Lelaki yang Berguru kepada Air

1,532 kali dibaca

Ketika ibunya pamit untuk mencari kayu bakar, Raka tinggal bersama kesunyian. Rumahnya yang jauh dari pemukiman warga semakin membuatnya yakin bahwa kesunyian adalah tetangga terbaik yang bisa mengasuhnya jadi pribadi tangguh untuk terus tumbuh dan hidup di lereng hutan. Tegun benda-benda baginya adalah puting susu yang senantiasa diisap batinnya untuk sebuah kesejukan.

Mainan satu-satunya yang ia punya hanyalah lintingan daun pisang yang digantung ke bentang salah satu usuk menggunakan serat daun pandan. Lintingan daun itu akan bergerak-gerak seperti menari-nari saat diterpa angin yang berembus dari arah hutan. Melihat itu, Raka tersenyum dan merasa terhibur meski kadang ia juga menangis. Butiran air bening akan pecah dari kedua matanya saat ia ingat bagaimana angin itu menggasak rimbun daun siwalan yang sedang dipanjat ayahnya hingga ayahnya jatuh ke datar tanah keras yang sedang dijamah kemarau tujuh tahun silam saat dirinya masih berusia dua tahun.

Advertisements

Ada kalanya Raka mengambil lintingan daun itu dan menjatuhkannya ke bawah hingga terdengar bunyi empasan ke tanah. Ia kemudian menyimpulkan; begitulah ayahnya jatuh dari pohon siwalan dengan segala rasa sakit tak terperi hingga akhirnya meninggal.

“Hingga akhirnya kau di sana, Yah. Dalam gundukan tanah yang masih harum oleh taburan kelopak bunga. Padahal aku ingin kau mengajariku mengolah sawah dengan mata bajak, mengerat mayang guna menyadap lahang, membaca cuaca dari rasi bintang dini hari, mengetuk tanah dengan telapak tangan untuk menentukan lokasi terbaik menanam ketela. Kata ibu, kau pandai semua itu. Tapi sayang, kau ditakdirkan untuk tak bersamaku lagi,” rintih Raka serak dan memungut kembali lintingan daun yang jatuh berpupur debu.

Untuk meredam tangis dan demi menghibur luka batinnya, biasanya Raka akan mencari benda-benda yang ada di dalam dan di sekitar rumahnya. Ia akan bicara atau sekadar saling bertatap dengan benda itu. Cara itu baginya merupakan cara terbaik untuk bercakap dalam keadaan tak ada siapa pun yang bisa diajak bicara. Benda yang biasanya ia tatap dan ia ajak bicara antara lain tungku, asbak bambu, meja, cagak, gerabah, bunga-bunga yang tumbuh di halaman rumahnya, pohon, dan seekor cecak yang kerap muncul di celah pintu. Benda-benda tersebut jadi teman dialognya secara bergiliran sesuai kesukaan dirinya sampai pada suatu hari ia merasa benda-benda tersebut terlalu statis dan cenderung menimbulkan rasa bosan.

Ia lalu mencari benda yang paling tepat untuk jadi teman bercakap berikutnya. Nyaris memakan waktu dua hari ia berpikir sambil melihat-lihat benda yang ada di dalam dan di sekitar rumahnya. Hari kedua saat matahari sore tinggal sepotong di balik gumpalan kabut tipis ia mencoba beberapa meter melangkah lebih jauh ke arah barat rumahnya hingga tiba di sebuah sungai bernama sungai Jumariya; airnya bening menampakkan liut tubuh ikan yang berkejaran di sekitar jatuhnya aliran air dari hulu yang membiakkan busa-busa kecil berwarna putih. Ia merasa damai melihat air itu, sekaligus merasa tekah menemukan teman baru.

“Duhai yang bening mencipta alir pelan dengan gerak yang lembut. Perkenankan aku jadi teman bicaramu. Aku ingin kita berkekasih dalam kesenyapan hingga bersama menemukan sebentuk makna kehidupan,” ucapnya lirih.

Pelan ia mencelupkan telapak tangannya ke permukaan yang sedikit berbusa, kemudian mengangkatnya perlahan, suara percik-percik yang jatuh jadi orkestrasi alam yang mendamaikan, kemudian sisa air di telapak tangannya itu diusapkan ke wajahnya. Rasa sejuk menjalari tubuhnya dengan pesan tersirat yang ia simpan baik-baik di dalam dadanya.

Sejenak menghela napas seraya menikmati kesejukan yang ia anggap sapa dari teman barunya yang ramah. Ia lalu kembali mengamati alir air itu dengan kedua mata berdenyar. Melempar daun kering, lalu mengambang, dan pelan hanyut dibuntuti ikan-ikan kecil sebelum menepi pada dengkulan batu hitam yang dijepit serabut akar.

“Aku ingin belajar kepadamu yang senantiasa tulus menghidupi manusia, hewan, dan tumbuhan tanpa banyak perkataan,” celetuk Raka sambil melempar kerikil kecil, membuat beberapa ikan datang berebut dikira makanan.

Sejak saat itu, Raka seperti menemukan pintu hidup baru yang indah; berkawan air dan bahkan berjanji menjadikannya guru karena ia menganggap segala kelembutan ada pada air; bening tak berwarna, kembali menyatu setelah dipecah, mengaliri yang lebih rendah, memberi kesejukan dan kehidupan, serta mampu meniru benda yang ditempatinya.

Hari-hari berikutnya, Raka tidak hanya mendatangi air yang mengalir di sungai. Ia membuat kesimpulan pada pengertian air dalam makna yang luas. Air yang menetes di daunan, yang mengalir dari pancuran, yang mendiami gentong, yang tersisa di ceruk kulit pohon hingga air yang membutir di tutup panci.

#

Hari itu Raka pulang dari pasar. Selain membawa barang belanjaan, ia juga memanggul setengah karung gelas dan botol air mineral yang ia pungut di perjalanan. Setiba memijak halaman rumahnya, lekas ibunya memanggil dari jauh dan menanyakan perihal isi karung itu. Ia menjelaskan perihal air itu seraya mengutuk orang-orang yang telah membuangnya begitu saja.

“Lalu untuk apa air itu? Apa untuk diminum?” tanya ibunya.

Raka tersenyum, ia menaruh tas plastik itu di teras. Sebagian airnya tercecer membasahi tanah.

“Tidak, Bu. Ini bisa kita gunakan untuk minuman hewan atau menyiram tanaman.”

“Kenapa baru kali ini kau sedemikian peduli kepada air?”

“Karena sebulan terakhir, air telah menjadi teman karib saya, Bu. Teman bercakap dan berbagi sepi.”

Ibu Raka bergeming. Hanya menatap sebagain air yang tercecer keluar karung. Dahinya berkerut, seperti sedang diliputi ketidakpahaman. Ia mengikuti langkah Raka menuju dapur sambil sesekali air yang tercecer.

“Karena akrab dengan air, maka hati dan jiwa saya jadi lembut, Bu. Bahkan saya punya keinginan besar untuk berguru kepada air. Saya sebenarnya ingin bersekolah seperti anak-anak di desa sana. Tapi berhubung di sini tak ada sekolah dan tak ada guru, maka izinkan saya berguru kepada air, aku akan belajar banyak hal dari air,” kata Raka sebelum akhirnya menaruh barang belanjaan dan karung itu di lantai.

Ibunya tak bicara apa pun meski sebenarnya ingin bertanya, tapi pertanyaannya terlalu banyak sehingga ia memilih lebih baik memendamnya di dalam dada dalam kebingungan dan ketidakpahaman.

#

Semakin hari, Raka semakin akrab dengan air. Saat ibunya pergi ke hutan di pagi hari, ia sering menuju ladang hanya untuk melihat air yang melumasi dedaunan yang kadang menyatu ke ujung daun sebelum membutir jatuh ke tanah. Pada kejadian itu, ia berkesimpulan bahwa air senantiasa menempuh masa depan dengan erat persatuan.

Jika sedang turuh hujan, ia sering menatap air yang mengalir dari ujung pancuran bambu di depan rumahnya; air yang menderas dengan arah jatuh yang melengkung itu membuatnya damai. Ia memetik pelajaran berharga bahwa air tak sudi bersombong ria di atas ketinggian, melainkan terus berusaha turun ke bawah hidup bersama benda-benda yang tak suka tahta yang tinggi.

Saat melintasi persawahan, ia sejenak duduk di tepian yang dilaluli parit; memperhatikan air bening yang mengalir tenang, yang kadang menghanyutkan daun-daun kecil dan di dasarnya ikan-ikan berkejaran menikmati kehidupan. Kedua matanya turuti arah aliran itu hingga di bagian ujung yang mengairi batang-batang padi di petakan sawah.

“Betapa air itu memberikan kehidupan,” getar bibirnya pelan.

Sejak Raka menyatakan berguru kepada air, ibunya memang melihat perubahan besar terjadi pada Raka. Raka menjadi anak penyabar dan gigih. Jika membantu ibunya mencari kayu bakar, ia tak pernah mengeluh dan mengaduh. Wajahnya tetap terlihat damai diliputi rasa kesabaran meski harus melintasi beragam medan jalan yang sulit dalam keadaan memanggul kayu. Itulah sebabnya kini ketika Raka sedang berlama-lama menatap air, ibunya tak pernah mengusiknya, karena ibunya menganggap Raka sedang bersekolah.

#

Sudah seminggu Raka mencoba belajar tegar kepada butir-butir air yang keluar dari celah batu di belakang rumahnya, air yang resap lalui ceruk berdebu dengan pancar sederhana tetapi mampu menghidupi dua batang singkong hingga tumbuh kekar karena ketegarannya. Raka mencoba tetap tegar sebagaimana air itu menjalani hidup sebagaimana mestinya meski batinnya menanggung beban luka karena ibunya tak kunjung pulang sejak pamit untuk mencari kayu seminggu yang lalu.

Raka sudah menghubungi warga lain di sekitar lereng hutan untuk membantu mencari ibunya dan selama dua hari warga bahu-membahu mencari ibu Raka, memasuki hutan dan lembah sejak pagi hingga sore tetapi tetap tak berhasil.

Beberapa hari kemudian tersiar kabar, pada hari ketika ibu Raka mencari kayu, ada sekelompok anak-anak yang sedang mandi di sungai Jumariya—sungai tempat Raka biasa menikmati alir air—melihat jasad perempuan mengambang sambil diseret arus dari arah hulu ke hilir. Anak-anak itu baru berani bercerita setelah berhari-hari dicekam ketakutan. Kabarnya tubuh perempuan itu menebar wangi dan ada potongan ranting kayu yang tersangkut erat pada bagian bajunya. Banyak warga menduga perempuan itu adalah ibu Raka yang mungkin kecelakaan saat mencari kayu.

Kini Raka hanya mampu berdiam di tepi sungai itu, menjatuhkan air matanya ke aliran air yang ia anggap gurunya, seraya berharap air itu akan membawa ibunya ke surga. Dalam suasana duka, ia juga berguru kepada jenis air baru, yakni air matanya sendiri.

Rumah FilzaIbel, 2021

Multi-Page

Tinggalkan Balasan