Kontribusi Ulama Perempuan Nusantara dalam Perkembangan Islam

2,253 kali dibaca

Selama ini terminologi ulama dalam konstruksi berpikir kebanyakan komunitas umat Muslim seringkali disematkan kepada kaum laki-laki, dan tidak untuk perempuan. Kalaupun untuk menyebut perempuan sebagai ulama mesti ditambahkan ulama perempuan atau perempuan ulama. Kenyataan ini seakan menggambarkan bahwa kaum perempuan tidak ada yang pantas disebut ulama – kendatipun kapasitas intelektual mereka sudah mumpuni menjadi seorang ulama.

Inilah fakta bahwa budaya patriarkal yang telah berlangsung berabad-abad lamanya tetap melekat pada diri masyarakat. Perempuan dalam pentas peradaban ini sangat jarang –kalau tidak mau dikatakan terlarang– untuk berada pada posisi pengambilan keputusan, mengelaborasi dan mengimplementasikan (menyebarkan) hukum-hukum agama terhadap khalayak ramai.

Advertisements

Maka tidak heran, jika dalam literatur sejarah sepak terjang dan perjuangan seorang perempuan tidak banyak diketahui –untuk tidak mengatakan menghilang– dalam literatur sejarah, khususnya sejarah di Indonesia. Padahal, kalau kita menakik kembali sejarah, ada banyak dari kalangan perempuan telah memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam, khususnya di Nusantara ini. Tentu sesuai dengan kemampuan dan kapasitas keilmuan yang dikuasai atau dimiliki oleh masing-masing mereka.

Namun, dalam catatan kecil yang saya tulis ini hanya beberapa tokoh atau ulama dari kalangan perempuan yang akan dipaparkan ihwal kontribusi dan sepak terjangnya pada perkembangan Islam. Mengingat keterbatasan literatur yang membincang peran dan kiprah ulama perempuan. Berikut beberapa nama ulama perempuan tersebut:

Nyai Arnah dari Banten

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Banten merupakan salah satu provinsi yang banyak melahirkan para ulama tersohor, baik di kancah nasional maupun dunia internasional. Siapa yang tidak kenal Syekh Nawawi al-Bantani seorang ulama kelahiran kota Serang Banten, yang sampai hari ini karya-karyanya banyak dikaji dan dijadikan rujukan. Bukan hanya di pesantren, melainkan di universitas-universitas, baik di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri. Maka tidak heran, jika Banten dijuluki Provinsi seribu ulama dan sejuta santri.

Menarik, keulamaan Banten tidak hanya tersentralisasi atau didominasi oleh kalangan laki-laki semata. Tetapi juga telah merambah kepada kaum perempuan. Ada banyak perempuan dari Banten yang telah menjadi ulama. Salah satunya adalah Nyai Hj Arnah dari Cimanuk, Pandeglang, Banten yang lahir pada 1876. Keulamaan Nyai Arnah ini diposisikan “dari Mekkah untuk masyarakat Banten”.

Perlu diketahui bahwa orang Banten di Mekkah merupakan koloni paling besar dibandingkan dengan koloni daerah-daerah lain di Nusantara. Di samping jumlahnya yang terbanyak, ulama Banten, konon, menduduki peran paling menonjol setidaknya pada periode Syekh Nawawi, yakni pada perempat terakhir abad ke-19, dalam transmisi ilmu agama kepada santri-santri dan ulama-ulama lain dari Nusantara di Mekkah.

Keulamaan Nyai Arnah bisa dibuktikan dengan kehausannya akan ilmu-ilmu keislaman. Beragam ilmu telah ia pelajari kepada ulama-ulama Banten sendiri yang menetap di Haramain, Mekkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Tb. Ismail, KH Ahmad Jaha, Syekh Marzuki, Syekh Arsyad bin Alwan, dan Syekh Arsyad bin As’ad. Di antara ilmu yang dipelajari adalah; fikih, hadis, tafsir, dan tata bahasa Arab, selain juga ilmu qira’at dan tarekat.

Namun, dari sekian ilmu yang dipelajari ilmu qiraat lah paling menonjol dari Nyai Arnah. Maka tidak heran, jika Nyai Arnah dianggap sebagai mata rantai penting di dalam transmisi intelektualitas ulama perempuan Islam terutama di bidang ilmu qiraat, dari periode Syekh Nawawi al-Bantani kepada generasi berikutnya. Hampir semua anak keturunan Nyai Arnah – baik yang ada di Banten, Malaysia, Jakarta maupun di Bogor – menonjol di bidang ilmu qiraat (tata cara membaca Al-Quran).

Sanad keilmuan Nyai Arnah sampai sekarang masih tetap eksis dan dikembangkan, terutama kepada para santri yang belajar ilmu qiraat. Semua sanad qiraat para perempuan di Pesantren Riyadul Banat di Kadu Peusing, Pandeglang dan Pesantren Darul Quran di Warunggunung, Rangkasbitung Lebak bersumber dari putra satu-satunya Nyai Arnah, KH Emed Bakri, yang kemudian disebut-sebut sebagai salah seorang penyebar qira’at hafs pertama di Pandeglang.

Selain menguasai ilmu qiraat, Nyai Arnah juga termasuk ulama perempuan penganut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang rutin membaca karya Imam Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli atau akrab disebut Imam Jazuli, yaitu Dala’il al-Khairat. Suatu kitab yang berisi selawat kepada Nabi Muhammad Saw. Maka tak heran, jika Kiai Emed Bakri juga termasuk penganut tarekat yang hampir seumur hidupnya digunakan untuk berpuasa.

Ulama perempuan asal Banten ini menutup usianya antara Oktober 1924 – Juli 1925 dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, tepatnya di Jeddah. Sebab, pada Desember 1916 di Tanah Hijaz, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh klan Bani Saud dengan tujuan untuk memerdekakan Tanah Hijaz dari kekuasaan Turki Usmani. Akibatnya, pelbagai kekacauan tak bisa dihindari.

Kekacauan ini mencapai puncaknya pada tahun 1923, di mana kekuasaan Tanah Hijaz dari Turki Usmani berpindah kepada keluarga Bani Saud. Sementara, pemberontakan penduduk Yaman yang digawangi oleh keluarga Idris melawan pemerintahan Bani Saud juga memperparah keadaan. Karena situasi yang sudah tidak kondusif, maka pemerintah Kolonial Belanda memulangkan ribuan para koloni haji dari Nusantara yang bermukim di Mekkah.

Walaupun Nyai Hj Arnah sudah wafat, memori ingatan masyarakat Banten perihal perjuangan beliau tetap melekat dalam ingatannya. Ratusan murid Nyai Arnah terutama dari kalangan kaum perempuan telah menyebar luas ke pelbagai wilayah di Nusantara ini.

Nyai Siti Zubaidah

Tidak kalah menariknya dengan Banten. Betawi juga telah banyak melahirkan ulama perempuan kesohor, selain dari kalangan kaum laki-laki. Ulama perempuan itu adalah Nyai Hj Siti Zubaidah binti H Hasanuddin. Nyai Zubaidah merupakan anak pertama dari sembilan bersaudara yang lahir dari pasangan H Hasanuddin dan Hj Hindun. Ia lahir sekitar tahun 1941 atau 1942 di Cipinang Kebembem, Jatinegara.

Sejak usia belia sampai menikah, Nyai Zubaidah mengaji pelbagai ilmu-ilmu keislaman, khususnya kitab kuning kepada KH Abdul Hadi, seorang ulama Betawi di Cipinang Kebembem. Di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya adalah nahu-saraf, akidah, akhlak, dan fikih. Kemudian, menginjak usia 21 tahun, tepatnya pada 1962, beliau dinikahi oleh KH Hasbiyallah, pendiri Perguruan Islam Al-Wathoniyah, dan status Nyai Zubaidah sebagai istri ketiga Kiai Hasbiyallah. Dari hasil pernikahannya ini, beliau dikaruniai dua orang anak putra dan putri, yaitu Nyai Hj. Hilmah dan KH Saifullah Hasbiyallah.

Menarik, meskipun Nyai Zubaidah sudah menikah dan dikaruniai seorang anak, kehausannya akan ilmu pengetahuan tak pernah susut bahkan kian berkobar dari waktu ke waktu. Terbukti, beliau melanjutkan belajar ngaji kitab kuning kepada KH Hasbiyallah, suaminya sendiri. Sebagai seorang tipe pembelajar yang tekun dan gigih, hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengaji pada sang suami.

Nyai Zubaidah mengaji kitab kuning setiap selesai salat Zuhur atau selesai salat Ashar. Artinya, beliau belajar tergantung waktu yang diluangkan suaminya. Saking semangatnya menimba ilmu, seluruh kitab-kitab yang dipelajarinya itu khatam atau selesai. Maka tidak heran, jika Nyai Zubaidah sangat paham betul terhadap isi kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta Syarahnya, Bulughul Maram hingga kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali yang masyhur itu. Sungguh teladan mulia.

Tidak hanya mengaji, Nyai Zubaidah juga turut mengajar di 22 majelis taklim ibu-ibu setiap bulannya. Bermodalkan ilmu yang diperoleh dari Kiai Abdul Hadi dan suaminya, maka majelis taklim asuhannya tersebar luas di sekitar daerah Klender, Tanah Koja, Kampung Bulak, Kampung Sumur, Rawa Bandung, Kampung Jati, Cipinang, dan Pulo Kambing. Juga, beliau menjadi guru tetap di majelis taklim ibu-ibu di Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

Selain mengajar keluar, Nyai Zubaidah juga dipercaya oleh suaminya untuk mengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah. Sebelum pesantren ini berdiri, Nyai Zubaidah sudah lama terlibat (membantu) pembangunannya tatkala pondok pesantren ini dalam masa pembangunan. Beliau pun mencari bantuan dana demi membantu suami tercintanya membangun pesantren.
Walau Nyai Zubaidah mencari dana, tetapi cara yang ditempuh dan digunakan cukup unik, bahkan terbilang cerdas pada masa itu. Adalah dengan menulis sebuah risalah berbahasa Arab-Melayu yang diberi judul Kaifiyah Sembahyang Tarawih dan Salat Idain.

Risalah ini kemudian beliau cetak atau terbitkan dan diperbanyak, lalu dijual kepada murid-muridnya beserta murid atau jamaah suaminya. Kemudian, uang dari hasil penjualan risalah tersebut dipergunakan untuk membangun Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah tersebut. Sebenarnya, Nyai Zubaidah banyak menulis risalah yang berbentuk manuskrip, namun tidak sempat dicetak. Bahkah, karya-karyanya tersebut sudah hilang pada saat kediamannya dilakukan renovasi untuk pelebaran jalan raya. Sungguh sangat disayangkan.

Sementara santri-santri di pesantren tersebut berasal dari daerah sekitar Klender, Bogor, Cinere, Taman Mini, dan paling banyak berasal dari Bekasi. Ada yang menetap di dalam pesantren (mondok), ada pula yang pulang pergi (santri kalong). Namun pada tahun 1986, Nyai Zubaidah tak lagi menerima santri yang (mondok), tatapi menerima santri kalong hingga beliau wafat pada tahun 1996 bertepatan pada tanggal 22 Rabiul Tsani. Dan, Nyai Zubaidah dikebumikan di areal kompleks pemakaman keluarga besar KH Hasbiyallah suaminya, tepatnya di depan Masjid Jami’ Al-Makmur Klender.

Nyai Saidah Said

Sementara di daerah yang sama (Betawi), juga ada seorang ulama perempuan yang berkontribusi cukup besar terhadap perkembangan Islam di Nusantara, yaitu Nyai Hj Saidah Said. Ia lahir di Jakarta pada 7 Agustus 1945. Kemudian menikah dengan H Syarifuddin. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai sembilan orang anak. Walau begitu, pengabdian Nyai Saidah terhadap masyarakat tak pernah susut.

Karier intelektual Nyai Saidah diselesaikan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1996. Sebagai seorang alumnus pesantren dengan berbekal ilmu keagamaan yang cukup dan mumpuni, Nyai Saidah menyadari betul bahwa masyarakat semakin membutuhkan bimbingan dan pengajaran ilmu agama, tentu saja sebagai bekal untuk menguatkan mental dan keimanan mereka di tengah arus globalisasi yang kian mengkhawatirkan.

Di tengah kegelisahannya itu, Nyai Saidah bersama suaminya, H Syarifuddin (almarhum) dan beberapa tokoh lain berinisiatif untuk mendirikan sebuah yayasan. Pada tahun 1970 keinginannya itu terpenuhi, dan berdirilah yayasan yang diberi nama Al-Hikmah. Namun, tahun 1972 yayasan tersebut baru diresmikan pasca mendapat restu dari salah satu ulama Betawi tersohor, KH Abdullah Syafi’ie. Tujuan utama didirikannya adalah untuk pengembangan syiar Islam (dakwah).

Yang menarik, nama Yayasan Al-Hikmah didasarkan pada Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 269 yang artinya, “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.”

Sementara itu, paham yang dianut oleh yayasan atau Majelis Taklim Al-Hikmah ini adalah Ahlusunah wa al-Jamaah. Di awal berdirinya, majelis ini hanya diikuti oleh 8 (delapan) orang. Kendati demikian, girah untuk mengedukasi masyarakat atau menyebarkan ajaran Islam tak goyah sedikitpun bahkan semakin santer. Perlahan tapi pasti, majelis ini pun mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat.
Alhasil, para jamaah pun terus bertambah. Dari yang awalnya anggota majelis ini delapan melejit mencapai ribuan. Bahkan, sudah ada 35 majelis taklim yang bertebaran di Jabodetabek. Prestasi ini dan tentu saja, selain karena kesabaran Nyai Saidah, juga antusiasme ibu-ibu se-Jabodetabek terhadap kegiatan-kegiatan positif yang seringkali diadakan.

Sebagaimana paham yang dianutnya, maka Nyai Saidah juga mengajarkan cara berpikir dan berperilaku sesuai dengan ajaran ASWAJA: tawasut (sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta menghindari segala bentuk perilaku yang bersifat at-Tatharruf (ekstrem). Pun, mengajarkan arti penting sikap tasamuh (sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Dan sikap tawazun (sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama umat manusia dan antara manusia dengan Allah SWT).

Saking antusiasnya masyarakat, tak jarang ribuan ibu-ibu seringkali mengadakan maulid, manaqiban, dan lain-lain. Mereka rela menyisihkan waktu disela-sela aktivitas seperti bekerja bagi yang produktif, atau mereka menyisihkan waktu dari kegiatan di rumah bagi lansia (lanjut usia) guna menghadiri pengajian Nyai Saidah di majelis taklimnya. Sementara materi pengajian yang diberikan meliputi; akidah, tafsir, nahu-saraf, fikih, dan tasawuf. Dan kitab yang dijadikan rujukan adalah kitab-kitab muktabaroh yang lazim dibaca di pesantren-pesantren tradisional.

Selain berkecimpung dalam aksi nyata untuk mengedukasi masyarakat, khususnya kaum perempuan, Nyai Saidah Said juga menelurkan karya-karya berupa buku. Di antara karya yang dianggit dan sudah beredar luas di tengah masyarakat adalah Fikih Keumatan dan Doa-doa Menggapai Keberkahan.

Demikianlah, kiprah dan kontribusi para ulama dari kalangan perempuan dalam perkembangan Islam di Nusantara yang patut untuk dijadikan inspirasi dan teladan bagi kita semua, terutama kalangan perempuan-perempuan kiwari. Apalagi, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan segala kemudahan yang disuguhkan tentu memberikan akses lebih mudah kepada kita untuk berkiprah di tengah masyarakat ketimbang para pendahulu kita. Wallahu A’lam

Multi-Page

Tinggalkan Balasan