Manisnya Dodol Nenek

1,507 kali dibaca

Seminggu menjelang selamatan 1000 hari meninggalnya kakek, keluargaku masih bingung untuk menentukan kue apa yang akan dihidangkan kepada para undangan, terlebih setelah nenek dan ibu berbeda pendapat. Ibu bersikukuh untuk langsung membeli katering agar keluarga kami tidak perlu repot-repot membuat kue, sedang nenek tetap ingin menghidang kue buatan sendiri, terutama dodol hitam dari adonan beras pilihan dan gula siwalan.

“Setiap ada selamatan 1000 hari, lazimnya kue dibuat sendiri, setidaknya dodolnya yang harus dimasak menggunakan tungku sendiri. Sejak dulu, meski orang kaya yang bergelimang uang sekalipun, ia tidak akan membeli dodol pasar untuk dijadikan selamatan 1000 hari, karena dodol yang dimasak sendiri punya makna tersendiri bagi almarhum atau almarhumah,” ucap nenek gemetar, bibirnya masih pucat, ia mencoba duduk meski jarum berekor selang infus masih menancap di lengannya.

Advertisements

“Itu karena dulu tidak ada pedagang kue, Bu. Saat ini ibu sedang sakit, ibu tidak usah memikirkan kue itu biar lekas sembuh. Lagi pula waktu yang harus digunakan untuk membuat kue biar kugunakan untuk merawat ibu saja,” kata ibu yang duduk di samping nenek mempertahankan pendiriannya.

“Membuat dodol sendiri itu sudah sama dengan merawatku,” nenek menoleh ke wajah ibu. Ibu terdiam, sekadar menatap tetes-tetes glukosa dari mulut botol. Tangan kananya memegang penyangga besi sambil menggerakkan jari telunjuknya perlahan, seperti tenggelam dalam pikirannya.

Nenek yang sudah tiga bulan terbaring sakit, baru empat hari yang lalu tiba-tiba bisa duduk ketika ia hendak membicarakan dodol, terutama ketika ibu mangutarakan rencananya untuk membeli kue katering. Nenek biasanya menolak keras keinginan ibu dan bersikeras dengan pendapatnya supaya membuat dodol sendiri di tungku sendiri demi membuat almarhum kakek

tersenyum. Bagiku, apa yang diutarakan nenek masuk akal, sebab dari sejak dulu, nenek memang terbiasa melaksanakan tradisi para tetua. Selain itu, di masa mudanya ia dikenal sebagai tukang masak dodol yang sering diundang banyak orang ketika akan mengadakan hajatan atau selamatan. Kabarnya, dodol hasil olah tangan nenek terkenal enak, awet, wangi, dan kenyal. Itu semua karena nenek mengolah dodol tidak sekadar mengolah seperti para perempuan pada umumnya, ia mengolah dengan perasaan dan dengan sebuah mantra.

Pendapat ibu juga masuk akal. Ibu ingin membeli kue selamatan kepada pengusaha katering karena ia terlalu sibuk, waktunya lebih banyak digunakan untuk merawat nenek. Dan mungkin ibu juga karena sudah terbiasa membeli makanana instan yang tak perlu membuat dirinya harus bersentuhan dengan alat-alat dapur.

Pikiran ibu berbeda dengan pikiran nenek yang sekaligus berimbas pada kebiasaan mereka berdua yang juga berbeda terutama dalam urusan pengadaan kue dan makanan lainnya. Nenek biasanya lebih memilih memasak sendiri meski agak repot karena dengan begitu, rasa makanan bisa disesuaikan selera dan biaya lebih murah. Sedang ibu sebaliknya, ia lebih memilih lebih baik berbiaya mahal yang penting tidak repot. Aku kadang berpikir, mungkin perbedaan pikiran mereka karena keduanya lahir di zaman yang berbeda. Tetapi keduanya sama-sama punya alasan yang masuk akal.

“Almarhum ayahmu suka pada dodol yang agak legit dengan tekstur yang kenyal. Jika membeli katering, tidak mungkin menemukan dodol jenis itu. Dan 1000 hari adalah selamatan ayahmu yang terakhir kali, jadi segala sesuatunya harus yang sesuai selera ayahmu,” kata nenek dengan mata berkedip pelan, mengungkapkan sebuah isyarat pengharapan. Ibu tak menjawab apa-apa, hanya menarik napas dalam-dalam dan melepasnya dengan satu kali embusan kasar.

***

Sebagai orang yang dimintai pendapat, untuk memilih dua kemauan yang berbeda antara kemauan ibu dan nenek, akhirnya aku mengambil jalan tengah. Sebagian kue menggunakan katering dan sebagian yang lain—termasuk dodol—membuat sendiri. Keputusanku membuat nenek dan ibu sama-sama bahagia dan tidak ada yang merasa dikesampingkan.

Ibu mulai memesan kue yang ia tulis di balik selembar kertas undangan lusuh. Jari-jemarinya mengeser-geser layar ponsel tuanya yang sebagian warnanya mulai memudar. Sepasang matanya begitu cerlang menatap gambar kue yang diunggah pebisnis katering online. Memilih jenis. Memililh harga. Memilih lokasi. Memilih jasa pengiriman, hingga memilih yang berdiskon tinggi. Sambil ia masukkan kue yang disukai ke dalam gambar keranjang dan tak lupa mengecek saldo, khawatir harga belanjaannya jauh di atas saldo rekeningnya. Setelah telunjuknya menyentuh menu “Bayar” dan ada notifikasi proses berhasil, ibu tersenyum puas, serasa baru memesan pahala buat si kakek.

Sementara nenek minta dipindah ke dapur. Meski masih dalam keadaan sakit, ia begitu semangat mengecek bahan-bahan dodol yang akan ia buat besok lusa. Beruntung selang infus sudah ditanggalkan, sehingga tangannya lebih leluasa meraba tepung di dalam bak karet, mengamati kepingan gula siwalan dalam ember, dan menimang buah kelapa yang akan dijadikan santan.

Sebagaimana ibu, ketika nenek melihat bahan-bahan dodol sudah siap, ia juga tersenyum bahagia. Ia memintaku untuk mendatangkan Nyi Peya si pembuat tungku yang terkenal kemahiran dan kesaktian mantranya di kecamatan kami. Tungku buatan Nyi Peya bukan tungku sembarangan. Olahan tanah tungku itu biasa Nyi Peya taburi serbuk abu kuning rahasia yang selalu ia simpan dalm bungkus plastik dan diselipkan di dalam kutangnya. Sebelum tangannya memulai, Nyi Peya duduk bersila sambil menghadap kiblat, membaca mantra, dan menghentakkan kakinya tiga kali ke datar tanah yang akan ditempati tungku. Dan sesudah tungkus selesai, kembali melakukan semacam ritual: semangkuk air diisi dengan benda-benda yang bisa menghasilkan semua rasa yang biasa dicecap oleh lidah, di antaranya, garam, gula, cabai, cuka, bawang, belinjo, belimbing, dan beberapa benda lain yang dicampur jadi satu, kemudian air itu disiramkan ke bagian atas tungku.

Untuk menyalakan api pertama kali di tungku itu, Nyi Peya menggunakan kertas bertulis lam alif yang dibakar. Katanya, upaya tersebut untuk menolak bala dan pengaruh jahat makhluk halus. Bagi nenek, tungku buatan Nyi Peya sangat cocok untuk digunakan memasak dodol demi rasa lezat yang tak tertandingi.

Setelah tungku buatan Nyi Peya siap digunakan, tiba-tiba saja nenek turun dari lincak bambu yang semula ia tempati. Ia berjalan tertatih ke arah tungku sambil sesekali mengikat rambutnya jadi sanggul tunggal di belakang kepala.

Aku dan ibu terkejut melihat nenek yang seketika bisa berjalan seperti ada tanda-tanda ia sudah sembuh. Kami sangat bahagia. Nenek pun menakar senyum di bibir tuanya yang mulai sedikit memerah. Ia memintaku segera mengumpulkan kayu kabar, dan di antara kayu itu ia minta aku mengambil sepotong ranting rukam yang ujungnya mengarah ke utara.

Ranting jenis itu biasa nenek gunakan untuk menyalakan api pertama setiap kali ia memasak dodol. Menurut nenek—sebagaimana yang ia saring dari pendapat tetua Madura—ranting rukam yang ujungnya mengarah ke utara itu adalah simbol kematian, yang apabila dijadikan kayu bakar pertama, katanya bisa menghubungkan takaran rasa dodol yang diolah itu sesuai selera orang meninggal yang selamatan 1000 harinya hendak dilaksanakan.

Tiga hari sebelum pelaksanaan 1000 hari meninggalnya kakek, saat sebagian kerabat dan tetangga mulai berdatangan ke rumah untuk membantu menyiapkan segala keperluan, nenek duduk sempurna di depan tungku. Kuali besar terhidang menganga di depannya dengan adonan bahan dodol yang sudah siap dimasak. Nenek menyalakan korek api tepat di ujung ranting rukam yang dipegang dari tangan kirinya. Bibirnya membaca sesuatu.

Ketika ranting rukam itu disorongkan ke dalam mulut tungku dengan lalap api yang meliut liar, wajah nenek terlihat semakin bahagia. Wajahnya kian cerah dan lebih banyak tersenyum. Selain menyorong dan memasukkan kayu satu demi demi satu, sepasang tangan nenek yang semula kupikir tidak bertenanga, ternyata mampu mengaduk-aduk dodol itu dengan baik. Senyumnya semakin menawan, didukung tatap mata yang sangat bening dan lembut, mungkin karena nenek merasa hendak mempersembahkan dodol terbaiknya kepada almarhum kakek.

“Setelah matang, coba kau cicipi. Pasti ketagihan,” kata nenek sambil menoleh ke wajahku. Aku yang duduk beralas sabut kelapa di sampingnya hanya tersenyum dan mengangguk.

***

Dodol olahan nenek sudah terhidang di empat baki yang ditaruh bersisian dengan kue-kue katering pesanan ibu. Warnanya coklat tua dengan taburan wijen di permukaannya. Sejak masih di tungku, nenek sudah mencicipi dodol olahannya itu berkali-kali dan memberi isyarat jari jempolnya kepadaku.

Iseng kutanya, total biaya untuk membuat dodol itu seluruhnya cuma seratus lima puluh ribu rupiah, dan iseng kupinta ibu untuk mengecek harga dodol online di ponselnya. Ternyata jika membeli secara online dengan harga yang sama, mungkin hanya mendapat seukuran dua baki. Dan itulah keunggulan kue buatan sendiri daripada membelinya secara online.

Dari hal itu sekaligus aku bisa menyimpulkan dua karakter orang masa kini dan orang terdulu. Nenek sebagai orang terdulu, lebih suka membuat kue sendiri meski agak ribet demi hasil yang bagus dan harga yang terjangkau. Sedang ibu sebagai orang masa kini, lebih memilih mahal dan hasil yang apa adanya asal cepat dan tidak ribet.

Akhirnya nenek sembuh total karena kegemarannya memasak dodol dituruti. Saat ia menjulur suapan dodol itu, aku menerimanya langsung dengan mulut terbuka, laiknya seorang bayi. Kukunyah dan kutelan seraya menampakkan wajah yang semringah. Nenek terus menyanjung olahannya itu sebagai dodol yang enak tiada banding. Aku pun mengangguk sambil mengangkat jempol, meski sebenarnya dodol olahan nenek di lidahku terasa sepat dan tak menimbulkan rasa enak sedikit pun. Aku memuji dodol itu sebenarnya agar nenek tidak tersinggung dan tidak sakit lagi. Karena kesembuhan nenek sudah cukup jadi dodol pemanis cerita keluarga kami.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan