Lelaki Satu Suro

2,158 kali dibaca

Udara sore yang hangat menemani sekelompok warga duduk-duduk di pos kamling di mulut gang menuju Desa Kemoceng. Meskipun musim pandemi dan diharuskan di rumah saja, beberapa warga ini membandel dengan alibi menjaga pintu masuk desa. Motif sebenarnya, ya, agar tetap bisa nongkrong dan terhindar omelan istri. Dari kejauhan di barat sana, mereka melihat seorang pria berjalan kaki mendekat. Tidak begitu jelas wajahnya dan hanya membentuk siluet karena dia membelakangi matahari yang hampir rebah.

Warga bersiap-siap bertanya tentang identitas pria itu berikut tujuan dia datang ke desa. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter, warga mulai mengenali pria tadi. Ternyata dia bukan hanya sosok yang mereka kenali, tapi bahkan rindui.

Advertisements

“Yahaaa…! Woi Yaha pulang! Yaha Pulang!” seru Kohar sambil bejoget menirukan gaya monyet ekor panjang yang sering ditanggap warga desa.

Warga lain segera berhambur dan memeluk Yaha tanpa risih maupun khawatir tertular virus. Tak sedikit yang berebut mencium tangannya, sementara Yaha seperti pasrah sembari menebar senyum diperlakukan istimewa demikian. Keriuhan kecil itu mengundang warga lain keluar rumah dan menghambur berebut bersalaman atau mencium tangan Yaha. Bagi orang luar desa yang melihat peristiwa ini pasti akan berpikir bahwa warga Desa Kemoceng berlebihan dan bahkan membahayakan diri dengan merangkul, menjabat tangan, bahkan mencium tangan Yaha yang baru saja datang entah dari mana.

“Bagaimana kabarmu? Kamu tampak sehat. Virus pasti tidak punya nyali mendaki tubuhmu,” tanya Rasikin, salah satu ketua RT Desa Kemoceng, penuh semangat.

“Alhamdulillah saya sehat-sehat saja. Lihat wajah saya, segar sekali, kan?” jawab Yaha sembari tersenyum, membelalakkan mata, dan berkedip-kedip jenaka untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

“Saya sudah yakin kamu pasti baik-baik saja. Jangankan virus, kematian saja takut padamu. Kamu masih ingat, kan, waktu gudang padi saya roboh dan kamu malah cekikikan tertimpa pintunya?” kata Ketua RT disambut gelak tawa warga dan anggukan Yaha.

“Sebenarnya, di kota seberapa gawat virus ini?” kali ini Kohar yang bertanya.

“Lumayanlah. Ada ratusan yang mati. Rumah sakit juga penuh oleh pasien yang terserang virus.”

“Jadi virus itu benar-benar ada?”

“Iya memang ada. Tapi tenang saja, virus itu tidak akan sampai ke desa ini. Kita semua pasti aman,” papar Yaha dengan nada bangga disambut tepuk tangan.

***

Inilah kisah Yaha

Pada malam satu Suro Maryam yang hamil sembilan bulan lebih tujuh hari mengalami pecah ketuban. Saat itu, para warga baru saja pulang dari surau selepas shalat isya. Jeritan Maryam memecah kesunyian desa di lereng Gunung Sindoro itu. Beberapa warga lain yang melintas hendak berendam di sungai untuk menyambut malam satu Suro, terhenti langkahnya dan mencari tahu ke rumah Maryam. Mereka berbisik bahwa Desa Kemoceng akan tertimpa sial jika Maryam melahirkan di malam satu Suro. Bulan Suro mereka anggap penuh kesialan, makanya tidak ada orang yang menikah atau menggelar resepsi di bulan ini.

Maryam terbaring pucat di atas dipan kayu di ruang tamu ditemani seorang perempuan sepuh yang biasa membantu proses persalinan. Suami Maryam, Sujak, duduk di kursi rotan tak jauh dari dipan dengan wajah panik dan sesekali menyebut nama Gusti Allah. Lepas tengah malam, seorang bayi laki-laki sehat berbobot tiga kilogram lahir dengan tangisan membahana. Dialah Badbaadiyaha yang kemudian disapa Yaha.

Kecemasan warga tentang kesialan atas kelahiran Yaha masih membayang. Mereka menghitung hari untuk menemukan kesialan demi kesialan. Kadang-kadang, kesialan kecil seperti jari teriris pisau atau telur ayam yang gagal menetas pun dihubungkan dengan kelahiran Yaha. Mudah sekali warga menyandarkan setiap hal buruk kepada Yaha.

Tapi itu tidak lama karena sepekan setelah Yaha lahir, keberuntungan demi keberuntungan justru direngkuh warga desa. Pemilik toko kelontong, Oded, mendapat hadiah mobil dari sebuah bank tempat dia menjadi nasabah selama puluhan tahun. Padahal selama ini dia tak pernah dapat hadiah, payung pun tidak. Juragan cabai, Muslek, mendapat paket umroh dari penyedia layanan telepon selular langganan. Dia sempat mengira ditipu seperti biasanya saat mendapat pesan sebagai pemenang. Tapi tidak untuk kali ini. Dia benar-benar mendapat tiket gratis berikut fasilitas lain ke tanah suci. Ada juga Yu Am memperoleh sertifikat atas tanah yang selama ini menjadi objek sengketa dengan tentara. Bertahun-tahun berjuang, baru tahun ini Yu Am merasa nyaman karena tanah warisan buyutnya, yang dituduh terlibat PKI itu, akhirnya kembali sah menjadi milik keluarga.
Masih banyak warga lain yang kelimpahan keberuntungan serupa. Kalau ditulis satu-satu di sini, bisa jadi cerita panjang, mirip lembaran pengumuman pemenang undian.

Keberuntungan demi keberuntungan yang dirasakan warga itu membalik persepsi mereka terhadap Yaha. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu muncul kesimpulan bersama bahwa kelahiran Yaha membawa keberuntungan. Bagi yang belum mendapat keberuntungan, seolah tinggal menunggu giliran. Pelan-pelan warga mengakui Yaha bukan anak biasa.

Mereka memperlakukan Yaha secara istimewa. Yaha tumbuh besar dalam lingkungan penuh pemakluman. Dia menjadi anak emas warga. Ketika Yaha berbuat salah seperti memukul teman sepermainannya atau mengambil mainan anak lain, yang disalahkan anak lain itu. Yaha selalu benar di mata warga meskipun dia salah. Maryam sebenarnya agak risau dengan sikap warga terhadap Yaha, tetapi kalah oleh arus mayoritas. Tatkala Maryam menegur atau menghukum Yaha karena berbuat salah, warga kampung tidak terima.

Seperti malam itu, Yaha menangis setelah dicubit Maryam lantaran Yaha mencekik seekor anak kucing sampai mati. Warga langsung berkerumun di halaman rumah Maryam begitu mendengar tangisan Yaha. Kepala Desa turun tangan untuk menenangkan warga yang gusar mendengar tangisan Yaha.

“Sudah aman. Tidak ada apa-apa. Silakan pulang ke rumah masing-masing,” kata Kepala Desa.

“Tapi mengapa Yaha sampai menangis Pak?” kata seorang warga, “Pasti ada apa-apa.”

“Iya, tadi dia sempat dicubit ibunya karena nakal. Sekarang sudah aman.”

“Tolong bilang ke Maryam, jangan menyakiti Yaha lagi. Yaha bukan hanya milik dia, tapi milik kami juga.”

Rasa memiliki terhadap Yaha itu bersifat bendawi belaka. Mereka tidak ingin segala keberuntungan yang datang seolah tanpa akhir itu musnah gara-gara Yaha disakiti. Warga menjadi over protektif yang berujung pada sikap membiarkan apapun kehendak Yaha. Sebagai anak, tumbuh dalam lingkungan tanpa konsekuensi seperti itu menjadikan Yaha seenaknya sendiri. Makin hari prilakunya makin membuat panas hati Maryam, tetapi warga selalu mendukung Yaha. Pernah suatu kali Yaha sengaja melempar batu kali sebesar genggaman tangan ke atas genting warga. Tiga belas genting pecah dan mengagetkan bayi dalam rumah. Anehnya, pemiliki rumah tidak marah dan malah senang karena menganggap sebentar lagi mendapat keberuntungan. Warga lain apalagi, mereka berebut mengganti genting pecah itu seperti berebut keberuntungan.

Maryam pusing memikirkan perilaku anaknya, terlebih perilaku warga. Dia lalu berkonsultasi dengan karibnya di sekolah dulu yang kini mempunyai pondok pesantren. Namanya KH Sulaiman. Maryam yakin di tangan Sulaiman yang penyabar dan berilmu itu, Yaha akan tumbuh dengan perilaku yang lebih baik. Maka ketika menjelang akil balig, KH Sulaiman membawa Yaha ke pondok pesantrennya setelah bernegoisasi secara alot dengan warga  yang menginginkan Yaha tetap di kampung saja.

Tentu tidak mudah mendidik Yaha dari lingkungan tanpa konsekuensi ke pondok pesantren yang penuh aturan dan hukuman. Yaha seperti ikan laut masuk ke sungai. Tidak betah dan selalu berontak. Ketika yang lain sibuk menderas kitab suci, dia berburu cicak dengan ketapel. Berulang kali ketapel dirampas pengasuh, berulang kali Yaha membuat yang baru dengan mematahkan ranting jambu bercabang dan memberinya karet. Kadang dia curi karet celana teman sekamarnya demi ketapel itu.

Selain ketapel, dia keranjingan main sepak bola tanpa tahu waktu. Suatu sore menjelang maghrib tatkala para santri sudah berkumpul di masjid, Yaha masih asyik menggiring bola seorang diri bertelanjang kaki.

“Yaha, kenapa tidak segera ke masjid?” tegur KH Sulaiman. Biasanya, santri yang ditegur langsung bergegas tanpa berpikir panjang. Tapi ini Yaha, beda responsnya.

“Tidak punya sandal Kiai,” jawabnya.

“Memang sandalmu yang kemarin kamu taruh mana?”

“Hilang sebelah Kiai.”

“Cari dong.”

“Sudah, tapi tidak ketemu Kiai.Lagian capek nyarinya.”

“Ya, sudah, ambil sandal di kamar mandi saya dekat dapur.”

“Baik, Kiai,” kata Yaha sembari tersenyum. Hatinya melonjak.

Dia tahu jam-jam segini biasanya putri Kiai, Aisya, ada di kamar mandi bersiap ke masjid. Aisyah yang dua tahun lebih muda daripada Yaha ini menjadi perbincangan santri karena kecantikannya. Benar saja, Yaha mendapati Aisya hendak berwudhu. Aisya kaget ada santri pria di dekat kamar mandi.

“Artagfirullah! Lagi ngapain kamu?” tanya Aisya dengan tatapan jeri.

“Anu, sama Kiai saya diminta mencium pipi Aisya.”

“Mana boleh. Dosa tahu.”

“Tapi Kiai yang nyuruh. Saya hanya mematuhi perintahnya.”
“Enggak mungkin Abah menyuruh begitu.”

“Kalau kamu ga percaya ya sudah, saya adukan ke Kiai.”

“Silakan!”

“Kiai, ga boleh sama Aisya, nih!” teriak Yaha dan di dengar KH Sulaiman di masjid yang hanya berjarak tiga puluh langkah dari dapur.

“Kasih saja, Aisya!” sahut KH Sulaiman.

“Tuh, kan. Saya bilang juga apa,” kata Yaha sembari mengedip-ngedipkan mata.

Aisya dengan polosnya menyodorkan pipi kanan yang langsung disambar hidung Yaha.

“Satu lagi, dong.”

“Enggak, satu aja!”

“Kiai, Aisya cuma kasih sebelah!”

“Kasih dua-duanya, Aisya!”

Setelah mencium pipi Aisya kanan-kiri, Yaha menyambar sandal jepit dan segera ke masjid.

Peristiwa itu tak pernah diungkit KH Sulaiman. Tidak jelas juga apakah Aisya akhirnya mengungkapkan peristiwa itu atau KH Sulaiman memang tak pernah tahu. Yang jelas, hingga lulus dari pondok pesantren, Yaha tak pernah mendapat hukuman atas dasar mencium pipi Aisya. Lulus dari pesantren KH Sulaiman, Yaha sempat pulang kampung selama beberapa bulan sebelum memutuskan merantau ke kota.

***

Sepekan ketika Yaha balik kampung meninggalkan kota, warga Desa Kemoceng tumbang satu per satu. Ada yang sesak napas, batuk, sampai demam tinggi. Ada juga yang sesak napas, batuk, sekaligus demam. Dukun desa tidak tahu persis penyebab sakit itu hingga datang petugas puskesmas memeriksa mereka. Setelah dirujuk ke rumah sakit daerah, baru diketahui bahwa warga yang sakit itu terkena virus. Seluruh warga lalu bergiliran menjalani tes dan didapati sebanyak dua ratus tiga belas dari sekitar lima ratus warga terkena virus yang sama. Seratusan warga harus dibawa ke rumah sakit, sementara sisanya disarankan isolasi mandiri dengan hidup terpisah dari yang masih sehat.

Warga masih menebak-nebak asal-usul datangnya virus tersebut. Selama berbulan-bulan mereka aman karena hampir tak pernah bepergian, mengapa sekarang menyerang begitu banyak orang. Jawabannya datang bersama petugas dari kabupaten yang mencari Yaha. Petugas itu memberi informasi bahwa Yaha kabur dari rumah sakit setelah dinyatakan positif terkena virus.

Cibubur, 2021.

Ilustrasi: wallpaperbetter.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan