Layangan Putus, Pesantren, dan Kekonyolan yang Terus Berlangsung

1,365 kali dibaca

Series Layangan Putus berhasil mengobati dahaga saya pada perfilman yang bernuansa romantika keluarga, penuh drama, dan penuh ketegangan. Kisah yang konon diangkat dari kejadian nyata tersebut rupanya berhasil menghipnotis para penonton yang seketika menaruh kebencian pada Aris dan Lydia, serta bersimpati pada Kinan. Alhasil, penonton terbagi menjadi dua kubu.

Akan tetapi, dari sekian episode Layangan Putus, ada satu hal yang menurut saya sangat menarik untuk dibahas dan diperhatikan. Bukan perselingkuhan, bukan pula kepiawan Aris dalam menyembunyikan kebusukannya. Tapi bagaimana dalam setiap permasalahan yang terjadi, mereka tetap menyayangi anak dalam kondisi rumah tangga seperti apa pun.

Advertisements

Hal ini justru berbading terbalik dengan kisah-kisah yang saya temukan dalam kehidupan nyata dan di pesantren. Di mana anak selalu menjadi korban dalam pertengkaran dalam keretakan rumah tangga. Jika melihat mereka mendidik anak, saya teringat saat mengikuti pengajian dadakan yang digelar di pesantren mahasiswa semasa kuliah dulu.

Saat itu, seorang dosen salah satu fakultas agama di kampus menjelaskan bagaimana tata cara mendidik anak dalam Islam, dengan rujukan kitab Tarbiatul Aulad fi Islam karya Abdullah Nashih Ulwan.

Banyak sekali yang dibahas, namun sebagai santri yang begaajulan, saya tidak begitu banyak mencerna apa yang disampaikan. Hanya saja, beberapa poin penting berhasil sayang rangkum. Di antaranya adalah:

Seorang anak memiliki imitasi yang sangat besar. Karena hal itu, orang tua harus ekstra hati-hati dalam bertingkah laku di depan anak-anak mereka. Orang tua harus memberikan contoh pada anak-anak dengan perilaku yang baik dalam kehidupannya.

Sebagai salah satu tenaga pendidik di pesantren, ilmu mendidik santri menjadi hal yang sangat penting. Ibarat mendidik anak sendiri, keteladanan, kesopanan, dan pendidikan karakter harus saya kuasai agar kelak mereka bisa menjadi pribadi yang baik dengan ajaran-ajaran tersebut.

Sebab, setiap santri memiliki sifat, karakter, dan masalah yang berbeda. Sehingga sebagai seorang pendidik, saya harus menggunakan banyak formula yang sesuai dengan kondisi santri tersebut. Apalagi santri-santri yang baru duduk di kelas 7 tsanawiyyah.

Pernah suatu ketika, saya mendapati anak yang sedang menangis di malam hari pada jam tidur malam. Padahal, saya merasa tahu betul bahwa anak itu sering terlihat ceria, mudah bergaul, dan kadang-kadang lucu.

Rupanya, di balik keceriaan tersebut ada sisi gelap yang ia simpan. Cerita itu saya dapatkan setelah saya mengadu pada pembimbing kamarnya. Bahwa anak tersebut adalah korban broken home yang kemudian dirawat oleh neneknya.

Tak seperti di Layangan Putus, dalam kisah nyata yang saya temukan di pesantren, justru anak yang menjadi korban. Beruntung, meskipun usianya masih labil, tapi banyak ustaz dan teman-temannya yang menghibur, walau mereka tidak tahu masalah apa yang menimpanya.

Dalam perjalanan menjadi seorang pendidik di pesantren, kasus tersebut bukanlah satu-satunya yang saya temukan. Sebutlah namanya bunga, salah seorang santriwati yang duduk di kelas 7 tsanawiyyah itu kerap saya temukan murung, sendiri, dan sunyi.

Saya mencoba untuk menggali informasi tentang dirinya. Usut punya usut, Bunga adalah korban dari kekerasan rumah tangga. Ia dan ibunya ditinggalkan oleh ayahnya entah kemana tanpa alasan yang jelas.

Lain cerita dengan seorang santriwan yang saya temukan diluar pesantren dalam keadaan marah. Setelah saya bawa ke ruang bagian keamanan, dan setelah diberondong pertanyaan, ia mengaku bahwa dirinya kabur dari pesantren tanpa tujuan yang jelas. Baginya, rumah bukanlah tempat pulang. Sebab di sana ia hanya mendengar pertengkaran.

Permasalahan pada anak kerap saya temukan, baik di pesantren maupun di lingkungan yang lain. Jelas, anak selalu menjadi korban dalam kekacaun rumah tangga. Karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang tenaga pendidik, ustaz, pengurus pondok pesantren untuk mendidik karakter para santri yang cenderung berada di fase mencari jati diri. Bukan hanya ilmu keagamaan, tapi juga ilmu kesehatan mental.

Dengan segala fasilitas, sumber daya manusia, dan sumber daya keilmuan, saya rasa pesantren adalah sebaik-baiknya tempat untuk mendidik karakter dan mental anak-anak.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan