Dok. Pribadi

Larung Layang

1,211 kali dibaca

Petiklah kata-kata dari langit, pinjamlah rembulan dan bintang gemintang. Ajak mereka berbincang. Kepada daratan, tuliskanlah bait-bait kerinduan agar rindumu tak berceceran. Lalu kepada laut, harus engkau titipkan surat surat kerinduan. Agar ia sampaikan kepada senja yang ia peram sebelum purnama tiba.” —Kinanti

Aku mengeluarkan botol kaca dari dalam tas. Botol bekas minuman bersoda yang kubeli sebelum sampai di pantai siang ini. Meskipun terkesan melankolis, aku tetap ingin melakukannya. Aku pernah membacanya di buku-buku, juga melihatnya di salah satu adegan film, di mana sang pemeran utama menuliskan surat kemudian memasukkannya ke dalam botol dan melemparkannya ke lautan lepas.

Advertisements

Katanya, hal itu bisa membuat perasaan seseorang lega, bahkan sangat lega. Sebab, menyampaikan kerinduan kepada lautan lepas yang luas nan dalam lebih bebas karena ia bisa menjaga rahasia sebesar apa pun, dan tanpa membocorkannya pada siapa pun. Lautan bak seorang ibu, luas nan dalam, serta menerima seluruh kebaikan dan keburukan.

Ini kali kedua aku melakukannya. Sebelumnya, aku bersama laki-laki yang setengah mati mencintai perempuan yang juga amat kucintai. Kami mencintai perempuan yang sama. Hari itu kami duduk berdua di bibir pantai tanpa sepatah kata pun, dan aku tidak masalah dengan itu.

Meski bepergian bersama dengannya sejak pagi, entah kenapa rasanya diam menjadi pilihan yang tepat. Tidak ada yang ia sampaikan, pun tidak ada yang harus kutanyakan. Laki-laki itu duduk bersila menegakkan punggungnya menatap lautan, dan aku memeluk kedua lututku sembari menopangkan dagu di atasnya. Melihat pandangannya yang tak sedikit pun menoleh kepadaku, aku mulai ragu kalau pikirannya sedang di sini bersamaku.

Kupikir lebih baik mengeluarkan kertas dan pena yang kubawa ke mana pun aku pergi. Hari itu aku menulis pengaduan rindu untuk pertama kalinya setelah empat tahun berlalu…

Bu, apa kabar? Semoga kau di sana sedang bersenang-senang. Ada yang amat sangat rindu denganmu, tapi kata katanya tercekat di tenggorokan. Sejak kepergianmu, kami semua seperti bersama-sama menyangga langit yang hendak runtuh. Rasa sedih, hampir setiap hari bertamu. Katanya, kehadiran ragamu sungguh sangat berarti baginya.

Bertahun tahun merawatmu dalam kondisi sakit, menjadi hari terbaik sepanjang tahun dibandingkan kehilangan ragamu meski barang sehari. Kau sungguh perempuan beruntung karena dipasangkan dengan laki-laki yang amat mencintaimu.

Bu, bulan-bulan awal setelah kepergianmu, aku seperti berdiri di ujung tebing, dan hendak melemparkan diri ke bawahnya. Tetapi laki-lakimu memelukku erat, kedua tangannya seakan mencengkeram kedua lenganku. Meyakinkanku bahwa kematian bukan hal yang harus ditangisi. Ia milik Tuhan. Kau juga milik-Nya. Semuanya akan diambil sewaktu-waktu.

Berat sekali rasanya menjadi diriku, Bu, apalagi menjadi dirinya. Saat kutuliskan surat ini, aku tahu ia sedang mencoba mengajakmu bicara. Apa kau mendengar bisikan rindu dari hatinya? Semoga kau mau membujuknya tetap bersamaku untuk waktu yang cukup lama. Ada banyak rasa cinta yang masih ingin kutunjukkan padanya.

Bu, meski tahun-tahun berlalu, kulihat dalam catatan buku hariannya tetap tentangmu. Aku selalu megharu-biru tiap kali membacanya. Betapa besar kerinduannya kepadamu. Entah berapa kali engkau datang dalam mimpinya, atau berapa kali perjalanan cinta kalian diputar ulang dalam memorinya. Aku tak pernah tahu, sebab diamnya adalah untuk kesembuhan lukaku.

Ia simpan sendiri kepingan hatinya yang berserakan hingga aku tak bisa melihat sama sekali, bahkan ketika ia memelukku saat menangis.

Bu, aku menceritakan padamu tentang kerinduan seseorang. Kerinduanku sendiri akan kusimpan di ujung pelangi sore ini. Engkau sendiri sudah tersimpan erat di dalam palung hatiku, Bu. Rasanya aku tidak boleh menangis seperti dahulu.

Suatu hari, jika kebaikan juga keberuntungan datang di hidupku, aku meyakini itu berkat doa-doa panjangmu yang dikabulkan Tuhan.

Salam cinta dari putrimu, Kinanti.

Kugulung kertas surat itu dan memasukkannya ke dalam botol yang sejak tadi sudah kusiapkan di sampingku. Ada perasaan lega karena menuliskannya, meski aku tak mengerti apakah laut akan benar-benar menyampaikannya kepada Ibu di surga.

Aku hanya berbisik pelan dalam hati kecilku, Tuhan sampaikan kepada Ibu bahwa kami berdua sangat rindu. Dan perlahan botol itu meninggalkan bibir pantai, mengikuti ombak yang terus bergantian menggulungnya ke sana-kemari.

Kakiku mulai meninggalkan riak kecil menuju pantai menghampiri laki-laki yang sedari tadi tak beranjak dari lamunannya.

“Ayo pulang, Kinan lapar.”

Sore menjelang beduk maghrib kami mulai berkemas pulang. Sejujurnya aku tak begitu mengerti, entah apakah hari itu istimewah ataukah ia memang sekedar ingin menghilangkan pengap dalam dadanya. Aku pun tak berani menanyakan alasan kenapa ia mengajakku jalan-jalan sejak pagi. Saat kami pulang pun tak sepatah kata terucap.

***
Hari ini hampir setahun sudah perjalanan ke pantai bersama Bapak. Kemarin sore, tiba-tiba saja saat melihat mega merah di langit hatiku tergerak untuk kembali lagi ke pantai ini. Tetapi kali ini aku benar-benar seorang diri, tidak ada Bapak yang terlihat termenung di sampingku yang diliputi kerinduan. Sebab, ia sudah menapak perjumpaan dengan pujaan hatinya di surga. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah suratku telah Ibu baca? Barangkali kali ini Bapak yang menerimanya, maka aku harus menuliskannya.

Untuk bapak terkasih, Bagaimana kabarnya Pak? Semoga bahagia. Sudah bertemu Ibu? Apakah Ibu masih secantik dahulu?

Ah, Kinan yakin kali ini lebih cantik. Itulah kenapa Bapak tak sabar untuk bertemu dengannya, bukan? Kinan di sini baik-baik saja. Tak perlu khawatir. Bapak sudah mewariskan banyak hal baik sepanjang hidup Bapak. Bahkan, kata Bapak, Kinanti-lah warisan terbesar peninggalan Bapak untuk keluarga. Doakan saja dari sana semoga tak mengecewakan.

Pak, meski sejujurnya bak langit runtuh yang kedua kali karena kepergian Bapak, kali ini Kinan tak bisa menyangganya seperti dahulu saat Bapak masih ada. Kinan membiarkannya runtuh berkeping-keping tanpa memungutnya sama sekali. Kinan mencari cara lain, sengaja membiarkan kesedihan jatuh bertubi-tubi tanpa menahannya agar kemudian Tuhan yang menata reruntuhannya.

Dahulu, Bapak-lah yang sering menguatkan Kinan sepeninggalan Ibu. Dan ajaibnya, kata-kata Bapak seperti mata air di tengah gurun yang kering, sangat menyegarkan dan membuat Kinan bangkit, bisa melanjutkan perjalanan.

Kali ini mungkin Tuhan lebih menyayangi Kinan setelah Bapak pergi. Kasih saying-Nya semakin besar, sebab Kinan merasa semakin kuat menjalani hari-hari sendirian tanpa Ibu dan Bapak.

Terima kasih, sudah menjadi Bapak yang baik, yang pernah hadir dalam kehidupan Kinan. Foto-foto yang Bapak ambil waktu mengajari Kinan naik sepeda, mengajari Kinan membaca, mengajari Kinan berenang, sampai mengajari Kinan bergaya, akan selalu Kinan simpan sebagai kenangan indah.

Semoga nanti usai menikah, Kinan bisa tumbuh menjadi orang tua yang baik seperti Ibu dan Bapak.

Sekali lagi, doakan Kinan. Sampaikan salam rindu untuk Ibu, dari putrinya, Kinanti. Semoga yang ada padaku seputih arti nama pemberiannya.

Salam saying, Kinanti

Kedua kalinya aku menggulung kertas surat dan memasukkannya ke dalam botol, dan membiarkan ombak menggulungnya ke sana-kemari. Aku yakin ia dalam perjalanan ke alamat yang dituju.

Beduk maghrib terdengar jelas dari masjid di seberang jalan. Aku harus bergegas mengambil wudhu dan bersujud untuk berterima kasih tentang banyak hal.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan