Konsensus Ulama: Jangan Tergesa-gesa Mengkafirkan

1,005 kali dibaca

Akhir-akhir ini, banyak di antara golongan yang dengan sangat mudah menjatuhkan vonis kafir kepada sesama umat Islam. Sedikit-sedikit kafir, tidak sepaham kafir, dan lain sebagainya. Itulah fenomena takfiri. Tidakkah mereka mengaca kepada sebuah hadis Nabi Muhammad Saw: “Idza qola ar-rojulu li akhihi “Ya Kafir” Faqod ba a biha ahaduhuma.” Artinya: Barang siapa berkata kepada saudaranya sesama muslim “Wahai kafir!” makan (hukum) kafir itu akan jatuh pada salah satu dari keduanya.”

Saya tidak tahu betul, apa yang menjadi tendensi mereka untuk begitu mudah mengkafirkan orang lain. Andaikan untuk menjalankan dakwah, maka saya katakan, bahwa dakwah harus ditempuh dengan jalan hikmah (bijaksana), nasihat yang baik. Dan bilamana situasinya mengharuskan adanya perdebatan, maka harus ditempuh dengan jalan yang baik pula. Hal ini sesuai dengan firman Allah di surat an-Nahl, ayat 125: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.”

Advertisements

Menurut Sayyid Ahmad Masyhuri al-Haddad, telah menjadi konsensus para ulama, agar jangan sampai orang muslim menjatuhkan vonis kafir kepada saudara muslim, kecuali kalau memang benar-benar telah mengingkari adanya Allah Swt, tidak percaya terhadap ke-Maha Kuasa-an Allah secara terang-terangan, dan mengingkari segala perkara ushul yang ada pada agama Islam.

Inilah contohnya. Suatu hari, Sayyidina Khalid bin Walid menjalankan misi dakwah kepada Bani Hudzaimah. Sebagaimana yang diriwayatkan, bahwa terjadi perdebatan yang sengit di antara Sayyidina Khalid dan Bani Hudzaimah. Sayyidina Khalid mengajak mereka untuk masuk Islam. Mereka mengatakan, bahwa mereka telah masuk agama Islam.

Untuk jaminan, Sayyidina Khalid bin Walid menyuruh mereka agar meletakkan senjata di tanah. Namun, mereka menolak, dan bersikukuh mengatakan: “Kami tidak akan meletakkan senjata kami. Demi Allah, jika kami melepaskan senjata, maka tidak lain akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah. Kami tidak percaya kepadamu dan para pasukanmu.”

Kemudian Sayyidina Khalid bin Walid berkata: “Kalian tidak akan mendapat jaminan keselamatan dari kami kecuali bersedia melepaskan senjata.” Sebagian dari mereka menyerah; melepaskan senjata dan menurunkannya, sebagian lagi membangkang.

Mengetahui hal itu, Sayyidina Khalid bin Walid bertanya: “Karena apa kalian tidak mau melepaskan senjata?” Mereka lantas menjawab: “Sungguh, di antara kami dan salah suku Arab ada permusuhan, dan kami khawatir kalian adalah bagian dari mereka. Oleh sebab itu kami tidak mau menurunkan senjata.”

Dalam riwayat lain, Sayyidina Khalid bin Walid bertemu dengan suatu kaum, lalu beliau bertanya: “Apakah kalian muslim atau kafir?” Mereka kemudian menjawab: “Kami adalah kaum muslimin. Kami melaksanakan salat, dan membangun masjid-masjid di daerah kami.” Dalam riwayat lain, kaum itu tidak menjawab dengan lafaz: “Aslamna” (kami adalah orang Islam), tapi mereka menjawab dengan redaksi (lafaz): “Saba’na, saba’na” yang berarti kami telah menyerah.

Setelah sebagian mereka melepaskan senjata, Sayyidina Khalid menyuruh pasukannya untuk menawan mereka. Sebagian mereka ditawan dan diikat, sebagian lagi bergabung dengan golongan para sahabat.

Pada waktu sahur, salah seseorang dari mereka berseru: “Siapa saja yang mempunyai tawanan, maka bunuhlah!” Bani Salim lantas membunuh semua tawanan mereka. Sedangkan kaum Muhajirin dan Anshor menahan diri untuk tidak membunuh para tawanan, bahkan mereka melepaskannya.

Peristiwa yang alamai Khalid bin Walid itu terdengar oleh Nabi Muhammad Saw. Beliau berkata: “Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang telah diperbuat oleh Kahlid.” Beliau mengulangi perkataan itu sebanyak dua kali.

Hal yang disesalkan oleh Nabi Muhammad Saw adalah ketergesa-gesaan Sayyidina Khalid dalam mengambil keputusan untuk menawan dan memboikot mereka, sebelum beliau (Khalid bin Walid) tahu persis maksud dari perkataan mereka yang berbunyi “Saba’na Saba’na” meskipun dengan kata lain, lafaz “Saba’na” juga bisa diartikan: “Kami masuk agama Sabi’ah” (padahal bukan begitu maksud dari perkataan Bani Hudzaimah).

Meskipun demikian, Sayyidina Khalid bin Walid tetap dimaafkan. Nabi Muhammad Saw memujinya dalam sebuah hadis: “Seabaik-baik hamba Allah Swt adalah saudara kita Khalid bin Walid, salah satu pedang dari pedang-pedang Allah yang dihunuskan kepada leher orang-orang kafir dan musyrik.”

Cukuplah cerita tersebut untuk pelajaran buat kita, agar tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis kafir kepada sesama muslim. Semoga Allah menjaga kita dari sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, yang menjerumuskan kita kepada kekafiran.

Wallahu a’lam bisshowab…

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan