Macapat Maduratna, Manuskrip Religi dari Sumenep

1,858 kali dibaca

Sebaran manuskrip di kawasan Madura, terutama di Sumenep, dari tahun ke tahun terus mengalami pengurangan. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian, baik dari masyarakat maupun oleh pemilik manuskrip itu sendiri. Padahal, di dalamnya terdapat khazanah keilmuan yang luar biasa berharga untuk bidang kajian keilmuan, mulai dari ilmu tauhid, nahu, fikih, tasawuf , tafsir, hingga sastra.

Manuskrip yang penulis temukan ini adalah karya sastra dengan judul Macapat Maduratna. Merunut sejarah macapat, di Sumenep pada periode 1998-2001 diadakan kompolan macapat  hampir setiap malam di berbagai desa, seperti Desa Poreh, Sendir Medelan, dan Daramista. Namun, mulai setelah tahun 2001 sampai sekarang, kompolan ini mengalami kemerosotan. Hampir-hampir kompolan ini sudah tidak eksis lagi.

Advertisements

Kitab Macapat Maduratna dimiliki oleh Asmuni, tokoh masyarakat Desa Lenteng Timur, Kabupaten Sumenep. Sehari-hari, Asmuni dikenal sebagai salah satu tokoh kajih di desanya, yang bekerja sebagai petani sekaligus pedagang. Selain itu, Asmuni aktif di berbagai pengajian, baik kompolan bulanan ataupun mingguan.

Siapa penyalin atau juru tulis dalam naskah Macapat Maduratna ini tidak diketahui. Sebab, tidak ada nama yang tertera sebagai juru tulis atau penyalin pada naskah ini. Namun, di bagian awal naskah tertulis nama yang menyepuhi, eseppoe atau ekatoae dari Macapat  Maduratna ini, yaitu Khatib. Khatib merupakan seorang tokoh di Kecamatan Lenteng. Ada sebagian informasi yang menyatakan bahwa penyalin naskah tembang Macapat Maduratna ditulis ulang oleh Khatib  sekitar tahun 2010.

Sejarah Kepemilikan

Berdasarkan penelusuran, pemilik dari naskah ini adalah Syaiful Bahri yang juga bermukim di daerah Lenteng, Sumenep, Madura. Mengenai sejarah atau asal usul dari naskah Macapat Maduratna ini, penulis meminjam kepada Syaiful Bahri.

Diceritakan, naskah ini ditulis di Lenteng. Beberapa tahun yang lalu, di sekitar tempat peminjaman naskah yang penulis dapati, memang ada salah satu tokoh yang bernama Ustaz Saulla. Ustaz Saulla pernah mengikuti pembacaan macapat. Bahkan Ustaz Saulla, menurut Ustaz Wasil, merupakan salah satu pembaca tembang macapat. Kebetulan, kediaman beliau Ustaz Saulla dengan rumah Syaiful Bahri yang menjadi wasilah untuk mendapatkan naskah Macapat Maduratna tersebut.

Topik Manuskrip

Topik bahasan dalam naskah Macapat Maduratna ini beragam. Kita awali dengan kutipan naskah dengan terjemahan:

“Para hadirin dan para saudara yang sama dimuliakan dan para pendegar yang penulis muliakan, sebelumnya penulis ingin mengaturkan salam.”

Setelah ungkapan tersebut, maka di bawahnya tertulis salam, yang diteruskan dengan topik tulisan yang selanjutnya sampai ke bawah, dengan bentuk tulisan Arab:

“Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Bismillah alhamdulillah, dengan menyebut nama Allah segala puji bagi Allah, penulis merasa berkewajiban memanjatkan puja-puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, yang di mana penulis dengan kalian semua diberikan pahala (karunia), sembuh (sehat), dan selamat, hingga di saat malam ini bisa bertemu di tempat ini dalam keadaan sempurna.”

“Hadirin yang penulis muliakan sebelum pembacaan Macapat Maduratna yang disepuhi oleh saudara Khatib, fa’tin sebelum dimulai, lebih sebelumnya terima kasih kepada kepala desa, yang telah sudi memberikan izin untuk menghibur dalam pesta perkawinan di saat malam ini.”

“Dan tak lupa pula terima kasih kepada tuan rumah sekeluarga, yang sudah mau (rela) mengundang kumpulan Macapat Maduratna ini, dan juga yang sudah menyediakan tempat yang sangat sempurna ini.”

Beberapa bacaan tersebut merupakah hasil kajian penulis di bagian awal naskah Macapat Maduratna, yang diterjemah kedalam Bahasa Indonesia.

Kutipan halaman akhir dari naskah Macapat Maduratna ini, yang penulis ambil di halaman terakhir. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti berikut:

“Tammat, ….  Sabtu tanggal dua/2, bulan Surah (Sorah), tanggal sembilan belas/19, bulan Juli. Jam setengah empat/03.30 (waktu malam atau sore, penulis tidak tahu), sepuluh tahun.

“Lenteng Timur, Kampung Samondung, Kabupaten Sumenep, Madura.

A s m u n i (nama orang, penulis).”

Beberapa bacaan tersebut, merupakah hasil di antara teks bacaan yang dapat penulis kaji di bagian akhir naskah Macapat Maduratna ini, yang penulis terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Kondisi Manuskrip

Dalam kajian filologi, jenis kertas dalam kitab manuskrip terdiri dari beberapa jenis kertas, seperti kertas eropa dan kertas daluwang. Ada juga naskah yang ditulis pada bambu, daun lontar, kemudian lontarak bugis. Ada juga yang ditulis di kayu. Begitu juga ada yang ditulis di sebuah tulang dan tanduk hewan. Namun dalam naskah Macapat Maduratna ini, jenis kertasnya berupa lontarak bugis.

Iluminasi merupakan gambar di awal naskah, yang biasanya dalam bentuk ukiran kaligrafi sebagai suatu ilustrasi seni dalam naskah tersebut. Setelah penulis lihat, dalam naskah Macapat Maduratna ini, di dalamnya tidak ada iluminasinya di awal naskah.

Setelah penulis teliti dalam naskah Macapat Maduratna ini, kondisi naskahnya masih dalam kedaan utuh. Naskah ini masih ada dan masih dapat dibaca. Tidak sedikit pun dari lembarannya yang kurang.

Lembar naskah maksudnya ada berapa halaman dalam naskah itu, dan kuras maksudnya kertas yang telah dicetak dan sudah dilipat sedikitnya dua kali. Ini merupakan bagian dari buku, biasanya terdapat huruf atau angka pada bagian bawah halaman pertama, sebagai pedoman dari penjilidan, dan juga ada berapa lembarkah setiap perkurasnya.

Setelah penulis amati dalam naskah Macapat Maduratna ini, lembar naskah terdiri dari 93 halaman. Dalam naskah ini sebenarnya tidak ada halaman khusus yang tertulis di dalamnya. Jumlah itu hanya menurut hitungan saja dalam setiap lembar yang terisi teks tulisan Macapat Maduratna ini.

Dan kurasnya terdiri dari tiga kuras, setiap kuras dalam naskah ini ada yang tidak sama jumlahnya: Misalnya, kuras pertama terdiri dari 20 lembar, kuras kedua terdiri dari 20 lembar, kuras ketiga terdiri dari 5 lembar.

Ukuran naskah merupakan ukuran kertas naskah, diukur dari panjang dan lebarnya; ke samping adalah lebar naskah, ke bawah adalah panjang naskah. Setelah penulis ukur, kertas naskah Macapat Maduratna ini lebarnya 17 cm dan panjangnya 22 cm. Dengan ukuran kertas seperti itu, ukuran teks tulisan yang ke samping 12-1 per 3 senti (C), dan jumlah teks tulisan ke bawah sebanyak 11 baris.

Sesuai dengan pengamatan, naskah Macapat Maduratna ini tidak menggunakan kata alihan. Kata alihan merupakan sesuatu menghubungkan suatu topik ke topik yang selanjutnya, yang biasanya didapat ketika pindahnya suatu halaman ke halaman berikutnya yang ditandai dengan kalimat atau huruf dibagian bawah halaman. Di sini tidak ada.

Biasanya, dalam naskah manuskrip kuno, rubrikasi merupakan tanda tulisan warna merah, yang biasanya digunakan sebagai tanda jeda dari bacaan itu, baik bentuk titik maupun koma. Setelah penulis kaji di beberapa halaman isi naskah Macapat Maduratna ini, tanda rubrikasi yang tertera di dalamnya ternyata ada. Tandanya pun juga ditandai dengan warna merah, yang mungkin juga digunakan sebagai tanda jeda dalam pembacaan macapat tersebut.

Isi Manuskrip

Aksara bahasa merupakan jenis tulisan dalam naskah. Seperti apa yang telah kita ketahui, tulisan Bahasa Arab yang ditulis ke Bahasa Indonesia atau Melayu disebut tulisan Jawi. Kalau tulisan Bahasa Arab yang ditulis ke Bahasa Jawa atau Bahasa Madura disebut tulisan Pegon. Dalam naskah Macapat Maduratna ini, karena bahasanya menggunakan Bahasa Arab yang ditulis kebahasa Madura, maka jenis aksara bahasa dalam naskah ini berbentuk tulisan Pegon.

Bentuk teks merupakan bentuk dari isi naskah, apakah dalam bentuk prosa, puisi, syair, atau tembang macapat. Karena isi naskah dalam kajian ini berbetuk Macapat Maduratna, maka bentuk teks dalam naskah ini adalah tembang macapat atau juga bisa dikatakan macapat sebagai bentuk ungkapan puisi.

Pada bagian ini merupakan bagian pokok dari topik naskah; apakah isi naskah itu tentang fikih, tafsir, mushaf, akidah, atau sejarah. Kita ketahui sebelumnya bahwa kajian naskah dalam hal ini tentang naskah Macapat Maduratna. Menurut penjelasan dari beberapa ahli, macapat merupakan tembang klasik asli Jawa, dan pertama kali muncul pada awal zaman Wali Songo. Saat itu, para wali mencoba berdakwah dan mengenalkan Islam melalui budaya, di antaranya adalah tembang-tembang macapatan ini.

Sebuah isi macapat juga terangkai adanya jenis rangkaian tembang, di mana rangkaian tembang tersebut telah tersusun sebagaimana mestinya naskah macapat yang ada. Di dalamnya terdiri dari beberapa sub rangkaian tembang sebagai berikut:

Mijil: merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia (mijil /mbrojol atau mencolot dan keluarlah jabang bayi bernama manusia).

Kinanthi: masa pembentukan jati diri dan meniti jalan menuju cita-cita.

Sinom: lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.

Asmarandana: menggambarkan masa-masa dirundung asmara.

Dhandhanggula: gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah tercapai, cukup sandang papan dan pangan, serta tentunya terbebas dari utang piutang.

Gambuh: awal kata gambuh adalah jumbuh/bersatu, yang artinya komitmen, untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga.

Maskumambang: buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa, dan bangsa.

Durma: sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Allah, maka kita harus sering berderma;  durma berasal dari kata darma yang berarti sedekah, berbagi kepada sesama.

Pangkur: pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang menggerogoti jiwa kita.

Megatruh: megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya ruh/nyawa menuju keabadian.

Pocung: maksudnya pocong yang dibungkus kain mori putih manakala yang tertinggal hanyalah jasad belaka.

Tiap-tiap tembang macapat mempunyai tema dan watak. Dalam penggunaannya harus selaras dan serasi dengan isinya. Berdasarkan penjelasan isi macapat di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa isi macapat itu merupakan sejarah hidup manusia dari awal kehidupannya hingga akhir hayatnya. Sehingga, dengan ini kita dapat menentukan suatu pernyataan, bahwa isi dalam naskah Macapat Maduratna ini juga tentu berbentuk sejarah.

Multi-Page

2 Replies to “Macapat Maduratna, Manuskrip Religi dari Sumenep”

Tinggalkan Balasan