Koruptor yang Budiman

1,257 kali dibaca

Ia masih memikirkan mimpi buruknya usai melewati malam yang panjang dan mendebarkan. Seorang laki-laki tambun, berkacamata bening menghampiri Rusli yang terkurung di dalam jeruji, melangkah pelan diiringi oleh petugas sipir. Petugas sipir membuka gembok sel tahanan. Lelaki itu hanya diberi waktu kunjungan lima belas menit oleh petugas sipir.

“Biarkan kami berbicara berdua,” pinta lelaki itu kepada petugas sipir. Ia adalah Pengacara Karmain yang disewa untuk menangani kasus yang menjerat Rusli. Lalu petugas sipir berlalu.

Advertisements

“Di penjara tidak mengerikan seperti yang kau pikirkan. Kau bisa melakukan apa saja. Kau boleh pelesir ke mana pun yang kau mau. Kau juga bebas pulang kapan saja, jika kau rindu keluarga. Aku bisa mengaturnya. Penjara tidak seburuk bagi seorang koruptor seperti dirimu,” kata Pengacara Karmain mencoba menggoyahkan kecemasan Rusli.

Ia dinyatakan bersalah setelah pengadilan memutuskan, ia sebagai tersangka penggelapan uang dana untuk penanggulangan bencana.

“Baiklah, semoga aku betah di penjara untuk beberapa waktu ke depan,” kata Rusli.

“Aku akan mengajukan banding, agar mendapat potongan kurungan,” ucap Pengacara Karmain mencoba menenangkan.

“Bagaimana jika hukuman mati itu benar-benar terjadi?” ucap Rusli cemas.

“Itu tidak mungkin,” jawab Pengacara Karmain singkat.

***

Barangkali, di benak rakyatnya untuk menggambarkan kekecewaan, mereka membuat meme yang berbunyi, “amanah tidak perlu, uang rakyat nomor satu.”

Di suatu sore di penjara, Rusli mencemaskan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ia cemaskan. Ia bersandar di tembok lusuh berwarna putih sebelum ia dipindahkan ke penjara eksekutif. Pikiran buruknya selalu menuju pada sebuah hukuman mati yang seolah-olah akan menimpa dirinya. Tentu saja kepindahannya, tergantung kepandaian Pengacara Karmain melobi kepala sipir untuk memindahkan Rusli ke penjara yang lebih baik.

“Aku tidak ingin mati selagi hartaku masih berlimpah. Aku takut dengan kematian,” gumamnya.

Tentu hal itu membuatnya tidak bisa tertidur nyenyak. Ia terbayang bagaimana ia harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan atau peluru meluncur deras menembus dadanya. Untuk membayangkannya saja ia tidak berani, bahkan beberapa hari terakhir ini, ia tak nafsu makan. Meskipun Pengacara Karmain selalu menghiburnya dengan ucapan-ucapan yang melegakan.

“Kau tidak perlu khawatir soal hukum mati itu. Hukuman mati itu bukan untuk para koruptor, melainkan untuk para teroris dan bandar narkoba,” ucap Pengacara Karmain.

“Tapi, hidup di penjara yang pengap seperti ini, berkumpul dengan para bajingan seperti mereka, tidak ada bedanya dengan kematian secara perlahan,” jawab Rusli.

“Memangnya kau tidak lebih bajingan dari pada mereka?” sambung Pengacara Karmain.

“Aku bajingan yang terdidik, bukan bajingan murahan seperti mereka.”

Mendengar jawaban itu, Pengacara Karmain hanya bisa berdehem, mengistirahatkan mulutnya sebelum ia meninggalkan Rusli. Sebelum ia pergi, ia sudah merencanakan sesuatu. Ia menyuruh Rusli untuk membuat kekacauan di dalam sel. Kemudian setelah ia dipukuli oleh napi-napi yang lain, ia akan dipindahkan ke sel yang lain. Itu sudah direncanakan oleh Pengacara Karmain dan kepala sipir sebagai alasan untuk memindahkannya.

Malamnya, ia tertidur tanpa ada yang mengganggu, meskipun ia merasakan sakit di sekujur tubuh. Ia juga bermimpi buruk. Ia menceritakan mimpinya kepada Pengacara Karmain;

Pada suatu pagi yang hangat, para napi berkumpul di sebuah tanah lapang berumput pendek. Kepala sipir dan puluhan petugas yang lain menggenggam pentungan karet. Para napi diperintahkan lari memutari lapangan. Setelah itu, para napi berduyun-duyun melakukan kerja paksa untuk pembangunan lapas. Tentunya negara tak mau rugi sudah menampung para napi yang jelas-jelas merugikan negara, apalagi seorang koruptor. Maka dari itu, negara memanfaatkan tenaga-tenaga para napi untuk proyek pembangunan. Jika napi sudah tidak bisa bekerja, napi akan dipindahkan ke sel bawah tanah sampai ia mati dan menjadi santapan cacing tanah.

Menurutnya mimpi itu lebih mengerikan dari iblis yang paling mengerikan. Ia bilang kepada Pengacara Karmain, jika ia akan dihukum mati. Ia melihat regu tembak mengarahkan moncong senapan ke arahnya, membuatnya seketika terbangun.

Ia juga menceritakan suasana penjara di dalam mimpinya, bahwa di penjara itu, napi tak mungkin bisa kabur. Jika kabur, mereka akan segera menemui ajal. Para sipir, mungkin akan menembaknya. Meskipun napi bisa kabur, mereka tidak akan selamat. Mereka harus berenang di laut lepas sejauh satu kilo meter. Setelah itu, mereka melewati sebuah pulau terpencil yang sangat ganas. Kemungkinan mereka mati karena malaria, atau diterkam harimau atau dikeroyok oleh anjing-anjing hutan. Bila mereka menyusuri sungai, buaya-buaya lapar akan senantiasa bersiap untuk mencabik-cabik tubuh mereka.

Selain hal-hal yang membuat di penjara menakutkan di dalam mimpinya, ia juga tidak sanggup mendengar, ia dibicarakan oleh sesama napi. Menurut mereka, pejabat yang melakukan tindakan penggelapan uang, adalah seseorang yang memalukan. Mereka dipercaya oleh rakyat, namun mereka mengkhianatinya. Mereka hidup bermewah-mewahan sedangkan rakyat untuk makan saja kesulitan. Tentu hukumannya harus lebih berat dari pada seseorang yang ketahuan maling ayam atau pencopet.

“Maling ayam saja, harus babak belur nyaris sekarat, masak koruptor tidak dihukum mati?” kata salah satu narapidana yang mencuri ayam tetangga. Seseorang yang katanya tokoh agama ditangkap karena menghina presiden mengatakan, “Jika pencuri roti saja dihukum potong tangan, maka koruptor harus dipotong kepalanya, alias dipenggal.”

Kemudian giliran pencuri kayu yang berbicara. Ia mencuri kayu untuk reng rumahnya, “Hukum di negeri ini sungguh tidak adil. Orang mau memperbaiki rumah, malah dipolisikan, sedangkan mereka yang meratakan pohon untuk pembangunan pabrik tidak dipersoalkan. Benar-benar aneh,” ucapnya.

Kemudian si bandar togel menyahut, “Meskipun aku bandar togel tapi aku tidak merugikan orang lain, sedangkan koruptor merugikan banyak orang. Tapi anehnya, mereka seolah-olah merasa terhormat sudah menjadi koruptor.”

“Aku yang hanya memotong tebu milik tetangga di kebun tetap saja dipolisikan, sedangkan koruptor bisa-bisanya minta potongan masa tahanan,” ucap sang napi pencuri tebu.

***

Ada puluhan sel di rumah tahanan itu. Para napi berkumpul di satu sel, beralasan tikar dari daun pandan yang disediakan oleh petugas. Terkadang, mereka mudah masuk angin, karena lantai sel sangatlah dingin bila malam hari. Bila siang hari terasa pengap karena jumlah tahanan terlalu banyak. Di dalam satu sel terdiri tujuh atau delapan orang. Mereka harus berdesak-desakan, layaknya ikan-ikan yang dibawa nelayan ke pasar. Mereka memakan makanan yang sekiranya bisa menahan mereka untuk tetap hidup saja. Hanya itu, kadang-kadang saja mereka bisa makan makanan yang layak.

Keadaan jauh berbeda dengan penjara yang ditempati Rusli. Tidak hanya fasilitas yang lengkap, melainkan mereka bisa keluar masuk penjara sampai berhari-hari dengan alasan berobat atau alasan yang mengada-ada.

Pengacara Karmain bernegosiasi dengan kepala sipir untuk menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan Rusli dengan cara mengucurkan dana untuk operasional dan pembangunan rumah tahanan. Dengan hal inilah, tahanan macam Rusli memiliki hak istimewa di dalam penjara.

Citra seorang koruptor yang budiman tersemat padanya. Semakin besar dana yang dikucurkan, semakin baik pula nama Rusli. Ia merenovasi masjid dan gereja yang ada di rumah tahanan itu, membuatnya menjadi tahanan berpredikat berkelakuan baik. Maka dari itu, ia mendapat remisi potongan tahanan. Ia juga telah membayar uang denda yang ditetapkan pengadilan. Ia hanya dihukum empat tahun penjara. Namun tentu saja, ia semakin dibenci para napi yang lain.

“Orang seperti Rusli, tentu saja bisa membeli hukum. Ia bisa membeli hukum dengan uang hasil korupsinya,” ucap salah satu pencuri ayam yang duduk melingkar sambil bermain gaple dengan para napi yang lain.

“Bagaimana pun, lebih enak jadi orang kaya ya, meskipun kaya dari hasil korupsi,” sambung napi yang lain.

***

Waktu adalah kumpulan hari yang senantiasa berlari. Empat tahun berlalu, kini Rusli menghirup udara bebas. Ia didampingi oleh Pengacara Karmain. Kepala sipir menghampirinya dan mengucapkan selamat atas kebebasannya. Tidak hanya kepala sipir, bahkan semua yang ada di rumah tahanan itu mengucapkan selamat atas kebebasannya, kecuali para napi yang hanya bisa menyaksikan Rusli dengan wajah berseri-seri, melawati deretan sel dengan senyum terbaik kepada mereka, seolah-olah ia bukanlah seorang mantan narapidana, melainkan hanya sekedar iseng menjajal hidup menjadi seorang tahanan. Para napi mendadak mual setelah ia tersenyum kepada mereka. Ada yang langsung meludah, ada yang langsung menggebrak jeruji, bahkan ada yang langsung kencing di hadapannya.

Tetapi dengan pembawaan santai, ia tidak merasa tersinggung. Baginya tidak ada waktu untuk tersinggung, melainkan mengatur kembali kepercayaan masyarakat untuk kembali menjadi orang yang budiman dan merencanakan untuk memutar sisa uang hasil korupsi, sembari menunggu, barangkali ada jabatan yang kosong.

Di depan gerbang ia sudah disambut oleh para kolega dan awak media. Kemudian ia dikalungi karangan bunga. Betapa ia benar-benar seperti pahlawan yang pulang dari medan pertempuran. Seperti halnya atlet yang meraih medali emas di Olimpiade. Tidak hanya itu, saat di rumah, istrinya sudah menunggunya untuk memberi kejutan.

Setiba di rumahnya yang megah, ia mendengar suara rengekkan bayi yang sedang digendong oleh istrinya. Istrinya mencium tangannya dan memperlihatkan bayi itu. Kemudian sang istri menaruh bayi itu di kereta bayi sambil mendorongnya ke hadapannya.

“Lihatlah bayi ini. Ini hasil dari kau pulang setahun yang lalu saat kau mengajakku berlibur ke Bali,” ucap istrinya.

“Benarkah? Mengapa kau tidak mengabari, bila kau hamil?” tanya Rusli menyelidik.

“Menurutku itu tidak perlu. Yang namanya kejutan ya harus mengejutkan. Kejutan ini untukmu,” jawab sang istri memeluknya. Tetapi ia menyimpan ragu, apakah itu benar-benar bayinya? Menurutnya, bayi itu lebih mirip dengan Pengacara Karmain. Namun, ia tidak mau memikirkannya terlebih dahulu. Biarkan bayi itu tubuh terlebih dahulu, siapa tahu, kelak bayi itu akan mirip dengannya.

ilustrasi: tribun.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan