Gambar Gus Baha tetap, hanya kata-katanya saja yang diganti: “Mantra sopir: Fatawakkal ‘alallah.

Glosarium:

Urip rausah digawe susah. Sing penting ora maksiat. Yo wes ngono ae” (Hidup tidak usah dibuat susah. Yang penting tidak maksiat. Sudah begitu saja)

Multi-Page

Tinggalkan Balasan