Ketemu Kiai Barseso di Wisma Pasar Daging

1,449 kali dibaca

Kecuali keluarga dan teman nakalku di pondok, tak ada yang tahu, bahkan tetanggaku, jika aku adalah alumni salah satu pesantren di Jawa Timur. Menghabiskan dua belas tahun di pondok bersama-sama santri lainnya. Ah! Bukan! Tak pantas aku menyebut diri sebagai alumni. Santri pecatan lebih cocok.

Aku malu jika orang-orang tahu dengan latar belakang yang seram itu. Sebab, dulu kedatanganku ke pondok hanya karena paksaan orang tua. Mereka menginginkan supaya kelak aku jadi orang, orang yang bermanfaat. Pikirku, bermanfaat bagi orang yang bermanfaat, juga merupakan wujud kemanfaatan.

Advertisements

Mugkin gara-gara niatku yang salah, rasanya tak cukup diriku menerima ilmu-ilmu pemberian Kiai. Benar, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Aku harus tetap menjalani hidup. Paling tidak aku sudah membuat hati ibu dan bapak lega hingga mereka lebih dulu ke alam  keabadian tepat setelah tiga hari aku pulang dari pondok.

Cung, kapan wae, nendi wae, lan kondisi sing piye wae usahakno ojo sampek lali sembayang e diterusno moco istighfar lan sholawat.”

Itulah pesan Kiai yang selalu kuingat. Sepertinya, seluruh isi pelajaran dalam kitab-kitab kuning yang ruwet, pokok muaranya diringkas oleh Kiai dalam pesannya tersebut. Karena itu sampai titik darah penghabisan aku bertekad akan menjaganya.

Hei, Njot, mari ikut saya kerja,” teriakan Kijo membubarkan lamunanku. Kijo merupakan sahabat dekatku dari kecil. Ia salah satu di antara teman-temanku lainnya yang tahu, jika aku meneruskan pendidikan ke pondok pesantren. Kijo adalah anak ibu Tri, salah satu keluarga kaya raya di desa. Rumahnya berada di selatan rumahku. Memang Kijo besar dengan kondisi yang serba cukup, hingga sekarang.

Sudah lama aku tak berjumpa dengannya sejak lulus sekolah dasar. Kabarnya, sekarang ia melanjutkan usaha pabrik kerupuk yang dirintis oleh bapaknya. Meskipun hanya pabrik kerupuk, namun hasil penjualannya hingga kirim ke luar kota dan provinsi. Kijo hidup dengan gelimang harta. Jika uangnya surut, ia tinggal menggesek di ATM, lalu dibuat melayani apa pun keinginannya baik yang wajar maupun tidak.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan