Lapis Cinta Jalaluddin Rumi

1,684 kali dibaca

Dalam dunia tasawuf, manusia terdiri dari dua substansi, yaitu substansi yang bersifat materi (badan) dan substansi yang bersifat immateri (jiwa), dan hakikat dari manusia adalah substansi immaterialnya. Ketinggian dan pengetahuan tentang hakikat kesempurnaan (cinta Ilahiyah) yang menentukan hakikat kemanusiaannya.

Sepanjang sejarah Islam, pembahasan tentang cinta sudah mewarnai khazanah pemikiran umat Islam. Teori cinta menempati posisi yang tidak kalah penting dari diskursus lainnya, dikarenakan dalam diskursus tentang cinta tidak hanya membicarakan relasi antara manusia dengan manusia, akan tetapi perbincangan relasi antara manusia dengan pencipta maupun alam semesta.

Advertisements

Jalaluddin Rumi, yang merupakan salah satu tokoh sufi, kemudian hadir mengenalkan gagasan tentang cinta. Sufisme Jalaluddin Rumi dianggap sebagai gagasan yang sangat berbeda dengan gagasan sufi lainnya pada zamannya, karena kebanyakan sufi-sufi terdahulu cenderung mengungkapkan metafisik dan maqamat. Ini berbeda halnya dengan Rumi, yang pemikiran sufismenya memiliki nuansa tersendiri yang tertuang dalam bentuk sajak dan syair, sehingga ia dikenal dengan jalan sufinya sebagai jalan cinta (mistikus cinta).

Rumi dalam mendefiniskan cinta berbeda dengan sufi lainnya. Rumi menganggap cinta sebagai kecenderungan rasa kepada sesuatu secara total. Ia lebih mementingkan cinta daripada diri sendiri, mempunyai sikap sukarela yang dipengaruhi oleh ketertarikan terhadap yang dicintai.

Cinta dalam gagasan Rumi mengedepankan untuk hidup harmoni dengan prinsip perdamaian dan toleransi. Dengan prinsip-prinsip yang demikiran, akan membuka jalan menuju gerbang ke-Ilahi-an untuk menuju cinta yang sejati.

Dalam pandangan Rumi, cinta sebagai dimensi pengalaman rohani sepenuhnya mengendalikan keadaan batin dan psikologis sufi. Ia tidak dapat dijelaskan melalui kata-kata, tetapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman.

Konsep cinta Rumi merupakan jalan untuk menuju kesempurnaan. Ia mmerupakan jalan untuk membersihkan diri sehingga mengantarkan manusia sampai kepada Tuhan. Pengalaman cinta melampaui semua bentuk kata-kata, ungkapan konsep, dan pemikiran. Cinta justru menjadi pengalaman maha indah yang lebih nyata dari semesta dan memiliki kekuatan dahsyat yang menakjubkan. Kekuatan cinta inilah yang mengantarkan seorang pecinta melabuhkan kepasrahan utuh secara menakjubkan kepada Tuhan, sang kekasih abadi.

Berhubungan dengan cinta, menurut Rumi, ada dua macam bentuk cinta, yaitu cinta imitasi (isyq majazi) dan cinta sejati (isyq haqiqi). Cinta imitasi adalah cinta kita kepada lawan jenis dan segala bentuk keindahan lainnya selain Tuhan. Sedangkan, cinta sejati adalah cinta kita kepada Tuhan semata. Cinta imitasi bersifat semu, sementara, dan menorehkan kekecewaan bagi siapa pun yang mendekapnya. Sedangkan, cinta sejati adalah cinta yang bersifat hakiki, abadi, dan menumbuhkan kebahagiaan bagi siapa pun yang mereguknya.

Bagi Rumi, kesalahan yang terjadi pada manusia bukanlah masalah kecintaannya pada dunia ini, melainkan ketidakmampuannya untuk merasakan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak lain sebagai bayangan kekasih sejati.

Dalam pandangan Rumi, kekuatan cinta yang sanggup menangkap pengalaman ketuhanan secara utuh adalah melalui wadah hati dengan dua fungsi utama. Pertama, saat seseorang sudah tercerahkan penglihatan spiritualnya melalui penyucian kalbu, saat itulah ia telah benar-benar menjadi muhaqqiq, seorang yang sadar akan realitas spiritual dan misteri keberadaan yang gaib. Kedua, cinta Tuhan akan menyapa hambanya yang telah melakukan penyucian hati, mengosongkan kalbu dari segala sesuatu selain-Nya semata.

Oleh karena itu, selama ego dan kecintaan terhadap dunia, yang bendawi, masih bersemayam dalam hati, selama itu pula kita tidak dapat mencapai puncak cinta sejati. Akhirnya, ketika seseorang telah menjernihkan hatinya dari segala karat duniawi, mengosongkan hatinya dari semua bentuk dualitas, dan menghiasinya dengan cinta sakral Ihali semata, saat itulah ia akan menjelma seorang “manusia Tuhan”. Manusia ideal yang menjadi cerminan dari keindahan Sang Ilahi. Wallahu a’lam.

*dikutip dari berbagai sumber

Referensi:

Chittick, William C. Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001.
Jannah, Miftahul. Teologi Sufi Kajian Atas Mistisisme Cinta Jalaluddin Rumi. Yogyakarta: Jurnal Al-Aqidah, 2020.
Rumi, Jalaludin. Diwan Syams Tabrizi. Yogyakarta: FORUM, 2008.
Rumi, Jalaluddin. Fihi Ma Fihi: Mengarungi Samudera Kebijaksanaan. Yogyakarta: FORUM, 2018.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan