Mak, Aku Ingin Berkurban

1,405 kali dibaca

“Assalamualaikum…” Pandu masuk dan segera menyalami emaknya yang sedang menggendong adiknya sambil mengaduk sayur di atas kompor.

“Waalaikum salam. Abang sudah pulang nih, Dek,” sambut Emak sambil meraih tangan Pandu dan mencium pipinya.

Advertisements

“Mak, tadi pak guru bercerita kisah nabi Ibrahim dan Ismail. Juga keutamaan berkurban.”

“Pasti ceritanya seru.”

“Iya Mak, banyak yang melongo waktu mendengar Nabi Ismail rela berkurban karena perintah Allah. Tetapi ternyata diganti dengan binatang, Mak”.

“Benar, Nak. Kita harus mencontoh keikhlasannya. Inshallah nanti akan mendapat ganti yang lebih baik.

“Iya, Mak. Mak, habis makan boleh Pandu main ke rumah Ramadhan? Katanya ayahnya sudah beli kambing bandot. Pandu mau melihatnya. Kawan-kawan yang lain juga diajak ke sana Mak.”

“Boleh, sekarang Pandu ganti baju, cuci tangan, makan dan sholat dulu. Nanti baru pergi main. Tapi jangan lama-lama ya. Dan harus rukun sama teman-teman.

“Iya, Mak.” Pandu bergegas untuk mengganti pakaian. Sementara ibunya mengambil nasi sambil sesekali mengaduk sayur yang sedang dimasaknya.

Tidak lama kemudian Pandu datang kembali. Mereka bertiga pun menikmati masakan emaknya.

“Sayurnya enak, Mak.”

“Iya, kan Emak kasih bumbu.”

“Tapi kalau kita makan daging, lebih enak ya Mak.”

“Ya, nanti kalau sudah ada uang, kita beli daging. Sekarang habiskan sayur bayamnya ya.”

Mereka pun melanjutkan makan hanya dengan sayur saja, tanpa ada tambahan lauk. Pandu cukup mengerti, pasti uang emaknya habis sehingga tidak bisa membeli tempe atau tahu. Seandainya bapaknya seperti ayah anak-anak lain yang rajin bekerja, pasti hidup mereka akan lebih senang.

Namun Pandu menerima saja apa yang ada. Dia pernah bertanya pada bapaknya, tetapi jawabnya mencari pekerjaan tidak mudah. Untuk usaha, tidak punya modal. Akhirnya hanya mengandalkan upah emaknya yang buruh mencuci untuk hidup.

Sesekali jika emaknya sedang bekerja, Pandu akan membantu dengan menjaga adiknya. Kadang juga ada tetangga yang menyuruhnya untuk belanja ke warung dan memberinya upah.

“Mak, uang di celengan udah tambah lagi. Kemarin bu Karmin nyuruh Pandu beli minyak. Harganya dua puluh tiga ribu. Uangnya tiga puluh ribu. Kata bu Karmin, sisanya buat Pandu dan adik jajan. Tapi Pandu masukin ke celengan.”

“Ya, bagus. Nanti kalau sudah penuh, dibuka. Pandu bisa beli barang yang diperlukan. Tas atau sepatu untuk sekolah.”

Baru selesai makan, suara temannya, Ramadhan, terdengar dari luar.

“Pandu mau ke rumah Ramadhan, Mak. Itu dia sudah jemput.”

“Sudah salat?”

“Sudah Mak, tadi setelah ganti baju,” jawabnya sambil mencium tangan emak.

Tidak lama kemudian, Pandu sudah naik ke boncengan sepeda milik Ramadhan dan menuju ke rumahnya.

***

Sebelum Asyar, Pandu sudah kembali dengan diantar Ramadhan naik sepeda. Meski kehidupan mereka sangat berbeda, keduanya adalah sahabat dari sejak masuk SD sampai sekarang kelas 4. Bahkan selalu duduk satu bangku.

Ayah Ramadhan seorang juragan beras yang sangat terkenal di kampungnya. Kebaikan hati orang tuanya, menurun ke Ramadhan. Dia selalu baik kepada Pandu. Tidak hanya sekali ini, dia datang untuk menjemput Pandu main ke rumahnya. Ibunya pun sangat pemurah. Beberapa hari lalu datang ke rumah Pandu sambil membawa lima kilo beras. Alhamdulillah, Emak bisa berhemat. Uang yang seharusnya untuk membeli beras bisa digunakan membeli keperluan lain.

***

“Mak, kambing Ramadhan besar banget. Gemuk. Katanya untuk kurban. Senang ya Mak, jadi Ramadhan. Bisa berkurban. Aku juga pengen Mak.”

“Sabar ya, mungkin tahun ini belum bisa. Inshaallah tahun depan mudah-mudahan kita bisa mengumpulkan uang untuk kurban ya, Nak.”

“Tapi Mak, aku ingin kurban sekarang Mak. Kita bisa menggunakan uang di celenganku. Aku juga akan kerja Mak. Kata Ramadhan belum ada orang yang mencarikan rumput untuk kambingnya. Aku mau kerja cari rumput Mak. Ramadhan akan bilang ayahnya, agar membayar rumput yang aku bawa. Uangnya bisa buat tambah beli kambing Mak.

“Nak, harga kambing itu mahal. Uang celengan sama hasil kerja kita belum akan cukup. Sabar ya. Allah juga tidak memaksa hamba-Nya yang belum mampu. Niat untuk berkurban saja sudah menjadi amal baik yang dapat pahala. Pandu harus rajin berdoa. Agar tahun depan bisa membeli kambing untuk kurban.”

Raut muka Pandu tiba-tiba berubah menjadi sedih. Keinginannya untuk berkurban tahun ini sepertinya akan gagal. Andai bapaknya rajin bekerja seperti ayah Ramadhan pasti mempunyai banyak uang.

Meski sudah menjadi juragan, kata Ramadhan, ayahnya selalu bangun sebelum subuh, kemudian selepas sholat segera bekerja. Itu yang membuat usahanya terus maju dan semakin berkembang. Sedangkan dia bernasib berbeda. Bapaknya lebih sering bangun saat dia sudah berangkat sekolah karena setelah shalat subuh, akan kembali tidur.

Selepas pulang sekolah, Pandu sangat senang. Dia langsung menemui emaknya, yang selalu berada di dapur pada jam tersebut.

“Assalamualaikum Mak. Mak, ayah Ramadhan setuju, aku kerja cari rumput. Setiap hari aku akan dapat upah sepuluh ribu. Kan hari raya kurban masih satu bulan, aku akan dapat uang tiga ratus ribu. Cukup belum untuk tambah beli kambing Mak?”

Emaknya tidak menjawab. Hanya menghela napas panjang. Dia sendiri tidak tahu. Berapa uang yang ada di celengan anaknya. Namun dengan tambahan tiga ratus ribu sepertinya belum bisa untuk membeli seekor kambing yang harganya diatas dua juta.

***

Sejak hari itu, setelah pulang sekolah, berganti pakaian dan makan, Pandu langsung ke rumah Ramadhan untuk mengambil karung tempat rumput. Kemudian bersama dengan temannya menuju ladang untuk mencari rumput pakan kambing keluarga Ramadhan.

Ramadhan selalu menemani dengan izin ayahnya. Kedua orang tua Ramadhan sangat kagum pada niat Pandu yang ingin mengumpulkan uang untuk berkurban. Anak sekecil itu, yang hidup dalam keterbatasan tetapi punya niat agar bisa menjalankan perintah agama.

***

“Assalamualaikum Mak, ini aku sudah terima uang dari ayahnya Ramadhan. Jumlahnya tiga ratus ribu,” kata Pandu setelah genap satu bulan bekerja.

Emak memaksakan diri untuk tersenyum meski hatinya kecut. Anaknya akan kecewa karena kerja kerasnya belum cukup untuk memenuhi niatnya berkurban. “Alhamdulillah, Nak.”

“Emak simpan ya. Nanti lepas mandi kita buka celengan dan hitung isinya. Semoga dengan tambah uang ini cukup untuk beli kambing. Kata pak guru, waktu kurban tiga hari. Jadi masih bisa beli kambing dan antar ke yang urus di masjid.”

“Iya, Nak.” Hati emak semakin kecil, tidak tega membayangkan sedihnya Pandu jika ternyata uangnya tidak cukup dan niatnya berkurban bakal batal.

***

“Mak……”

Emak yang sedang menyuapi adiknya terkejut.

“Mak, kok celengan Pandu jadi ringan. Jangan-jangan uangnya hilang, Mak.” Pandu nampak sedih, berjalan ke arah emaknya. Pikiran emaknya semakin tidak karuan. Dia bisa menebak, apa yang sudah terjadi.

Bocah kelas 4 SD itu kemudian membongkar celengan yang terbuat dari kaleng bekas biskuit. Tampak matanya sangat kaget.

“Emak……” tangisnya pecah. “Kenapa uangnya tinggal segini. Ke mana isinya. Bagaimana aku membeli kambing?”

Emak hanya memeluk sambil berucap, “Sabar, Nak. Mungkin saat ini belum saatnya kamu berkurban. Insyallah tahun depan Allah beri kemudahan.”

“Tapi ke mana duitnya Mak? Hilang ke mana? Siapa yang mencurinya?”

Ibu dua anak itu hanya menggeleng. Dia tahu. Ini pasti perbuatan suaminya. Jika tidak mempunyai uang untuk beli rokok, maka celengan anaknya yang menjadi sasaran. Tidak mungkin dia bicara pada Pandu. Pasti rasa kecewanya akan semakin besar.

Keesokan harinya, setelah salat Idul Adha, Pandu langsung bergegas pulang. Dia tidak jadi menemani Ramadhan menuntun kambingnya untuk diantar ke masjid, diserahkan pada panitia kurban. Hatinya masih sangat sedih. Semakin tidak mungkin dia dapat berkurban.

Ibunya pun tidak kalah sedih. Dari mana dia akan mendapatkan uang untuk membeli kambing? Sedangkan keperluan dapur pun sudah semakin menipis.

Tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu depan. Rupanya Ramadhan, ibu dan ayahnya datang setelah mengetahui Pandu tidak jadi ikut mengantarkan kambing mereka ke masjid.

Setelah didesak oleh ayah dan ibu Ramadhan dengan pertanyaan, kenapa Pandu bersedih, ibunya bercerita. Pandu hanya diam, sambil sesekali menyeka air matanya. Tampak ayah dan ibu Ramadhan saling berpandangan.

“Tenang Pandu. Insyaallah kamu akan bisa berkurban besok. Sekarang, cuci muka dan ikut kami. Bapak akan mengajakmu ke tempat penjualan kambing. Bapak akan memberi hadiah seekor kambing karena kamu sudah membantu kami mencari rumput selama satu bulan ini.

“Tapi pak, uangnya nggak cukup.”

“Pandu, uang yang kemarin kami berikan, simpan saja untuk ibumu. Kita beli kambing dengan uang ayahnya Ramadhan, untuk kamu. Kami memberimu hadiah, jadi kamu bisa berkurban.” Kali ini ibu Ramadhan yang berbicara.

Betapa gembira hati Pandu. Niatnya untuk bisa berkurban akan terlaksana. Tidak lama kemudian mereka pergi ke pasar hewan untuk membeli kambing.

Setelah kembali, Pandu sendiri yang menuntun dan menyerahkannya ke panitia. Ibu dan adiknya, mengikuti di belakang dengan senyum gembira.

ilustrasi: bukalapak.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan