Koneksi

782 kali dibaca

Saat lelaki itu mengoleh dedak dengan air di sebuah ember di pekarangan belakang rumahnya, serta-merta ayam-ayam yang baru keluar dari kandang menyerbunya. Cukup kewalahan, buru-buru ia membaginya ke wadah-wadah yang terkapar di tanah—agar mereka tak berebutan. Namun, persis dugaan sampean, mereka tetap berebut (wajar, namanya juga ayam!). Tak lama kemudian, keinginan untuk bertanya pada ayam-ayam itu kembali melintasi benaknya.

Boleh-boleh saja sampean heran. Namun jika memang demikian, sebetulnya ada yang lebih mengherankan: kemarin sore, saat ia menyirami pohon-pohon kacang panjang yang mulai trubus di pekarangan samping rumahnya itu, ujuk-ujuk, secara serempak mereka bertanya, “Wahai orang, kenapa sampean begitu baik—mau-maunya menyirami kami?”

Advertisements

Mula-mula hampir-hampir copot jantungnya. Namun seusai berpikir bahwa mereka pun makhluk—sebagaimana dirinya diberi kemampuan bicara oleh Gusti Allah Ta’ala—, ia dapat menenangkan diri lalu menjawab, “Agar sampean sekalian tumbuh subur, sehat walafiat…”

“Kenapa sampean ingin kami tumbuh besar sehat wal, wal apa tadi…?”

“Walafiat,”

“Ya, walafiat?”

Karena sudah tidak canggung ngobrol dengan tanaman, ia menjawab sembari terus menyirami, “Karena setelah sampean sekalian tumbuh besar akan membuahkan kacang panjang yang sehat-sehat untuk saya makan atau saya jual…”

“Seandainya kami tidak menghasilkan kacang panjang, apakah sampean tetap mau merawat kami?”

Cukup tersentak ia dengan pertanyaan ini. Sembari terus menyirami mereka, ia memikirkan jawabannya. Ia cukup beruntung, karena mereka sepertinya telah lupa pada pertanyaan tadi. Mereka tampak bersorak-sorak kegirangan selayak bocah-bocah kecil bermain hujan-hujanan.

Kejadian inilah yang melatarinya ingin bertanya pada ayam-ayam itu. Karena, semalam ia berpikir lama bahwa hubungannya dengan mereka sama dengan hubungannya dengan tanaman kacang panjang. Bagaimana jika mereka sebetulnya pun bisa ngomong dan beranggapan seperti kacang panjang terhadapnya? Maka sebelum ditanya oleh mereka, ia kepikiran untuk bertanya lebih dahulu.

Namun, belum sempat ia bertanya, seekor jago blirik yang beberapa saat tadi tampak berjalan ke arahnya dan kini berdiri dengan begitu jumawa di hadapannya, setelah berkokok dua kali, ujuk-ujuk ngomong, “Sudahlah, tak usah galau, saya—mewakili semua ayam itu—tahu apa yang sedang sampean pikirkan…”

“Oh, ya? Tahu dari mana?”

“Sampean kira kami tak mendengar pembicaraan sampean dengan pohon-pohon itu?”

Oh, ucapnya sembari menepuk jidatnya.

Sejak saat itu, pikiran tentang hubungannya dengan tanaman dan ternaknya itu menariknya lebih jauh ke dalam hubungannya dengan sesama manusia. Secara singkat ia menyimpulkan bahwa dalam hubungan dengan sesama makhluk ada semacam timbal-balik antara memberi dan menerima; kadang memberi kadang menerima. Dari sini ia jadi kepikiran, bagaimana hubungannya dengan Sang Pencipta?

Rupanya, demikian pikirnya, dalam hubungan dengan Sang Pencipta, ia hanya menerima. Dalam arti mula-mula ia tidak ada, lalu Tuhan menciptakannya, memberinya berbagai potensi untuk menjalani hidup. Kemudian Tuhan mengajarinya cara menjalani hidup—lewat wahyu yang diberikan kepada Kanjeng Nabi—sebagai pedoman agar ia meraih kebahagiaan hidup, baik kini di dunia maupun kelak di akhirat.

Sebagai penerima, lanjutnya, seharusnya ia berterima kasih kepada Sang Pemberi dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lagi pula, demikian ia teringat guru ngajinya, segala perintah dan larangan-Nya untuk kebaikan makhluk ciptaan-Nya.

Kemudian ia menyimpulkan bahwa hubungan paling utama adalah hubungan dengan-Nya, dan ini yang perlu diperkuat jalinannya. Sementara hubungan dengan sesama makhluk, termasuk dengan sampean—pembaca yang budiman—, ia jalin dalam rangka menjalankan perintah-Nya. Ia jadi insaf, selama ini ia lebih mengutamakan hubungan dengan sesama makhluk ketimbang dengan Sang Pencipta.

Doplangkarta, 16:27, 29 Desember 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan